Secara kasat mata kita memang melihat bahwa jumlah masyarakat yang masuk
dalam golongan kelas menengah semakin bertambah. Sejatinya, finansial mereka
hanya ditopang pada gelembung ekonomi (bubble economic) sebagai akibat
dari arus kapitalis yang tidak terbendung. Ideologi materialis yang mereka bawa
dengan menghalalkan segala cara justru menimbulkan ketimpangan pada kestabilan
ekonomi. 80% uang yang ada di dunia hanya berputar pada ‘dunia maya’ dan tidak
pernah ada wujudnya pada kehidupan nyata. Hal inilah yang terus dipermainkan
oleh para eksekutif ekonomi, mereka menyuguhkan gambaran bahwa dunia makin
mapan, padahal hakikatnya hanya fiktif belaka.
Ekonomi fiktif ini berdampak bahaya bagi berlangsungnya sektor riil. Hal
itu karena para pelaku ekonomi hanya memainkan uangnya dengan menaruhnya di
sektor non-riil. Masalahnya, kegiatan di sektor tersebut lebih bersifat
spekulatif atau sejenis perjudian. Dalam suatu perjudian, harus ada pecundang
serta pemenang. Para pemenang ini –dengan untung yang ia raup- berambisi untuk
mengikuti kompetisi ‘judi’ dengan resiko yang lebih tinggi. Sayangnya, para
pecundang yang sudah kalah tidak begitu saja meninggalkan ‘meja judi’ tadi.
Mereka kembali dengan harapan akan memenangkan perjudian setelah banyak belajar
dari kekalahan mereka.
Orang-orang yang terlanjur terbuai dengan iming-iming hasil perjudian akan
terus berada pada siklus itu. Ini artinya jumlah mereka relatif konstan,
padahal banyak juga selain mereka yang ingin merasakan kompetisi ‘liar’
tersebut.
Dengan semakin besarnya peminat sektor non-riil, artinya sektor riil
semakin ditinggalkan. Padahal, pilar utama pembangun ekonomi berada pada sektor
riil, jika ditinggalkan maka yang terjadi adalah ketimpangan ekonomi. Efek yang
paling mudah digambarkan adalah sedikitnya lapangan kerja yang tercipta. Tidak
bisa dibayangkan ketika mayoritas manusia lebih memilih untuk berspekulasi
untuk meraup profit ketimbang menekuni pekerjaan riil.
Mari kita membuat sebuah permisalan tentang judi pada level mikro serta
hubungannya dengan peningkatan pengangguran. Judi bagi orang awam adalah
seperti kegiatan bermain kartu dengan memasang taruhan tertentu. Anggap saja
ada 3 orang yang ikut dalam permainan ini, masing-masing membawa 1 juta untuk menjadi
taruhannya. Semalam suntuk mereka habiskan hanya dengan memegang kartu, kalah,
kemudian menang, kalah lagi, atau menang lagi, hingga pada akhirnya salah satu
orang pulang membawa 3 juta, suatu kegiatan yang sangat tidak produktif.
Keesokannya, 3 orang tadi bertemu kembali, si pemenang membawa 2 atau 3 juta,
dan pecundang kembali membawa satu juta sebagai modal awal. Menang atau kalah
memang terus bersiklus, namun tetap saja keuntungan yang diraup kembali ke meja
judi.
Dalam cakupan makro, perputaran uang yang ada pada sektor non-riil bukan
lagi jutaan. Jamal Harwood, anggota Eksekutif HIzbut Tahrir Inggris mencatat
dalam kurun waktu 10 tahun terakhir bahwa nilai pasar derivatif mencapai USD
500 hingga USD 1000 triliun per tahun. Sangat jauh dibanding tingkat
perkonomian di sektor riil yang hanya berkisar USD 50 triliun per tahun.
Terlepas dari kegiatan spekulasi, ekonomi fiktif juga terus menggelembung
seiring dengan instrumen bunga yang dipakai dalam berbagai transaksi. Kita
tidak akan pernah menjumpai lembaga keuangan konvensional apapun kecuali
terdapat sistem bunga di dalamnya. Memang instrumen bunga ini sedikit berbeda
dengan jenis judi atau spekulasi. Jika spekulasi sangat terlihat dampaknya pada
kevakuman sektor non-riil, bunga yang banyak diterapkan pada transaksi
simpan-pinjam masih membuat sektor riil berjalan, bahkan tidak sedikit yang
menjadikan usaha-usaha kecil berkembang.
