Wednesday, December 30, 2015

Kerancuan Teori Time is Money

Lambat tapi pasti, baik secara disadari atau tidak, sebuah teori ataupun asumsi bahwa time is money sudah menjadi prinsip baku kita dalam menghargai waktu. Terlepas bahwa masih ada ribuan slogan lainnya yang mempunyai substansi dan teori senada, yaitu menghargai waktu, slogan time is money lebih ramai dipakai. Mungkin karena susunan katanya yang singkat dan padat, atau bisa jadi karena slogan ini paling relevan untuk diterapkan di era persaingan bisnis pasar bebas. Para pemimpin perusahaan mana yang tidak mengenal slogan ini? Atau bahkan anak SD mana yang masih gagap untuk sekedar melafalkan peribahasa yang tersusun dari 3 kata ini?


Tidak bisa dinafikan bahwa prinsip ini membawa dampak positif bagi manusia untuk meningkatkan produktifitas dalam bekerja. Prinsip ini memudahkan kita untuk mengkonversikan satuan waktu yang masih abstrak menjadi sesuatu yang konkrit, yaitu uang. Cukup fair memang, karena dalam permasalahan produksi, waktu menjadi salah satu unsur perhitungan untuk mengetahui laba.

Tapi, tidakkah kita rasakan bahwa prinsip yang mendarah daging ini sebenarnya merupakan perpanjangan dari ideologi lain? Time is money tidak lain merupakan sebuah ideologi para pengagung uang yang didandani dengan “baju” waktu. Coba bayangkan, bangsa mana, atau agama apa yang tidak menghargai waktu? Untuk itulah, penghargaan atas waktu yang begitu lekat dengan manusia merupakan alat yang paling cocok untuk mengelabuhi sebuah desain pengagungan terhadap uang.

Sekarang, mari kita bandingkan antara mereka dan Islam dalam cara menghargai waktu. Jika prinsip waktu mereka berkiblat pada time is money, maka di islam mempunyai peribahasa al-waqtu ka as-saifi, in lam taqtha’hu qatha’aka sebagai kiblat atas penghargaan terhadap waktu. Sekilas nampaknya tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam keduanya. Bahkan, banyak orang beranggapan bahwa perbedaan keduanya bukan termasuk dalam perbedaan yang bertentangan, melainkan hanya saling melengkapi. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, kedua prinsip tersebut membawa implikasi yang begitu berbeda pada terapannya.

Pada prinsip time is money, interaksi antar masyarakat yang dulunya didasarkan atas asas gotong royong dan kebersamaan, kini sudah mulai bergeser kepada asas individualisme. Kalau dulu saat terjadi bencana atas  kerabat sekitar, kita membantunya atas dasar kemanusiaan, kini semua harus ada kompensasinya, yaitu uang. Tidak ada lagi perbuatan sosial yang memakai prinsip ikhlas, semuanya dikomersilkan.

Dalam kajian ekonomi, bantuan yang berujung kompensasi ini terlihat sangat jelas pada praktik transaksi pinjam-meminjam berunsur bunga. Seharusnya, hal paling fundamental dalam model pinjam-meminjam adalah gotong royong untuk meringankan beban orang yang kesusahan tersebut. Tentu saja ini adalah salah satu imbas dari prinsip time of money yang mempengaruhi perilaku seseorang.

Tidak cukup di situ, istilah time value of money nampaknya juga dampak lain dari prinsip time of money ini. Bayangkan saja ketika uang hanya sekedar berpindah tangan dalam konteks dipinjamkan bisa beranak-pinak. Yang pada mulanya seratus ribu, bisa menjadi seratus lima puluh ribu. Yang semula sepuluh juta, menjadi dua belas juta dan lain sebagainya. Semuanya dihasilkan hanya dengan meminjamkan uang tersebut pada pihak yang sedang membutuhkan. Alasan paling logis yang diusung oleh para pendukung praktek time value of money adalah bahwa uang tersebut sangat berpotensi untuk diinvestasikan dari pada hanya sekedar pasif dalam keadaan dipinjamkan. Investasi akan menjadikan uang itu terus tumbuh. Pertumbuhan uang yang terhambat inilah dalih mereka untuk menggolkan praktek time value of money.

Prinsip time is money ini akan lebih terlihat pincang lagi ketika dikaitkan dengan sistem ekonomi yang dipakai mayoritas orang di dunia saat ini. Sebuah jasa pinjam-meminjam yang selalu diusahakan agar si peminjam default alias gagal bayar ini telah disetting sedemikian rupa oleh para ahli ekonomi yang berniat buruk. Pada tahap selanjutnya, orang-orang yang default ini hanya terus berkutat untuk memaknai setiap detik waktunya sebagai uang. Alhasil, yang terjadi adalah sebuah apatis akut dari masyarakat. Mereka terus mencari cara untuk menutupi hutangnya –yang sebenarnya telah disetting agar tidak dapat dipenuhi– sehingga malah lupa pada problem sosial.

