Sunday, December 27, 2015

Kapitalisme dan Ekonomi Syariah

Krisis keuangan khususnya pada tahun 2008 melanda di mana-mana, tak pelak negara-negara besar Eropa pun terciprat pengaruhnya. Mayoritas suara memojokkan sistem kapitalisme sebagai batu sandung dari ekonomi dunia waktu itu. Kapitalisme sebenarnya secara bahasa berasal dari bahasa inggris yaitu capital yang berarti modal. Sedangkan isme merujuk pada ajaran atau paham. Jadi arti kasar dari kapitalisme adalah paham tentang modal, atau menjadi tolak ukur segala sesuatu adalah uang.


Kemunculannya sendiri ada beberapa versi, ada yang mengatakan bahwa ini adalah sisi ketidakpuasan dari model merkantilisme[1] dengan para borjuisnya, sebagian lagi mengatakan bahwa kapitalisme datang setelah runtuhnya masa feodalisme[2]. Tetapi keduanya ternyata mengalami ketimpangan yang dirasakan oleh kalangan atas hingga golongan bawah. Untuk itulah dibutuhkan suatu sistem baru untuk mengembalikan keseimbangan ekonomi dunia.

Kembali ke tahun 2008 dimana ketimpangan ekonomi melanda dunia. Kecacatan kapitalisme seakan semakin menganga lebar. Ideologi pasar bebas yang mereka agungkan rupanya harus ambruk di hadapan publik internasional. Washington Mutual, bank dengan penghematan terbesar di AS, akhirnya mengumumkan kepailitannya dan dibeli oleh JP Morgan. Perusahaan asruansi besar sekelas AIG (American International Group) juga akhirnya harus diselamatkan oleh Bank Sentral AS yang mengumumkan rencana paket bantuan senilai US$85 miliar dengan imbalan 80% saham.

Pada bulan Oktober/November tahun 2008, pemerintah AS, Inggris dan negara-negara Eropa mengumumkan paket pinjaman, jaminan dan penyelamatan bernilai multi triliun dollar. Termasuk untuk menasionalisasi bank-bank besar di masing-masing negara. Pada bulan November juga, sistem mata uang perbankan Islandia terjerembab, sehingga salah satu negara maju di Barat itu kembali ke titik nol. IMF pun akhirnya masuk memberi bantuan[3].

Beberapa contoh yang disebutkan baru sedikit dari kecacatan kapitalisme. Kapitalisme yang mengacu pada konsep kepemilikan modal secara individual juga titik yang perlu digugat. Kapitalisme menitikberatkan perekonomian mereka pada modal. Semakin besar modal, semakin besar pula peluang untuk mendapat keuntungan. Bayangkan jika ideologi seperti ini diusung ke pasar bebas[4]. Dampaknya tak lain hanya memperbesar jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. Dengan kata lain, pemeran utama dari perekonomian adalah mereka kalangan konglomerat.

Pasar ideal yang merupakan pasar persaingan sempurna[5] akan berantakan jika dimasuki paham kapitalis. Sesuai dengan konsep low risk, high profit maka mereka tidak mempedulikan apa yang di bawahnya. Otomatis itu mempengaruhi harga pasaran yang membuat persaingan tidak sempurna dan menghilangkan keseimbangan di dalamnya. Dari itu, efek kapitalis juga akan membunuh pasar tradisional dan pasar-pasar kecil yang berkembang.

Padahal dalam Islam sudah jelas-jelas menyatakan bahwa tidak ada kepemilikan individu yang mutlak. Maka dari itu Islam menetapkan berbagai macam jenis keuangan publik islami seperti zakat, kharraj, usyur dan sebagainya. Dengan begitu terjadi pemerataan antara si kaya dan miskin. Sebagai contoh adalah pada masa kepemimpinan Harun Arrasyid, ditangannya jumlah pajak kharraj yang berhasil dikumpulkan adalah 7.000.000 dirham. Kemudian di masa Mu’tashim sebesar 30 miliar dirham[6]. Itu belum termasuk zakat, ghonimah, jizyah dan berbagai jenis keuangan publik lainnya.

