Bentuk masyarakat selalu berkembang sejalan dengan
kebutuhannya. Model interaksi yang dulunya bercorak tribalisme dengan ciri
keterbatasan lingkup pada suku tertentu kini semakin meluas. Kebutuhan manusia
yang makin kompleks membuat interaksi itu semakin melebar lagi, melewati
batas-batas kesukuan yang akhirnya sampai pada berdirinya negara-negara
berdaulat yang mewakili corak khusus pada tradisi rakyatnya.
Kompleksitas interaksi tadi selalu mengalami perkembangan.
Berbagai inovasi dilakukan untuk mendukungnya. Di antara yang paling inovatif
adalah yang perkembangan dalam bidang teknologi informasi (TI). Pada abad 21
ini, perkembangan TI telah berhasil ‘menghapuskan’ batas-batas negara,
menjadikan setiap individual seakan berada dalam satu ruang dan satu waktu.
Perkembangan TI ini melahirkan sebuah arus globalisasi
sebagai keniscayaan dari interaksi yang tidak terbatas. Arus globalisasi ini
mempengaruhi berbagai sektor kehidupan; ideologi, budaya, psikologi, bahkan tak
pelak ekonomi juga merasakan efeknya. Kegiatan ekonomi akhirnya juga ikut
bergerak sejalan dengan kemajuan TI dan laju globalisasi. Walhasil, ekonomi
klasik kini telah berevolusi menjadi sebuah konsep yang memanfaatkan kemajuan
TI sekaligus menjawab tantangan globalisasi, yaitu ekonomi digital.
Pada awalnya, konsep ekonomi digital dikenalkan oleh Don
Tapscott. Tapi konsep yang ia bawa sebatas efek dari terciptanya masyarakat
informasi. Definisi ekonomi digital lebih sering dirujuk kepada pendapat Amir
Hartman, seorang pakar di bidang bisnis dan teknologi. Ia mendefinisikan
ekonomi digital sebagai arena maya tempat transaksi terjadi, nilai dibuat serta
dipertukarkan yang seluruh kegiatannya dilaksanakan dengan menggunakan internet
sebagai perantara.
Dari pengertian di atas, kita menemukan perbedaan
fundamental antara mekanisme ekonomi digital dengan ekonomi biasa (bisnis
nyata). Dalam ekonomi digital, instrumen teknologi memiliki peran paling utama
untuk memperlancar kegiatan perniagaan, berbeda jauh dengan ekonomi biasa yang
faktor-faktor pendukungnya adalah aset-aset fisik seperti gedung dan alat
produksi. Inilah yang menjadikan ekonomi digital lebih diminati oleh para
pelaku ekonom saat ini, tidak perlu memiliki fasilitas fisik seperti tanah dan
sejenisnya untuk memulai bisnis. Selain itu, para konsumen juga hanya cukup
duduk dan mengakses kebutuhannya menggunakan perangkat komunikasi yang ia
punya.
Kemudahan ekonomi digital yang meniadakan batas ruang dan
waktu membuat banyak perusahaan-perusahaan lama yang sudah lahir sebelum era ini
tertuntut untuk mengikuti arus yang ada. Namun, itu artinya mereka harus
melakukan perubahan mendasar pada proses bisnisnya secara radikal (business
process reengineering). Sayangnya, data statistik menunjukkan bahwa
perusahaan-perusahaan lama justru gagal untuk beranomali mengikuti tuntutan
yang ada. Sebaliknya, perusahaan barulah (start-up company) yang
berhasil mendominasi persaingan pasar ekonomi digital.
Pada hakikatnya, bisnis yang menggunakan model ekonomi
digital harus siap menghadapi konsekuensi dari terbukanya informasi bagi
seluruh orang yang melek teknologi, yaitu persaingan pasar bebas dan ketat.
