Thursday, December 24, 2015

Menjemput Takdir (2)

“Haji itu panggilan Tuhan, bukan panggilan kekeluargaan.”

Begitu kira-kira semboyan yang lantang disuarakan Mahasiswa Mesir Indonesia (Masisir) yang berkeinginan mendapat kesempatan Haji dengan biaya pemerintah (temus). Kekeluargaan adalah organisasi kedaerahan Masisir yang jika kita aktif di dalamnya semakin membuka kesempatan untuk mendapat temus. Maklum, kesempatan haji ini diperoleh dengan cara undian dengan kemungkinan menang yang kecil.

Semboyan ini sangat ampuh untuk membuat orang-orang benar-benar berpangku tangan. Bahkan, untuk berdoa sekalipun. kesan yang muncul dari semboyan ini membuat kita segan untuk meminta kepada Yang di Atas karena menunaikan rukun ke-5 adalah hal yang sangat sakral. Kita merasa risih untuk mendapatkannya tanpa usaha apalagi temus yang ada iming-iming uang saku di belakangnya. Sehingga, stigma yang ada ialah biar nanti Tuhan yang memanggil kita.

Saya juga terperngaruh oleh semboyan ini. Baru kira-kira 12 bulan yang lalu saya menegaskan, “Jika haji itu panggilan Tuhan, maka yang perlu dilakukan adalah membuka telinga lebar-lebar karena panggilanNya sulit untuk didengar. Sangat samar.”  

3 bulan setelah itu, kira-kira seminggu selepas Idul Adha, saya mulai melantukan doa khusus untuk meminta agar saya dipanggil olehNya. Jika dihitung, berarti kira-kira delapan atau sembilan bulan sebelum pengundian temus periode berikutnya. Sengaja saya mulai berdoa jauh-jauh hari karena jika untuk umrah saja tiga hingga empat bulan saya berdoa, maka untuk haji harus berkali lipat dari itu.

Doa saya persis dengan doa untuk umrah, “Ya Rabb, izinkanlah saya untuk mengunjungi rumahMu Dzulhijjah ini,” begitu kira-kira. Setiap hari saya lantunkan selepas solat lima waktu, persis seperti cara saya ketika menginginkan umrah.

Haji memang sakral. Saya sadar bahwa jika hanya dengan cara yang sama ketika saya diizinkan menunaikan umrah, maka akan cukup sulit bila untuk haji. Bulan berikutnya saya menambah waktu doa saya. Tidak lama. Tidak sampai lima menit. Saya menunaikan solat hajat 2 rakaat sebelum tidur. Saya tidak menambah doa khusus ketika solat hajat. Doa saya persis seperti apa yang saya tulis di atas.

Sembilan bulan berlalu dan saya belum pernah absen doa. Kecuali mungkin dalam solat hajat saya absen kira-kira dua kali. Semua ini adalah cara saya menangkap panggilan Tuhan. Berlebihan? Tidak sama sekali. Doa lima kali sehari jika ditotal tidak akan lebih dari 30 detik. Ditambah solat hajat yang kira-kira hanya empat menit artinya total semua tidak sampai lima menit dari 24 jam. Tidak ada yang lebih baik daripada melakukan secuil perbuatan positif tetapi istiqomah.

Tanggal 22 Mei adalah hari pelaksanaan undian. Dua minggu sebelum itu saya sudah mengabari ibu saya meminta bantuan doa. Pada hari H, saya meminta seluruh anggota keluarga saya solat hajat. Setengah jam sebelum pengundian, saya meminta kawan-kawan saya yang sedang beriktikaf di Masjid Nabawi untuk mendoakan. Oh, iya. Seminggu sebelum itu Syekh Hisyam, guru fikih saya berangkat umrah dengan membawa beberapa bait doa saya. Isinya sama, meminta haji tahun ini.

Tinggal satu hal yang kurang dari program saya. Berbagi sedikit harta kepada kaum papa samping jalan untuk meminta doa kepada mereka. Maklum, saya berangkat menuju tempat pengundian terlalu siang. Jadi mereka tidak ada yang keluar karena memang cuaca cukup panas.

Saya masuk ruang undian dengan keyakinan mantap. Iya, yakin. Karena doa adalah tentang keyakinan. Sedikit saja saya ragu, maka Allah akan ragu. Saya berpegang pada prinsip bahwa Allah itu sesuai prasangka hambanya. Meskipun memang pada saat hari pendaftaran keraguan berkelebat dalam diri saya. Berkelebat sangat kuat. Namun, bekal hari H menghapus keraguan itu.

Masuk waktu undian. Panggilan pertama bukan nama saya. Kedua bukan nama saya lagi. Ketiga pun bukan. Karena jatah kali ini hanya lima orang, artinya sisa dua lagi. Detik itu saya mulai ragu. Tembok keyakinan ini mulai rapuh. Panggilan ke empat, bukan nama saya lagi yang keluar. Sisa satu panggilan terakhir. Saya kumpulkan puing-puing keyakinan yang sempat berserakan. Tinggal satu panggilan lagi dan saya yakin Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hambanya.

Panggilan terakhir,,

“Fauzul Hanif”

Saya maju ke depan. Saya cek kertas undiannya dan memang benar itu saya.

Jadi, kapan pertolongan Allah datang? Bisa jadi di akhir. Dan saya kali ini mendapatkannya di akhir. Bagi saya, kekuatan doa ada pada keyakinan. Sejauh mana kita berprasangka kepada Allah, maka itu adalah puncak doa.

Doa adalah bentuk lain dari tawakkal. Tawakkal itu bukan pasrah tanpa usaha. Tetapi karena tidak ada usaha lain dalam undian temus ini yang bisa saya lakukan selain berdoa, maka doa adalah usaha dan tawakkal saya. Usaha untuk  menajamkan telinga. Mendengar panggilan Tuhan yang samar-samar.

Haji dan umrah adalah contoh yang paling gampang ditangkap. Tetapi sebenarnya memang langkah sukses hidup tidak pernah lepas dari iringan doa. Saya tidak pernah dikecewakan oleh doa. Memang begitulah hakekatnya, doa itu selalu dikabulkan. Maka dari itu, saya sering berpesan, jangan bermain-main dengan doa.


( kertas undian Temus =D )

No comments:

Post a Comment