Saturday, December 26, 2015

Arsitek Pendidikan Akhlak

Al-Mu’allim ats-Tsâlits, begitulah julukan salah satu penggagas filsafat akhlak ini. Pemikirannya yang fantastis dalam bidang filsafat membuat para ilmuwan yang datang setelahnya menyandingkan sosok Ibnu Miskawaih dalam deretan filusuf Islam terkemuka setelah al-Kindi dan al-Farabi. Ciri khusus dari filsafat beliau adalah korelasi serta penekanannya pada aspek akhlak. Melalui metodologi pembahasannya yang sangat sistematis, Miskawaih mampu mengurai konsep jiwa yang kemudian dikembangkan hingga konsep akhlak dan pendidikan.

Beliau terlahir di kota Ray, Iran dengan nama lengkap Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub pada tahun 330 H (932 M). Beliau kemudian meninggal 91 tahun setelahnya, yaitu pada 421 H di kota Asfahan. Adapun nama Miskawaih merupakan julukannya,namun, sebagian ulama beranggapan bawa Miskawaih adalah julukan kakeknya.Beliau juga dipanggil dengan al-Khâzin, sebuah julukan yang disematkan kepadanya karena ketenarannya sebagai bendaharawan pada Dinasti Buhaiwiyah.

Ibnu Miskawaih memang hidup pada era ke tiga dari kehilafahan daulah Abbasiyah, yaitu pada saat sendi-sendi daulah ini mulai keropos. Banyak daulah kecil bermunculan yang salah satunya adalah DInasti Buhaiwiyah tersebut. Pada dinasti inilah dia banyak mengisi hidupnya, baik menjadi bendaharawan, sekretaris ataupun pustawakan. Selain itu, Ibnu Miskawaih juga menjadi guru bagi anak para pemuka Dinasti Buwaihiyah.

Dinasti Buwaihiyah sendiri memiliki atmosfir keilmuan yang sangat mendukung. Para penguasanya menaruh perhatian besar pada dinamika keilmuan Islam. Kegiatan daulah sangat pekat dengan aroma majelis-majelis ilmu, baik sastra, filsafat dan lain sebagainya. Jurji Zaidan dalam bukunya Târîkh al-Adab al-Lughah menggambarkan bahwa pada di bawah naungan dinasti ini, dinamika keilmuan Islam tidak berhenti. Jusrtu banyak ilmu berkembang, seperti ilmu kedokteran, sejarah, geografi, bahkan banyak perpustakaan yang mempunyai makhtutâth tersebar di dalam daulah.

Meskipun atmosfir lingkungan tempat tinggalnya bisa dilacak, tapi latar pendidikan Ibnu Miskawaih secara individual sangat sukar untuk diketahui. Para sejarawan juga tidak memberikan informasi yang komprehensif mengenai Ibnu Miskawaih. Bahkan kitab Siar A’lâm an-Nubalâ` sebuah karya karangan adz-Dzahabi yang banyak dijadikan rujukan untuk mengetahui biografi ulama Islam juga tidak mencantumkan nama Miskawaih. Dari sekian banyak buku sejarah, hanya sedikit yang memaparkan biografi Miskawaih, diantaranya adalah kitab al-Wâfî bi al-Wafayât karangan Sholahuddin as-Shafhady dan Mu’jam al-Udabâ` karya Yaqut al-Hamawi,  itu pun hanya menyinggung secuil dari kehidupannya. Selain itu, Ibnu Miskawaih sendiri juga tidak menuliskan auto biografinya. Namun, diduga kuat bahwasanya pendidikannya di masa kecil tidak jauh beda dengan pendidikan anak seusianya pada zaman itu; mempelajari Alquran, gramatikal bahasa arab, dan ‘arudh (ilmu membaca dan membuat syair).

Kemudian, setelah menyelesaikan pendidikan dasar tersebut, ia berguru pada ulama-ulama hebat pada zamannya. Di antaranya adalah Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadhi, salah satu murid Ibnu Jarir ath-Thabari yang dari beliaulah Ibnu Miskawaih mempelajari sejarah. Selain Abu Bakar, Ibnu Miskawaih juga menuntut ilmu kepada Ibnu Khammar, seorang ulama yang konsen pada filsafat Aristoteles dan juga ahli di bidang kedokteran. Dari beliaulah Ibnu Miskawaih mempelajari filsafat dan kedokteran. Tidak heran bila corak filsafat Ibnu Miskawaih banyak kemiripan dengan Aristoteles. Ibnu Miskawaih juga tertarik kepada ilmu kimia. Hal itu bisa dilihat dari begitu banyaknya guru yang Miskawaih datangi untuk memperdalam ilmu Kimia, di antaranya adalah ar-Razi, Jabir bin Hayyan dan Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi.

