Sunday, December 27, 2015

Menuju Indonesia Berdaulat dengan Label Negara Agraris

Rangkuman:
Tidak perlu mengekor negara lain untuk sukses. Indonesia dengan anugerah alamnya yang kaya mampu menjadi negara adidaya. Menggali ulang potensi Indonesia, sebuah negara dengan desain alam yang kaya serta potensial agraris yang sempurna akan menyadarkan kita bahwa kita bisa mandiri pada sektor pertanian. Paradigma inilah yang harus kita tanamkan, bukan memaksakan paradigma negara industri yang membuat Indonesia berjalan kembali ke belakang.
************

Saya duduk di bangku SD pada tahun 1997 hingga tahun 2003. Beberapa hal yang masih saya ingat dari pelajaran tentang negeri kita adalah Indonesia merupakan negara agraris. Letak geografisnya yang dilalui garis khatulistiwa membuat negeri ini subur secara alamiah. Deskripsi lagu Koes Plus yang berjudul “Kolam Susu” cukup untuk memperjelas bagaimana hebatnya tanah Indonesia.

Lagu Kolam Susu yang sangat populer ini didendangkan pertama kali pada tahun 1973, jauh lebih lama ketimbang pendidikan formal saya yang baru mulai tahun 1997. Tahun 1973 adalah tahun dirilisnya lagu tersebut, tapi personilnya sendiri, sudah pasti mereka telah menghirup udara asri Indonesia jauh sebelum lagu tersebut dirilis. Lagu yang begitu populer dari tahun 70-an ini sebenernya memberi isyarat tersendiri bagi saya, bahwa Indonesia, jauh sejak tahun itu, bahkan jauh lagi sebelumnya, merupakan negara dengan potensial alam melimpah.

Potensial alam itu hingga kini belumlah sirna. Julukan sebagai negara agraris pun masih pantas jika disematkan kepada Indonesia. Tentunya bukan terkait dengan produksi alam kita akhir-akhir ini, tetapi terkait kemampuan alam yang by granted mampu menghasilkan berbagai kekayaan alam. Seakan Indonesia ‘dilahirkan’ memang untuk memproduksi kekayaan alam.

Lahir dengan anugerah spesial rupanya tidak cukup membuat penduduk negara ini sumringah. Melihat tetangganya mampu menciptakan berbagai produk canggih dari logam, negara ini menjadi jengah untuk terus mengasah anugerah yang dititipkan semenjak lahir. Bersamaan dengan semakin bertambahnya umur kemerdekaan, negeri ini memilih untuk lihai mengolah logam ketimbang mencangkul tanah. Bumi pertiwi yang lahir dengan bakat sebagai negara agraris, kini memaksa diri menjadi negara industri.

Tentu saja saya tidak menyalahkan cita-cita luhur negara ini untuk bisa menyaingi negara lain dalam hal teknologi. Saya bahkan sangat bangga dengan karya-karya anak bangsa seperti Habibie dengan pesawat N250nya. Begitu juga dengan Khoirul Anwar dengan hak patennya sebagai pengembang cikal bakal teknologi komunikasi 4G. Sama halnya dengan Danet Suryatama yang baru-baru ini berhasil merancang mobil listrik. Semua karya anak bangsa ini membuat saya cukup bisa membusungkan dada ketika harus bertemu dengan kawan dari negara lain.

Semua karya bangsa tadi tentunya ditujukan agar Indonesia bisa menjadi negara mandiri sehingga tidak perlu bergantung dengan perusahaan asing. Harapan lain, tentunya agar Indonesia mempunyai harkat dan martabat lebih tinggi di hadapan seluruh negara.

Dua tujuan tadi memang patut diapresiasi dan didukung. Tapi, paradigma bangsa ini demi mewujudkan tujuan tersebut haruslah ditata ulang. Kita bisa menjadi bangsa adidaya walau tanpa label negara industri. Tanpa mengecilkan peran bangsa ini, saya justru melihat bahwa usaha industrialisasi dengan tujuan kemandirian dan martabat terlalu ngoyo. Ibarat seorang ilmuwan yang masa lalunya hanya berkutat dengan buku, tiba-tiba bercita-cita menjadi bintang lapangan. Bukannya malah semakin cepat untuk mendapatkan kemandirian dan martabat, tapi malah mengulangi dari nol. Jika seharusnya Indonesia kini sudah menjadi profesor dan mengajar di suatu universitas, sekarang malah Indonesia tidak mampu membaca buku diktatnya sendiri sehingga harus meminta tolong orang lain. Dengan demikian, dua tujuan kita tercoreng sekaligus.

Bayangkan saja jika sebuah negara berlabel agraris masih mengimpor beras, bawang merah, cabai tanaman pokok lainnya. Bangsa Indonesia harus malu jika mendengar realita yang ada di Mesir. Selama 3 tahun berdomisili di Mesir, saya merasa bahwa harga pangan di Mesir jauh lebih murah ketimbang di Indonesia. Negeri tandus ini mampu menyeimbangi kebutuhan rakyat dengan suplai yang mereka produksi sehingga harga menjadi stabil. Memang terkadang saya mendapatkannya fluktuatif, tetapi fluktuasinya berpola sesuai musim sehingga saya katakan masih stabil. Nampaknya Indonesia perlu sedikit bercermin kepada Negeri yang lebih dahulu merdeka ini.

