Sunday, December 27, 2015

Refleksi Ekonomi Digital pada Realita Pasar

Bentuk masyarakat selalu berkembang sejalan dengan kebutuhannya. Model interaksi yang dulunya bercorak tribalisme dengan ciri keterbatasan lingkup pada suku tertentu kini semakin meluas. Kebutuhan manusia yang makin kompleks membuat interaksi itu semakin melebar lagi, melewati batas-batas kesukuan yang akhirnya sampai pada berdirinya negara-negara berdaulat yang mewakili corak khusus pada tradisi rakyatnya.


Kompleksitas interaksi tadi selalu mengalami perkembangan. Berbagai inovasi dilakukan untuk mendukungnya. Di antara yang paling inovatif adalah yang perkembangan dalam bidang teknologi informasi (TI). Pada abad 21 ini, perkembangan TI telah berhasil ‘menghapuskan’ batas-batas negara, menjadikan setiap individual seakan berada dalam satu ruang dan satu waktu.

Perkembangan TI ini melahirkan sebuah arus globalisasi sebagai keniscayaan dari interaksi yang tidak terbatas. Arus globalisasi ini mempengaruhi berbagai sektor kehidupan; ideologi, budaya, psikologi, bahkan tak pelak ekonomi juga merasakan efeknya. Kegiatan ekonomi akhirnya juga ikut bergerak sejalan dengan kemajuan TI dan laju globalisasi. Walhasil, ekonomi klasik kini telah berevolusi menjadi sebuah konsep yang memanfaatkan kemajuan TI sekaligus menjawab tantangan globalisasi, yaitu ekonomi digital.

Pada awalnya, konsep ekonomi digital dikenalkan oleh Don Tapscott. Tapi konsep yang ia bawa sebatas efek dari terciptanya masyarakat informasi. Definisi ekonomi digital lebih sering dirujuk kepada pendapat Amir Hartman, seorang pakar di bidang bisnis dan teknologi. Ia mendefinisikan ekonomi digital sebagai arena maya tempat transaksi terjadi, nilai dibuat serta dipertukarkan yang seluruh kegiatannya dilaksanakan dengan menggunakan internet sebagai perantara.

Dari pengertian di atas, kita menemukan perbedaan fundamental antara mekanisme ekonomi digital dengan ekonomi biasa (bisnis nyata). Dalam ekonomi digital, instrumen teknologi memiliki peran paling utama untuk memperlancar kegiatan perniagaan, berbeda jauh dengan ekonomi biasa yang faktor-faktor pendukungnya adalah aset-aset fisik seperti gedung dan alat produksi. Inilah yang menjadikan ekonomi digital lebih diminati oleh para pelaku ekonom saat ini, tidak perlu memiliki fasilitas fisik seperti tanah dan sejenisnya untuk memulai bisnis. Selain itu, para konsumen juga hanya cukup duduk dan mengakses kebutuhannya menggunakan perangkat komunikasi yang ia punya.

Kemudahan ekonomi digital yang meniadakan batas ruang dan waktu membuat banyak perusahaan-perusahaan lama yang sudah lahir sebelum era ini tertuntut untuk mengikuti arus yang ada. Namun, itu artinya mereka harus melakukan perubahan mendasar pada proses bisnisnya secara radikal (business process reengineering). Sayangnya, data statistik menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan lama justru gagal untuk beranomali mengikuti tuntutan yang ada. Sebaliknya, perusahaan barulah (start-up company) yang berhasil mendominasi persaingan pasar ekonomi digital.

Pada hakikatnya, bisnis yang menggunakan model ekonomi digital harus siap menghadapi konsekuensi dari terbukanya informasi bagi seluruh orang yang melek teknologi, yaitu persaingan pasar bebas dan ketat. Artinya, saat terjun di dunia digital dia harus berhadapan head-to-head dengan perusahaan di seluruh dunia. Setiap informasi yang ia tampilkan harus siap dikomparasikan dengan kompetitor lainnya. Dengan ini, pebisnis tersebut harus siap juga ketika dihadapkan dengan paradigma konsumen yang condong mencari produk atau jasa dengan kategori cheaper, better, faster. Masalahnya, ketika masuk dalam sistem ekonomi digital, seorang pebisnis akan menemukan banyak rival dari perusahaan lain yang bergerak pada sektor yang sama. Tak ayal jika ada beberapa dari sekian perusahaan yang mempunyai segmen pasar sama kemudian kalah berinovasi untuk menghadapi tiga tuntutan konsumen tadi malah berakhir dengan gulung tikar.