Miskawaih mempunyai sebuah karya fenomenal yang beliau hasilkan seputar akhlak, yaitu Tahdzîb al-Akhlaq wa Tathîr al-A’râq. Begitu hebatnya buku ini dalam mengulas jiwa, akhlak dan pendidikan, Muhammad Abduh sampai mengusulkan agar buku ini diajarkan di Universitas al-Azhar. Seorang tokoh selevel Ali Basya Rifa’ah bahkan turut memberikan sumbangsih untuk menyebarkan buku ini. Begitu juga Sa’d Zaghlul, seorang ulama serta tokoh revolusioner ini juga berusaha membuat ikhtishar atas buku ini walaupun usaha tersebut belum selesai hingga wafatnya.

Berdasarkan Ensiklopedia Islam yang diterbitkan di Jakarta, masih ada 40 buku lagi selain buku di atas yang dikarang oleh Miskawaih. Kebanyakan buku karangan beliau itu membahas seputar jiwa, filsafat, akhlak dan sejarah. Dalam bidang sejarah, Miskawaih mempunyai karya yang cukup banyak dipakai sebagai rujukan oleh para ulama. Karya tersebut bernama Târîkh al-Umam wa Ta’âqub al-Himam. Buku ini terus menerus disempurnakan oleh beliau hingga akhir hayatnya. Selain itu, cabang ilmu lain juga tidak ketinggalan untuk beliau garap, di antaranya adalah seputar politik, aturan hidup, kata-kata mutiara, bahkan hingga seni memasak. Itu belum termasuk risalah-risalah pendek yang ia tulis dalam bahasa Persi sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Baqir al-Khawansari dalam buku Raudhât al-Jannât fî Ahwâl al-‘Ulamâ wa as-Sâdât. Tidak heran jika Ibnu Miskawaih dikenal sebagai ahli filsafat, sejarawan serta sastrawan.

Dari buku Tahdzîb al-Akhlaq tersebut corak pemikiran Miskawaih sudah bisa digambarkan. Salah satu konsep yang beliau usung adalah pendidikan sejak dini. Sebenarnya, konsep pendidikan dini adalah turunan dari konsep pendidikan secara umum. Latar belakang filsafat Miskawaih yang banyak diambil dari Aristoteles dan Plato memberikan warna khas mereka berdua pada kebanyakan pemikiran MIskawaih, termasuk juga dalam buku ini. Maka dari itu, untuk mencapai kesimpulan akan pentingnya pendidikan akhlak yang dimulai sejak dini, semua dilaluinya dengan corak spiritual teologis dengan bumbu filsafat yang kental dengan kecenderungan platonis.

Menurut beliau, yang dimaksud dengan konsep akhlaq sebagai tujuan pendidikan adalah menghasilkan bagi setiap individual, sebuah kepribadian yang merupakan sumber dari perilaku-perilaku yang baik. Semua perilaku tersebut keluar secara spontan dari diri kita tanpa beban dan kesukaran. Dengan kata lain, Miskawaih ingin memperkokoh daya positif yang dimiliki manusia agar mencapai tingkatan manusia yang sempurna. Dengan pendidikan, daya positif tersebut diintegrasikan secara periodik hingga kemudian segala hal positif keluar dari seseorang dengan spontanitas.


Walau pemikiran Miskawaih banyak terpengaruh oleh Plato, namun MIskawaih tidak menerima keseluruhannya. Hal itu terlihat jelas dari pemaparan di atas bahwa akhlak bukan sesuatu yang konstan. Ia adalah hal yang masih bisa diubah dan dibentuk. Adapun variabel paling kuat untuk membentuk akhlak tersebut adalah pendidikan. Berbanding terbalik dengan pemikiran filusuf Yunani yang menyatakan bahwa akhlak merupakan bagian dari watak yang notabene tidak bisa diubah.

*Dipublikasikan pada Buletin La Tansa IKPM Kairo

No comments:

Post a Comment