Mesir, Negara dengan sebagian besar tanahnya yang tidak memungkinkan untuk ditanami ini cukup mengagumkan dalam bidang kekebalan produksi pangan. Jika Indonesia kelimpungan menghadapi krisis bawang merah, negeri ini malah mampu mengimpor bawang merah. Padahal, konsumsi rakyat Mesir atas bawang merah cukup tinggi. Di samping itu, penduduk Mesir yang memiliki tingkat konsumsi sangat tinggi atas tomat dan tebu berhasil menahan kran impor mereka. Untuk tomat, hasil produksi Negeri Firaun ini sudah mencukupi kebutuhan sehari-hari bangsa mereka sendiri. Adapun untuk tebu, hasil produksi dalam negeri telah mampu mencukupi hingga 90% kebutuhan bangsa . Untuk menutupi kekurangannya, negeri yang jarang mendapat curah hujan ini mengimpor dari Negara lain.

Bahan makanan yang juga diimpor dari Negara lain adalah gandum. Mereka mengimpor hingga 25% dari kebutuhan konsumsi. Namun perlu diingat, dengan impor ini, harga ‘isy, roti hasil olahan gandum yang merupakan makanan pokok warga Mesir menjadi sangat bersahabat dengan rakyat. Cukup dengan 1 pound mesir (saat ini setara Rp.1500) anda mendapat 4 roti. Padahal, saya melihat konsumsi individual jarang ada yang melebihi 3 roti dalam sekali makan. Belum lagi jenis ‘isy yang disubsidi pemerintah, cukup dengan 1 pound Mesir, anda mendapat 20 roti. Kualitas antara keduanya juga tidak jauh. Bahkan, saya bisa mengatakan anda lebih cepat kenyang jika memakan ‘isy subsidi ketimbang non-subsidi.

Unik memang ketika kita mendapatkan kenyataan tentang kondisi Mesir seperti di atas dibandingkan dengan Indonesia sekarang ini. Jangankan tanaman pangan non-pokok, untuk beras saja Indonesia masih impor. Memang untuk 2013 ini dikatakan suplai beras mengalami surplus, tapi perlu diingat bahwa itu tidak terlepas dari impor besar-besaran pada akhir tahun 2012.

Itulah dia, problematika impor sebagai salah satu kebijakan strategi pangan Indonesia yang tak jarang malah membuat produktifitas Indonesia loyo. Selalu dengan dalih stabilisasi harga komoditas di pasar, keran impor dibuka. Langkah instan inilah yang lama kelamaan membuat profesi cocok tanam kurang diminati. Segala bahan pangan bisa didatangkan dari luar negeri. Selama dompet anda masih berisi lembaran merah bergambar Sukarno atau kartu plastik berukuran 8cm x6cm dengan chip khusus, anda bisa mendapatkan berbagai jenis makanan yang dibutuhkan. Itulah mengapa profesi cocok tanam kian dijauhi, bayangan masa depan yang tidak menjanjikan. Untuk memperoleh kepastian hidup, para petani akhirnya berhijrah profesi.
Paradigma tentang industrialisasi ditambah hijrahnya para petani dari profesi. Lengkap sudah penyakit Indonesia untuk menuju kemandirian.

Menyembuhkan penyakit ini sebenernya tidak terlalu sulit. Untuk menuju Indonesia mandiri juga masih sangat mungkin. Tentunya dengan memilih jalan tercepat, dari sebuah anugerah yang dengannya Indonesia by granted terbentuk, sektor pertanian. Artinya, perlu merubah paradigma tentang negara industri. Tapi sekali lagi, kita tidak perlu mengesampingkan perkembangan industrial karena hal itu adalah sebuah keniscayaan atas perkembangan teknologi serta percepatan perpindahan manusia, barang dan informasi.

Mengubah paradigma tentang negara industrial adalah inti (core) dari permasalahan yang ada. Ketidakberpihakan kepada petani juga bermula dari sana. Sebut saja perbaikan porsi pendidikan dalam bidang teknologi sebagai contohnya. Selain itu, program pertukaran pelajar maupun study tour ke penjuru dunia juga tidak pernah bertujuan untuk pengembangan nasib petani Indonesia.

Mengubah paradigma ini juga berarti memahami falsafat akan sebuah negara agraris. Bahwa tidak ada negara yang secara mutlak berdiri sendiri tanpa uluran tangan orang lain. Maka, biarkan orang lain mengulurkan tangannya kepada kita karena kita memang membutuhkannya. Tapi, untuk perkara pertanian, jangan pernah terbesit kita memerlukan uluran tangan mereka. Biar kita yang mengulurkan tangan. Biar negara yang memang diciptakan dengan tanah subur ini memenuhi kebutuhan negara lain yang iklim mereka bukan untuk pertanian.


Dengan membentuk paradigma seperti ini, lengkap beserta falsafahnya, Indonesia akan menjadi negara berdaulat. Indonesia akan mendapatkannya tanpa harus mengeluarkan peluh lebih banyak ketimbang menempuh jalan lain. Indonesia akan menjadi negara yang bermartabat. Indonesia akan mendapatkan arti merdeka yang sebenarnya.

No comments:

Post a Comment