Rangkuman:
Tidak perlu mengekor negara lain untuk sukses.
Indonesia dengan anugerah alamnya yang kaya mampu menjadi negara adidaya.
Menggali ulang potensi Indonesia, sebuah negara dengan desain alam yang kaya
serta potensial agraris yang sempurna akan menyadarkan kita bahwa kita bisa
mandiri pada sektor pertanian. Paradigma inilah yang harus kita tanamkan, bukan
memaksakan paradigma negara industri yang membuat Indonesia berjalan kembali ke
belakang.
************
Saya
duduk di bangku SD pada tahun 1997 hingga tahun 2003. Beberapa hal yang masih
saya ingat dari pelajaran tentang negeri kita adalah Indonesia merupakan negara
agraris. Letak geografisnya yang dilalui garis khatulistiwa membuat negeri ini
subur secara alamiah. Deskripsi lagu Koes Plus yang berjudul “Kolam Susu” cukup
untuk memperjelas bagaimana hebatnya tanah Indonesia.
Lagu
Kolam Susu yang sangat populer ini didendangkan pertama kali pada tahun 1973, jauh
lebih lama ketimbang pendidikan formal saya yang baru mulai tahun 1997. Tahun
1973 adalah tahun dirilisnya lagu tersebut, tapi personilnya sendiri, sudah
pasti mereka telah menghirup udara asri Indonesia jauh sebelum lagu tersebut
dirilis. Lagu yang begitu populer dari tahun 70-an ini sebenernya memberi
isyarat tersendiri bagi saya, bahwa Indonesia, jauh sejak tahun itu, bahkan
jauh lagi sebelumnya, merupakan negara dengan potensial alam melimpah.
Potensial
alam itu hingga kini belumlah sirna. Julukan sebagai negara agraris pun masih
pantas jika disematkan kepada Indonesia. Tentunya bukan terkait dengan produksi
alam kita akhir-akhir ini, tetapi terkait kemampuan alam yang by granted
mampu menghasilkan berbagai kekayaan alam. Seakan Indonesia ‘dilahirkan’ memang
untuk memproduksi kekayaan alam.
Lahir
dengan anugerah spesial rupanya tidak cukup membuat penduduk negara ini
sumringah. Melihat tetangganya mampu menciptakan berbagai produk canggih dari
logam, negara ini menjadi jengah untuk terus mengasah anugerah yang dititipkan
semenjak lahir. Bersamaan dengan semakin bertambahnya umur kemerdekaan, negeri
ini memilih untuk lihai mengolah logam ketimbang mencangkul tanah. Bumi pertiwi
yang lahir dengan bakat sebagai negara agraris, kini memaksa diri menjadi
negara industri.
Tentu
saja saya tidak menyalahkan cita-cita luhur negara ini untuk bisa menyaingi
negara lain dalam hal teknologi. Saya bahkan sangat bangga dengan karya-karya
anak bangsa seperti Habibie dengan pesawat N250nya. Begitu juga dengan Khoirul
Anwar dengan hak patennya sebagai pengembang cikal bakal teknologi komunikasi
4G. Sama halnya dengan Danet Suryatama yang baru-baru ini berhasil merancang
mobil listrik. Semua karya anak bangsa ini membuat saya cukup bisa membusungkan
dada ketika harus bertemu dengan kawan dari negara lain.
Semua
karya bangsa tadi tentunya ditujukan agar Indonesia bisa menjadi negara mandiri
sehingga tidak perlu bergantung dengan perusahaan asing. Harapan lain, tentunya
agar Indonesia mempunyai harkat dan martabat lebih tinggi di hadapan seluruh
negara.
Dua
tujuan tadi memang patut diapresiasi dan didukung. Tapi, paradigma bangsa ini
demi mewujudkan tujuan tersebut haruslah ditata ulang. Kita bisa menjadi bangsa
adidaya walau tanpa label negara industri. Tanpa mengecilkan peran bangsa ini,
saya justru melihat bahwa usaha industrialisasi dengan tujuan kemandirian dan
martabat terlalu ngoyo. Ibarat seorang ilmuwan yang masa lalunya hanya berkutat
dengan buku, tiba-tiba bercita-cita menjadi bintang lapangan. Bukannya malah
semakin cepat untuk mendapatkan kemandirian dan martabat, tapi malah mengulangi
dari nol. Jika seharusnya Indonesia kini sudah menjadi profesor dan mengajar di
suatu universitas, sekarang malah Indonesia tidak mampu membaca buku diktatnya
sendiri sehingga harus meminta tolong orang lain. Dengan demikian, dua tujuan
kita tercoreng sekaligus.
Bayangkan
saja jika sebuah negara berlabel agraris masih mengimpor beras, bawang merah,
cabai tanaman pokok lainnya. Bangsa Indonesia harus malu jika mendengar realita
yang ada di Mesir. Selama 3 tahun berdomisili di Mesir, saya merasa bahwa harga
pangan di Mesir jauh lebih murah ketimbang di Indonesia. Negeri tandus ini
mampu menyeimbangi kebutuhan rakyat dengan suplai yang mereka produksi sehingga
harga menjadi stabil. Memang terkadang saya mendapatkannya fluktuatif, tetapi
fluktuasinya berpola sesuai musim sehingga saya katakan masih stabil. Nampaknya
Indonesia perlu sedikit bercermin kepada Negeri yang lebih dahulu merdeka ini.