Masih pada kecacatan sistem kapitalisme, Aries Mufti dalam bukunya Kapitalis Global, Hegemoni Dajjal dan Ekonomi Syariah menyebutkan bahwa akar dari kapitalisasi global tidak lain adalah The Fed[7]. Bermula dari emas dan perak sebagai logam mulia yang sudah disepakati seluruh dunia sebagai uang asli atau honest money. Keduanya merupakan alat dalam pertukaran moneter yang sah selama berabad-abad.

Tapi pada awal abad ke 17 di Inggris sistem ini sedikit mendapat polesan. Para pandai besi yang mengerjakan logam mulia tersebut tentunya juga harus menyimpannya. Lalu siapakah yang lebih pantas menyimpannya? Dia atau seseorang yang lebih paham tentang keperluan nasabah dan cara aman untuk menyimpan logam tersebut alias para bankir? Tentunya si bankir lebih piawai dalam hal ini, lalu sebagai imbalannya para deposan atau nasabah akan mendapat imbalan suatu note yang menyebutkan jumlah yang ia simpan. Yang terjadi selanjutnya ternyata jarang atau tidak ada dari para deposan yang mengambil simpanannya di bank setiap hari. Lalu bagaimana mereka bertransaksi? Mudah saja, mereka cukup menggunakan note dari bank tersebut, karena tidak lain note tersebut adalah bearer notes. Sehingga setiap orang yang membawanya mempunyai hak untuk menukarkan kembali ke bank dengan jumlah simpanan yang tertera di note itu.

23 Desember 1913 kongres Amerika mengesahkan Federal Reserve Act, sehingga dengannyalah dolar diciptakan. The Fed mempunyai tiga badan utama yang badan ketiganya adalah ribuan bank komersil dari berbagai negara. Kesemua bank tersebut tunduk pada badan kedua yang terdiri dari 12 regional Fed Bank. Sedangkan badan pertama terdiri dari 7 anggota yang menunjuk 12 regional Fed Bank dibawahnya. Dari sini terlihat hegemoni perkonomian barat dengan sistem kapitalismenya yang terus menjerat dan mengikat negara-negara lain[8].

Berbagai ketimpangan sistem kapitalis yang disebutkan di atas[9] tentunya sudah cukup membuktikan bahwa kapitalisme tidak bisa menopang sendi perekonomian dunia. Manusia perlu beralih ke sistem yang adil dan tidak berpihak. Maka Islam datang menawarkan jawaban di tengah kebuntuan dengan sistem ekonomi Islamnya. Hal itu pastinya karena konsep ekonomi Islam mengandung prinsip-prinsip seperti kesamaan sosial, kesejahteraan sosial, larangan menumpuk kekayaan, kebajikan individu dalam masyarakat dan lain sebagianya. Allah berfirman di surat al Hadid ayat 7:
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ

Referensi:
Harwood, Jamal, Membedah Krisis Keuangan Global, diterjemahkan oleh MR Adhi, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, cet. I, 2009
Huda, Nurul dan Muti, Ahmad, Keuangan Publik Islami Pendekatan al Kharrâj (Imam Abu Yusuf), Ghalia Indonesia, Bogor, cet. I, 2011
Mufti, Aries, Kapitalis Global, Hegemoni Dajjal dan Ekonomi Syariah, Pustaka Quantum, Jakarta, cet. I, 2004




[1]  Merkantilisme adalah sistem yang menyatakan bahwa kesejahteaan suatu negara di ukur berdasarkan aset serta modal yang dimiliki. Pada sistem ini pemerintah banyak melakukan intervensi ke dalam pasar seperti dalam hal ekspot atau impor. Maka dari itu kapitalisme dengan konsep pasar bebasnya muncul sebagai penggantinya.