Artinya, saat terjun di dunia digital dia harus berhadapan head-to-head
dengan perusahaan di seluruh dunia. Setiap informasi yang ia tampilkan harus siap
dikomparasikan dengan kompetitor lainnya. Dengan ini, pebisnis tersebut harus
siap juga ketika dihadapkan dengan paradigma konsumen yang condong mencari
produk atau jasa dengan kategori cheaper, better, faster. Masalahnya,
ketika masuk dalam sistem ekonomi digital, seorang pebisnis akan menemukan
banyak rival dari perusahaan lain yang bergerak pada sektor yang sama. Tak ayal
jika ada beberapa dari sekian perusahaan yang mempunyai segmen pasar sama
kemudian kalah berinovasi untuk menghadapi tiga tuntutan konsumen tadi malah
berakhir dengan gulung tikar.
Meskipun mempunyai resiko yang tinggi, sistem digital
benar-benar diminati baik oleh produsen maupun konsumen. Data yang paling nyata
adalah kenaikan penjualan pada industri real estate, pembelian online
melonjak pada tahun 2000 dari 41% hingga 70%. Hal itu karena dengan sistem
digital para konsumen bisa mendapatkan foto, denah, bahkan sering juga
dilengkapi dengan video mengenai informasi lengkap rumah yang diinginkan hanya
dengan menggerakkan ujung jarinya. Selain itu, dengan menggunakan sistem online,
fungsi perantara (mediator) antara pembeli dan penjual menjadi terhapuskan ini
artinya meminimalisi biaya transaksi dengan cara memperpendek saluran
distribusi. Seharusnya, para mediator mendapatkan setidaknya 6% dari hasil
penjualan rumah. Namun dengan kehadiran sistem digital biaya jasa perantara
bisa dioptimalkan, baik bagi penjual maupun pembeli.
Di indonesia sendiri model transaksi digital mulai merambah.
Bahkan para pelaku bisnis tersebut bukan hanya perusahaan-perusahaan besar
ataupun orang-orang yang konsen sebagai wirasawasta, melainkan mahasiswa. Sebab
utama adalah faktor produksi lama yang berupa tanah, modal uang dan manusia bukan
lagi menjadi aspek terpenting dalam berbisnis. Pada sistem digital, faktor-faktor
tersebut telah mengalami evolusi dengan beberapa peralihan makna serta penambahan
beberapa poin berupa ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk juga berbagai
macam kreativitas dan inovasi. Artinya, para mahasiswa –sebagai pelaku bisnis
digital– sudah memiliki faktor-faktor produksi yang mencukupi untuk menjalankan
bisnis digital.
Faktor lain yang membuat sistem ini semakin marak digunakan
adalah proses penciptaan nilai berupa pemenuhan keinginan dan permintaan bagi
para pelanggan yang hanya bersifat spesifik (customized offers). Dengan
begitu, modal uang sebagai salah satu faktor produksi dari sistem biasa bisa
ditekan sehingga membuat transaksi menjadi lebih efisien. Model operasional pun
lebih bersifat fleksibel karena para penawar barang atau jasa bisa mengumpulkan
dan mengorganisir terlebih dulu informasi yang didapat dari permintaan pembeli.
Ekonomi digital juga membawa manfaat lain yang didapatkan
dari tuntutan kemampuan inteligensi sebagai faktor pendukung produksi. Kemampuan
ini tidak bisa didapat dengan instan, ia melekat pada otak manusia. Padahal,
salah satu faktor penentu sukses tidaknya bisnis ataupun perusahaan dalam
persaingan sistem digital adalah kemampuan intelegen maupun iptek yang memadai.
Dengan demikian tercipta sebuah lapangan pekerjaan baru bagi orang-orang dengan
kemampuan inteligen tertentu yang biasanya dimiliki oleh para mahasiswa.
Dari sekian banyak dampak positif yang dibawa, kesemuanya bersintesis
sehingga membentuk sebuah pola perputaran ekonomi yang dinamis. Terlebih lagi
semakin banyaknya lapangan pekerjaan tercipta yang merupakan salah satu
indikator kesejahteraan rakyat. Berbagai usaha bisa dijalankan dari dari mana
saja hanya berbekal alat komunikasi. Lebih dari itu, sistem digital ini juga
telah menciptakan sekian banyak pasar maya yang tak kalah ramai ‘dijejali’ oleh
para pengunjung. Laju moneter yang deras pada akhirnya bisa sedikit direm
dengan kehadiran sistem digital yang memacu pergerakan pasar riil. Wallahua’lam.
No comments:
Post a Comment