Hanya saja, jika kita merinci mekanisme simpan-pinjam berbunga maka
terlihat suatu kejanggalan di sana. Bagaimana mungkin kedua belah pihak
(debitur dan kreditur) meraup keuntungan pada satu waktu yang sama? Mari kita
mengambil contoh dalam konteks kecil. Seorang kreditur datang pada debitur
meminjam satu juta, dia mengolahnya sehingga menjadi dua juta. Kreditur tadi
kemudian mengembalikan kepada debitur –dalam transaksi berbunga– dengan nominal
satu juta seratus ribu. Memang secara eksplisit kreditur mampu mengembalikan tambahan
seratus ribu yang disyaratkan oleh kreditur, padahal pada hakikatnya kreditur
hanya dijadikan alat oleh pemilik modal tersebut. Dengan begitu, pemilik modal
tidak perlu bersusah payah bekerja, mereka cukup memanfaatkan modal untuk
menghasilkan profit.
Masalah simpan-pinjam menjadi semakin kompleks ketika kita menambah satu
pihak lagi, yaitu instansi perantara yang saat ini peranannya difungsikan oleh bank.
Misalkan A menabung ke bank dengan nominal 1 juta, kemudian B meminjam satu
juta dari bank yang sama. A merasa bahwa uangnya telah aman di bank dan ia bisa
mengambil kapan saja, pada saat yang sama, B juga merasa memiliki uang tersebut.
Artinya dalam satu waktu terdapat uang bernilai satu juta yang bersifat fiktif
dan satu juta yang memiliki wujud.
Dalam mekanisme transaksi modern, uang fiktif masih tetap bisa dipakai
melalui sistem kartu kredit. Dari situlah tercipta angka-angka data yang
memberi kesan seakan uang tersebut berwujud. Inilah yang dimaksud Kurtzman dalam
bukunya The Death of Money bahwa uang saat ini hanya berbentuk byte,
layaknya bayangan. Secara simultan, ia dapat ditampilkan pada jutaan layar
komputer di atas jutaan meja di seluruh dunia. Tapi pada kenyataannya, ia tidak
ada di mana-mana dan tidak diperlukan lemari besi untuk menyimpannya.
Instrumen bunga yang menggelembungkan perkonomian, sistem simpan-pinjam
dengan lembaga mediasi yang menampilkan nilai uang hanya sebatas pada angka di
layar komputer, kemudian kegiatan derivatif dan spekulasi yang membuat uang
tadi hanya berputar pada ‘meja judi’. Beberapa faktor yang cukup untuk
menunjukkan bahwa keberhasilan ekonomi hanyalah fiktif belaka.
Yang menjadi problem utama dalam kasus fatamorgana ini bukan ketiadaan
uang-uang tadi dalam dunia nyata, tapi berkurangnya minat untuk bekerja. Memang
prinsip untuk mendapatkan kepuasaan maksimal dengan pengorbanan yang minimal (low
risk, high profit) itu penting untuk dijadikan acuan dalam berbisnis, hanya
saja caranya harus tepat. Jika malah mematikan produksi, itu artinya malah
terjadi kontradiksi. Sangat irasional jika perkonomian tumbuh di saat produksi
macet.
Jika dirunut kembali, sumber masalah yang mengacu pada gelembung ekonomi
sekarang ini setidaknya ada dua hal: judi, (maysir) dan bunga (riba).
Islam yang muncul pada saat kegiatan ekonomi masih bersifat lokal sudah
mengerti dampak dari dua hal tersebut sehingga membuat larangan keras akan dua
hal tadi. Sangat banyak firman Allah yang dituangkan dalam kitab suci mengenai pelarangan
judi dan riba. Diantaranya adalah “Wa ahalla Allahu al-bai’a wa harrama
ar-ribâ” dan juga “innama al-khamru wa al-maisiru wa al-anshâbu rijsun
min ‘amali as-syaithân”.
Islam juga mendidik umatnya dengan semangat bekerja “i’malû, fa sayara
Allahu a’mâlakum.” As-Syaibani bahkan mengarang satu kitab khusus yang
membahas seputar bekerja dan produktifitas manusia dengan judul al-Kasb.
Produktifitas manusia dituntut untuk terus mengolah sumber daya yang tidak akan
pernah habis. Di situlah fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, untuk
memakmurkan, bukan malah merusak dengan menghambat laju perkonomian.
Dengan begitu, teori yang menyatakan
bahwa seitap pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan meningkatnya kesempatan kerja
tidak seratus persen benar, bahkan menjadi teori usang dalam konteks sekarang.
Itu karena laju pertumbuhan ekonomi sekarang tidak lain hanyalah fiktif belaka.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan gelembung-gelembung keuangan
tidak lebih dari sebuah fatamorgana yang menipu. Wallahua’lam
No comments:
Post a Comment