Al-Mu’allim ats-Tsâlits, begitulah julukan salah satu penggagas filsafat akhlak ini.
Pemikirannya yang fantastis dalam bidang filsafat membuat para ilmuwan yang
datang setelahnya menyandingkan sosok Ibnu Miskawaih dalam deretan filusuf
Islam terkemuka setelah al-Kindi dan al-Farabi. Ciri khusus dari filsafat
beliau adalah korelasi serta penekanannya pada aspek akhlak. Melalui metodologi
pembahasannya yang sangat sistematis, Miskawaih mampu mengurai konsep jiwa yang
kemudian dikembangkan hingga konsep akhlak dan pendidikan.
Ibnu Miskawaih memang hidup pada era ke tiga
dari kehilafahan daulah Abbasiyah, yaitu pada saat sendi-sendi daulah ini mulai
keropos. Banyak daulah kecil bermunculan yang salah satunya adalah DInasti
Buhaiwiyah tersebut. Pada dinasti inilah dia banyak mengisi hidupnya, baik
menjadi bendaharawan, sekretaris ataupun pustawakan. Selain itu, Ibnu Miskawaih
juga menjadi guru bagi anak para pemuka Dinasti Buwaihiyah.
Dinasti Buwaihiyah sendiri memiliki atmosfir
keilmuan yang sangat mendukung. Para penguasanya menaruh perhatian besar pada
dinamika keilmuan Islam. Kegiatan daulah sangat pekat dengan aroma
majelis-majelis ilmu, baik sastra, filsafat dan lain sebagainya. Jurji Zaidan
dalam bukunya Târîkh al-Adab al-Lughah menggambarkan bahwa pada di bawah
naungan dinasti ini, dinamika keilmuan Islam tidak berhenti. Jusrtu banyak ilmu
berkembang, seperti ilmu kedokteran, sejarah, geografi, bahkan banyak
perpustakaan yang mempunyai makhtutâth tersebar di dalam daulah.
Meskipun atmosfir lingkungan tempat tinggalnya
bisa dilacak, tapi latar pendidikan Ibnu Miskawaih secara individual sangat
sukar untuk diketahui. Para sejarawan juga tidak memberikan informasi yang
komprehensif mengenai Ibnu Miskawaih. Bahkan kitab Siar A’lâm an-Nubalâ` sebuah
karya karangan adz-Dzahabi yang banyak dijadikan rujukan untuk mengetahui
biografi ulama Islam juga tidak mencantumkan nama Miskawaih. Dari sekian banyak
buku sejarah, hanya sedikit yang memaparkan biografi Miskawaih, diantaranya
adalah kitab al-Wâfî bi al-Wafayât karangan Sholahuddin as-Shafhady dan
Mu’jam al-Udabâ` karya Yaqut al-Hamawi, itu pun hanya menyinggung secuil dari
kehidupannya. Selain itu, Ibnu Miskawaih sendiri juga tidak menuliskan auto
biografinya. Namun, diduga kuat bahwasanya pendidikannya di masa kecil tidak
jauh beda dengan pendidikan anak seusianya pada zaman itu; mempelajari Alquran,
gramatikal bahasa arab, dan ‘arudh (ilmu membaca dan membuat syair).
Kemudian, setelah menyelesaikan pendidikan
dasar tersebut, ia berguru pada ulama-ulama hebat pada zamannya. Di antaranya
adalah Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadhi, salah satu murid Ibnu Jarir
ath-Thabari yang dari beliaulah Ibnu Miskawaih mempelajari sejarah. Selain Abu
Bakar, Ibnu Miskawaih juga menuntut ilmu kepada Ibnu Khammar, seorang ulama
yang konsen pada filsafat Aristoteles dan juga ahli di bidang kedokteran. Dari
beliaulah Ibnu Miskawaih mempelajari filsafat dan kedokteran. Tidak heran bila
corak filsafat Ibnu Miskawaih banyak kemiripan dengan Aristoteles. Ibnu Miskawaih
juga tertarik kepada ilmu kimia. Hal itu bisa dilihat dari begitu banyaknya
guru yang Miskawaih datangi untuk memperdalam ilmu Kimia, di antaranya adalah
ar-Razi, Jabir bin Hayyan dan Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi.