[2]  Feodalisme tidak lain merupakan istilah untuk sistem politik yang berbentuk hierarki atau piramid. Indonesia pada zaman kolonialisasi Belanda juga menganut sistem ini, tak heran masyarakat setelah itu terbagi menjadi kasta-kasta. Inti dari sistem politik ini adalah orang-orang kasta tinggi mempunyai hak penuh dalam menjalankan roda pemerintahan, termasuk kepemilikan tanah dan perekonomian. Ini tidak jauh beda dengan merkantilisme dimana pemerintah (kasta bangsawan ataupun raja) mempunyai hak penuh untuk ikut campur dalam sistem perkonomian negara.

[3]  Jamal Harwood, Membedah Krisis Keuangan Global, diterjemahkan oleh MR Adhi, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, cet. I, 2009, hal. 14

[4]  Pasar bebas adalah dimana barang masuk dan keluar pasar dengan sukarela tanpa ada intervensi. Hanya saja pasar bebas yang dianut para kapitalis tidak sesuai dengan unsur pasar bebas yang disyaratkan Islam. Yaitu pasar bebas yang tidak mengandung masyir, gharar, riba, bai’ najasy, ikrah, ghabn fâhisy, najis, ihtikar, ghisy, dan tadlis. Pasar bebas kaum kapitalis malah justru menimbun (ihtikar), riba dan lain sebagainya. Maka dari itu ideologi tersebut hancur dan terkikis sedikit demi sedikit.

[5]  Ada 4 jenis pasar. Yang pertama adalah pasar persaingan sempurna, kemudian pasar monopolistik, pasar oligopoli dan pasar monopoli. Pasar persaingan sempurna adalah jenis pasar banyak pelaku usaha untuk jenis bidang usaha dan jasa yang sama. Di sana para pelaku usaha bebas keluar masuk pasar tanpa adanya hambatan. Kondisi ini akan selalu menciptakan suatu bentuk keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Karena keseimbangan itulah dinamakan pasar ideal.

[6]  Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami Pendekatan al Kharrâj (Imam Abu Yusuf), Ghalia Indonesia, Bogor, cet. I, 2011 hal. 85

[7]  The Fed, bahasa formal dari Federal Reserve System merupakan nama lain dari Bank Sentral Amerika. Sebuah lembaga independen Amerika hasil dari Federal Reserve Act yang bertugas menyelenggarakan kebijakan moneter.

[8]  Aries Mufti, Kapitalis Global, Hegemoni Dajjal dan Ekonomi Syariah, Pustaka Quantum, Jakarta, cet. I, 2004, Hal. 25

[9]  Masih ada beberapa lagi kecacatan yang belum disebutkan. Diantaranya adalah model ekonomi berbasis bunga. Sebenarnya bukan Islam saja yang melarang bunga, agama lain seperti Kristen dan Yahudi juga melarang adanya sistem ribawi walau sekedar di lingkup mereka sendiri. Bunga atau sistem ribawi yang sangat menonjol adalah pada tatanan simpan-pinjam perbankan. Misal si A menabung ke bank sejumlah 1000Le dengan bunga 10%  per tahun. Kemudian si B meminjam dari bank yang sama dengan jumlah 1000Le dan bunga 10% per tahun juga. Setahun kemudian si A mengambil uang sejumlah 1100Le setelah mendapat bunga. Kemudian B tidak mungkin mampu mengembalikan pinjamannya yang ditambahkan dengan bunga. Karena pada hakekatnya uang yang ada sejak awal perputaran uang tersebut hanya 1000Le. Lalu dari manakah yang 100Le lagi? Tentunya hanya tersimpan di dokumen dan tidak akan pernah ada di dunia nyata. Inilah kebusukan dari pada sistem ribawi. Para pelaku kapitalis meletakkan bom waktu debit yang siap meledak kapan saja.
      Jika dirunut dan dikembalikan ke uang kertas maka masalah kapitalisme dan riba akan semakin melebar. Hal itu dituturkan secara jelas dan bahasa yang mudah dipahami oleh Zaim Saidi dalam bukunya Tidak Syar’inya Bank Syariah Indonesia. 

No comments:

Post a Comment