Untuk itulah Islam dengan prinsip al waqtu ka as-saifi nya sebenarnya merupakan patokan yang paling pas untuk menghargai waktu. “Potonglah” waktu atau anda akan terpotong olehnya. “Perbudaklah” waktu atau anda akan diperbudak olehnya. “Manfaatkan” waktu atau anda akan dimanfaatkan olehnya. Dari sini tampak bahwa cara Islam memandang konsep waktu lebih komprehensif dan adil ketimbang prinsip time of money tersebut.

Hanya saja sangat disayangkan, konsep penghargaan Islam terhadap waktu yang sebenarnya lebih komprehensif ini kian luntur. Bukan saja luntur, bahkan nampaknya sudah tidak terlalu terdengar gaungnya. Saya katakan tidak terlalu terdengar gaungnya, bukan berarti tidak ada yang menyuarakannya. Guru-guru lembaga pendidikan baik yang bersistem konvensional maupun Islami sebenernya sudah cukup vokal untuk menyuarakan prinsip al-waqtu ka as-saifi. Hanya saja mereka sama-sama lebih condong untuk mengajarkan kepada para murid arti waktu dalam perspektif yang kurang tepat. Filsafat waktu yang mereka tanamkan adalah time is money, bukan al waqtu ka as-saifi. Mereka mengajarkan untuk mengkonversikan waktu menjadi uang, bukan me-manage waktu itu. Sebenarnya, jika ingin membuat sebuah korelasi antara waktu dan uang, ataupun menjembatani keduanya, kita mengenal sebuah peribahasa al-waqtu atsmanu  min adz-dzahabi. Prinsip yang terakhir ini menyatakan bahwa nilai waktu tidak bisa disamakan dengan sekedar emas, sangat berbeda dengan prinsip time is money.

Mungkin bisa dibilang lumrah bagi tipe lembaga pendidikan konvensional. Namun, bagi lembaga pendidikan yang merujuk pada asas Islam, seharusnya lebih sering menanamkan prinsip al-waqtu ka as-saifi dalam filsafat waktu mereka. Kasus lembaga pendidikan ini mempunyai peran paling urgen karena merekalah yang mengawal para anak dididik ke jalan yang seharusnya.

Hanya saja, kesalahan ini tidak sepatutnya, bahkan tidak bisa dilemparkan secara mutlak kepada lembaga pendidikan. Hal itu karena letak utama dari kesalahan ada pada kerangka berpikir kita, paradigma yang terlalu berorientasi kebarat-baratan, rancu. Padahal, khazanah Islam tidak kalah kaya dalam memberikan falsafah hidup. Bahkan nilai-nilai akhlak, sosial dan aspek lainnya lebih kental di dalamnya.

Sebenarnya kerancuan paradigma tidak hanya pada filsafat waktu saja, dalam berbagai kurikulum yang diajarkan Indonesia pun masih berorientasi kebarat-baratan. Contoh paling mudah adalah kurikulum Ilmu Pengetahuan Sosial yang masih saja mencantumkan teori evolusi Darwin yang sudah jelas salah kaprah. Dalam ilmu ekonomi, tidak jarang ditemukan sebuah pembenaran atas bunga pada diktat-diktat yang wajib dibaca oleh siswa. Dalam ilmu sejarah, para tokoh Islam seakan dilenyapkan begitu saja sehingga dianggap bahwa Islam tidak pernah memberi kontribusi apapun. Bahkan dalam ilmu moral, batasan yang dipakai antara baik dan buruk suatu hal adalah akal yang begitu terbatas.

Problem time is money hanya contoh kecil saja. Mungkin karena saking kecilnya bahkan sudah menjadi lumrah. Untuk itu, pergeseran paradigma yang semakin lama berorientasi kebarat-baratan ini harus sangat diwaspadai. Maka dari itu, kita dapati sekarang ini sedang marak proyek penyeruan akan pentingnya worldview yang dicanangkan oleh para sarjana Muslim. Proyek worldview ini sangat penting untuk membingkai paradigma kita saat bersinggungan dengan segala problematika hidup.


1 comment:

  1. If you're attempting to lose weight then you need to try this brand new personalized keto plan.

    To produce this keto diet service, licensed nutritionists, personal trainers, and cooks united to produce keto meal plans that are useful, convenient, cost-efficient, and delightful.

    Since their first launch in 2019, thousands of individuals have already transformed their body and well-being with the benefits a professional keto plan can provide.

    Speaking of benefits; clicking this link, you'll discover 8 scientifically-certified ones provided by the keto plan.

    ReplyDelete