Meskipun mempunyai resiko yang tinggi, sistem digital benar-benar diminati baik oleh produsen maupun konsumen. Data yang paling nyata adalah kenaikan penjualan pada industri real estate, pembelian online melonjak pada tahun 2000 dari 41% hingga 70%. Hal itu karena dengan sistem digital para konsumen bisa mendapatkan foto, denah, bahkan sering juga dilengkapi dengan video mengenai informasi lengkap rumah yang diinginkan hanya dengan menggerakkan ujung jarinya. Selain itu, dengan menggunakan sistem online, fungsi perantara (mediator) antara pembeli dan penjual menjadi terhapuskan ini artinya meminimalisi biaya transaksi dengan cara memperpendek saluran distribusi. Seharusnya, para mediator mendapatkan setidaknya 6% dari hasil penjualan rumah. Namun dengan kehadiran sistem digital biaya jasa perantara bisa dioptimalkan, baik bagi penjual maupun pembeli.

Di indonesia sendiri model transaksi digital mulai merambah. Bahkan para pelaku bisnis tersebut bukan hanya perusahaan-perusahaan besar ataupun orang-orang yang konsen sebagai wirasawasta, melainkan mahasiswa. Sebab utama adalah faktor produksi lama yang berupa tanah, modal uang dan manusia bukan lagi menjadi aspek terpenting dalam berbisnis. Pada sistem digital, faktor-faktor tersebut telah mengalami evolusi dengan beberapa peralihan makna serta penambahan beberapa poin berupa ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk juga berbagai macam kreativitas dan inovasi. Artinya, para mahasiswa –sebagai pelaku bisnis digital– sudah memiliki faktor-faktor produksi yang mencukupi untuk menjalankan bisnis digital.

Faktor lain yang membuat sistem ini semakin marak digunakan adalah proses penciptaan nilai berupa pemenuhan keinginan dan permintaan bagi para pelanggan yang hanya bersifat spesifik (customized offers). Dengan begitu, modal uang sebagai salah satu faktor produksi dari sistem biasa bisa ditekan sehingga membuat transaksi menjadi lebih efisien. Model operasional pun lebih bersifat fleksibel karena para penawar barang atau jasa bisa mengumpulkan dan mengorganisir terlebih dulu informasi yang didapat dari permintaan pembeli.

Ekonomi digital juga membawa manfaat lain yang didapatkan dari tuntutan kemampuan inteligensi sebagai faktor pendukung produksi. Kemampuan ini tidak bisa didapat dengan instan, ia melekat pada otak manusia. Padahal, salah satu faktor penentu sukses tidaknya bisnis ataupun perusahaan dalam persaingan sistem digital adalah kemampuan intelegen maupun iptek yang memadai. Dengan demikian tercipta sebuah lapangan pekerjaan baru bagi orang-orang dengan kemampuan inteligen tertentu yang biasanya dimiliki oleh para mahasiswa.


Dari sekian banyak dampak positif yang dibawa, kesemuanya bersintesis sehingga membentuk sebuah pola perputaran ekonomi yang dinamis. Terlebih lagi semakin banyaknya lapangan pekerjaan tercipta yang merupakan salah satu indikator kesejahteraan rakyat. Berbagai usaha bisa dijalankan dari dari mana saja hanya berbekal alat komunikasi. Lebih dari itu, sistem digital ini juga telah menciptakan sekian banyak pasar maya yang tak kalah ramai ‘dijejali’ oleh para pengunjung. Laju moneter yang deras pada akhirnya bisa sedikit direm dengan kehadiran sistem digital yang memacu pergerakan pasar riil. Wallahua’lam.

No comments:

Post a Comment