Mesir,
Negara dengan sebagian besar tanahnya yang tidak memungkinkan untuk ditanami
ini cukup mengagumkan dalam bidang kekebalan produksi pangan. Jika Indonesia
kelimpungan menghadapi krisis bawang merah, negeri ini malah mampu mengimpor
bawang merah. Padahal, konsumsi rakyat Mesir atas bawang merah cukup tinggi. Di
samping itu, penduduk Mesir yang memiliki tingkat konsumsi sangat tinggi atas
tomat dan tebu berhasil menahan kran impor mereka. Untuk tomat, hasil produksi
Negeri Firaun ini sudah mencukupi kebutuhan sehari-hari bangsa mereka sendiri.
Adapun untuk tebu, hasil produksi dalam negeri telah mampu mencukupi hingga 90%
kebutuhan bangsa . Untuk menutupi kekurangannya, negeri yang jarang mendapat
curah hujan ini mengimpor dari Negara lain.
Bahan
makanan yang juga diimpor dari Negara lain adalah gandum. Mereka mengimpor
hingga 25% dari kebutuhan konsumsi. Namun perlu diingat, dengan impor ini,
harga ‘isy, roti hasil olahan gandum yang merupakan makanan pokok warga
Mesir menjadi sangat bersahabat dengan rakyat. Cukup dengan 1 pound mesir (saat
ini setara Rp.1500) anda mendapat 4 roti. Padahal, saya melihat konsumsi
individual jarang ada yang melebihi 3 roti dalam sekali makan. Belum lagi jenis
‘isy yang disubsidi pemerintah, cukup dengan 1 pound Mesir, anda
mendapat 20 roti. Kualitas antara keduanya juga tidak jauh. Bahkan, saya bisa
mengatakan anda lebih cepat kenyang jika memakan ‘isy subsidi ketimbang
non-subsidi.
Unik
memang ketika kita mendapatkan kenyataan tentang kondisi Mesir seperti di atas
dibandingkan dengan Indonesia sekarang ini. Jangankan tanaman pangan non-pokok,
untuk beras saja Indonesia masih impor. Memang untuk 2013 ini dikatakan suplai
beras mengalami surplus, tapi perlu diingat bahwa itu tidak terlepas dari impor
besar-besaran pada akhir tahun 2012.
Itulah
dia, problematika impor sebagai salah satu kebijakan strategi pangan Indonesia yang
tak jarang malah membuat produktifitas Indonesia loyo. Selalu dengan dalih
stabilisasi harga komoditas di pasar, keran impor dibuka. Langkah instan inilah
yang lama kelamaan membuat profesi cocok tanam kurang diminati. Segala bahan
pangan bisa didatangkan dari luar negeri. Selama dompet anda masih berisi
lembaran merah bergambar Sukarno atau kartu plastik berukuran 8cm x6cm dengan
chip khusus, anda bisa mendapatkan berbagai jenis makanan yang dibutuhkan.
Itulah mengapa profesi cocok tanam kian dijauhi, bayangan masa depan yang tidak
menjanjikan. Untuk memperoleh kepastian hidup, para petani akhirnya berhijrah
profesi.
Paradigma
tentang industrialisasi ditambah hijrahnya para petani dari profesi. Lengkap
sudah penyakit Indonesia untuk menuju kemandirian.
Menyembuhkan
penyakit ini sebenernya tidak terlalu sulit. Untuk menuju Indonesia mandiri
juga masih sangat mungkin. Tentunya dengan memilih jalan tercepat, dari sebuah
anugerah yang dengannya Indonesia by granted terbentuk, sektor
pertanian. Artinya, perlu merubah paradigma tentang negara industri. Tapi
sekali lagi, kita tidak perlu mengesampingkan perkembangan industrial karena
hal itu adalah sebuah keniscayaan atas perkembangan teknologi serta percepatan
perpindahan manusia, barang dan informasi.
Mengubah
paradigma tentang negara industrial adalah inti (core) dari permasalahan
yang ada. Ketidakberpihakan kepada petani juga bermula dari sana. Sebut saja
perbaikan porsi pendidikan dalam bidang teknologi sebagai contohnya. Selain
itu, program pertukaran pelajar maupun study tour ke penjuru dunia juga
tidak pernah bertujuan untuk pengembangan nasib petani Indonesia.
Mengubah
paradigma ini juga berarti memahami falsafat akan sebuah negara agraris. Bahwa
tidak ada negara yang secara mutlak berdiri sendiri tanpa uluran tangan orang
lain. Maka, biarkan orang lain mengulurkan tangannya kepada kita karena kita
memang membutuhkannya. Tapi, untuk perkara pertanian, jangan pernah terbesit
kita memerlukan uluran tangan mereka. Biar kita yang mengulurkan tangan. Biar
negara yang memang diciptakan dengan tanah subur ini memenuhi kebutuhan negara
lain yang iklim mereka bukan untuk pertanian.
Dengan
membentuk paradigma seperti ini, lengkap beserta falsafahnya, Indonesia akan
menjadi negara berdaulat. Indonesia akan mendapatkannya tanpa harus
mengeluarkan peluh lebih banyak ketimbang menempuh jalan lain. Indonesia akan
menjadi negara yang bermartabat. Indonesia akan mendapatkan arti merdeka yang
sebenarnya.
No comments:
Post a Comment