Miskawaih mempunyai
sebuah karya fenomenal yang beliau hasilkan seputar akhlak, yaitu Tahdzîb
al-Akhlaq wa Tathîr al-A’râq. Begitu hebatnya buku ini dalam mengulas jiwa,
akhlak dan pendidikan, Muhammad Abduh sampai mengusulkan agar buku ini
diajarkan di Universitas al-Azhar. Seorang tokoh selevel Ali Basya Rifa’ah
bahkan turut memberikan sumbangsih untuk menyebarkan buku ini. Begitu juga Sa’d
Zaghlul, seorang ulama serta tokoh revolusioner ini juga berusaha membuat ikhtishar
atas buku ini walaupun usaha tersebut belum selesai hingga wafatnya.
Berdasarkan
Ensiklopedia Islam yang diterbitkan di Jakarta, masih ada 40 buku lagi selain
buku di atas yang dikarang oleh Miskawaih. Kebanyakan buku karangan beliau itu
membahas seputar jiwa, filsafat, akhlak dan sejarah. Dalam
bidang sejarah, Miskawaih mempunyai karya yang cukup banyak dipakai sebagai
rujukan oleh para ulama. Karya
tersebut bernama Târîkh al-Umam wa Ta’âqub al-Himam. Buku ini terus
menerus disempurnakan oleh beliau hingga akhir hayatnya. Selain itu, cabang ilmu lain juga tidak ketinggalan untuk beliau garap, di
antaranya adalah seputar politik, aturan hidup, kata-kata mutiara, bahkan
hingga seni memasak. Itu belum termasuk risalah-risalah pendek yang ia tulis dalam bahasa
Persi sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Baqir al-Khawansari dalam buku Raudhât
al-Jannât fî Ahwâl al-‘Ulamâ wa as-Sâdât. Tidak heran jika Ibnu Miskawaih dikenal sebagai ahli
filsafat, sejarawan serta sastrawan.
Dari buku Tahdzîb
al-Akhlaq tersebut corak pemikiran Miskawaih sudah bisa digambarkan. Salah
satu konsep yang beliau usung adalah pendidikan sejak dini. Sebenarnya, konsep
pendidikan dini adalah turunan dari konsep pendidikan secara umum. Latar
belakang filsafat Miskawaih yang banyak diambil dari Aristoteles dan Plato
memberikan warna khas mereka berdua pada kebanyakan pemikiran MIskawaih,
termasuk juga dalam buku ini. Maka dari itu, untuk mencapai kesimpulan akan
pentingnya pendidikan akhlak yang dimulai sejak dini, semua dilaluinya dengan
corak spiritual teologis dengan bumbu filsafat yang kental dengan kecenderungan
platonis.
Menurut beliau, yang dimaksud dengan konsep akhlaq sebagai tujuan
pendidikan adalah menghasilkan bagi setiap individual, sebuah kepribadian yang
merupakan sumber dari perilaku-perilaku yang baik. Semua perilaku tersebut
keluar secara spontan dari diri kita tanpa beban dan kesukaran. Dengan kata
lain, Miskawaih ingin memperkokoh daya positif yang dimiliki manusia agar
mencapai tingkatan manusia yang sempurna. Dengan pendidikan, daya positif
tersebut diintegrasikan secara periodik hingga kemudian segala hal positif
keluar dari seseorang dengan spontanitas.
Walau pemikiran Miskawaih banyak terpengaruh oleh Plato, namun MIskawaih
tidak menerima keseluruhannya. Hal itu terlihat jelas dari pemaparan di atas
bahwa akhlak bukan sesuatu yang konstan. Ia adalah hal yang masih bisa diubah
dan dibentuk. Adapun variabel paling kuat untuk membentuk akhlak tersebut
adalah pendidikan. Berbanding terbalik dengan pemikiran filusuf Yunani yang
menyatakan bahwa akhlak merupakan bagian dari watak yang notabene tidak bisa
diubah.
*Dipublikasikan pada Buletin La Tansa IKPM Kairo
No comments:
Post a Comment