Wednesday, December 30, 2015

Sejarah Munculnya paham Jabariah dan Qodariah Perspektif Ali Sami Nassar

Ali Sami Nassar merupakan salah satu tokoh pemikir Islam yang gagasan-gagasannya mengenai filsafat sangat diperhitungkan dewasa ini. Salah satu master piecenya adalah buku Nasy`ah al-Fikr al-Falsafy fi al-Islam. Cara Sami Nassar dalam menganalisa memang mampu membuat takjub para pembacanyaa. Sebut saja dalam masalah kemunculan paham Jabariah dan Qodariah. Sami Nassar mampu membuat sebuah silsilah runtut bagaimana paham tersebut muncul dan diadopsi oleh pengikut-pengikut setelahnya.

Sebenarnya, permasalahan tentang ada tidaknya kehendak Tuhan dalam perbuatan hamba sudah ada bahkan sejak zaman kekhilafan Umar bin Khattab. Namun, Sami Nassar mendapati bahwa perseteruan kedua paham ini mulai menguat pada masa berdirinya daulah Umawiyah.


Umawiyah, sebagaimana kita ketahui, berhasil mendirikan kekhilafahan setelah perselisihan panjang antara penduduk Hijaz dan Syam. Perseteruan ini tidak berhenti begitu saja setelah khilafah Umawiyah berdiri. Maka,dibutuhkan sebuah benteng untuk memperkuat posisi kekhilafahan Umawiyah yang bisa goyah kapan saja oleh pemberontakan. Di sinilah paham Jabariyah mulai digunakan untuk menciptakan dogma yang kiranya mampu membentengi kekhilafahan menurut Sami Nassar. Paham Jabariyah menjadi sebuah legitimasi atas berdirinya kekhilafahan Umawiyah. Sudah merupakan ketetapan Tuhan jika akan berdiri khilafah Umawiyah pasca terbunuhnya Ali. Paham ini, sebagaimana yang disampaikan Sami Nassar, tak henti-hentinya digaungkan oleh pemerintah. Dengan adanya paham ini, diharapkan bahwa gelombang pemberontakan akan berkurang sehingga sendi-sendi khilafah berdiri dengan kokoh.

Sebenarnya pendapat Sami Nassar bahwa kemunculan paham Jabariyah bermula dari konflik politik berdasarkan pada asumsinya tentang ketiadaan hubungan pemikiran kehendak Tuhan dengan filsafat asing. Dalam analisanya tentang hubungan keterpengaruhan Islam dengan corak filsafat asing, Sami Nassar sama sekali tidak menemukan bahwa baik konsep jabariyah ataupun qodariyah diimpor dari non-Islam. Tarik ulur paham kehendak Tuhan dalam perbuatan hamba benar-benar murni muncul dari dalam Islam. Berangkat dari premis ini, saya berpendapat bahwa akhirnya Sami Nassar mengaitkan kemunculan paham Jabariah dan Qodariah dengan konflik politik.

Masih dengan pisau analisa yang sama, Sami Nassar pada tahap selanjutnya mengatakan bahwa paham Qodariah muncul sebagai reaksi atas paham Jabariah yang dipaksakan oleh pemerintah. Saya juga coba menebak bahwa hipotesa kemunculan paham Qodariah sebagai reaksi atas Jabariah berdasarkan analisa Sami Nassar tentang daerah kemunculan kedua paham tersebut. Jabariah muncul di ibukota kekhilafahan yang notabene merupakan pendukung Muawiyah pada masa fitnah, adapun Qodariah muncul di Madinah yang penduduknya adalah pendukung Ali. Selain itu, kika kemunculan Jabariah digadang-gadangkan oleh pemerintah, maka pionir Qodariah adalah Muhammad bin Hanafiah yang merupakan putera dari Ali bin Abi Tholib dari jalur isteri Ali Khoulah bintu Ja’far al-Hanafiah.

Ketika masuk pada masa pengembangan paham masing-masing kelompok, fokus Sami Nassar jatuh pada Muhammad bin Hanafiah sebagai tokoh utama. Muhammad bin Hanafiah, bagi Sami Nassar, merupakan pelopor  pergerakan keilmuan Islam. Ketika Muhammad bin Hanafiah menyendiri dari hiruk pikuk konflik politik, dia membuat sebuah tempat pengajaran kecil-kecilan. Murid jebolan madrasah Muhammad bin Hanafiah nantinya merupakan pionir dari paham Qodariyah dan sekte Muktazilah.

Muhammad bin Hanafiah sendiri mempunyai dua anak yang tentunya sangat terpengaruh dengan pola pikir sang ayah. Pertama adalah Abu Hasyim bin Muhammad yang kemudian mempunyai murid Washil bin Atho’ sang perintis Muktazilah. Kemudian anak ke dua adalah Hasan bin Muhammad yang nantinya mempunyai murid Ghailan al-Dimasyqi, salah satu pembesar Qodariah. Kemudian, dari madrasah Muhammad bin Hanafiah ini jugalah Ma’bad al-Juhni mengambil konsep tentang Qodariah. Kepada Ma’bad inilah paham Qodariah di kemudian hari dinisbatkan.

Mengenai Ma’bad al-Juhni, Sami Nassar berpendapat bahwa selain terpengaruh dengan pemikiran Muhammad bin Hanafiah, ia juga mendapat pengaruh pemikiran Abu Dzar al-Ghifari. Masih dengan pisau analisa yang sama, Sami Nassar beranggapan bahwa polemiknya dengan Utsman dan Muawiyah mempengaruhi bangunan pikiran Abu Dzar. Selain itu, Madinah yang merupakan tempat tumbuhnya Ma’bad al-Juhni juga sangat kental dengan aura pemikiran Qodariah sebagai reaksi Jabariah pemerintah. Lengkap sudah faktor-faktor yang membuat Ma’bad al-Juhni menyatakan paham Qodariah mutlak sebelum kematiannya. Selain Ma’bad, orang yang berpengaruh banyak dalam penyebaran paham Qodariyah Ghailan al-Dimasyqi. Di tangan mereka berdualah paham Qodariyah tumbuh dan menyebar di tubuh Islam.

Adapun Jabariah, walau sudah disebutkan bahwa bibitnya mulai ada sejak berdirinya khilafah Umawiyah, namun paham ini baru matang di tangan Ja’d bin Dirham yang kemudian disempurnakan oleh Jahm bin Sofwan. Adapun keterangan mengenai Ja’d bin Dirham dari buku-buku biografi sangat simpang siur. Sami Nassar hanya sampai pada kesimpulan bahwa Ja’d mempunyai andil dalam memperkenalkan Jabariah. Selain itu, Ja’d adalah orang yang pertama mengenalkan penafian sifat Allah serta perkataan bahwa Alquran adalah makhluk yang nantinya diadopsi oleh Muktazilah. Adapun Jahm bin Sofwan mengambil cara berpikir Ja’d dalam perkara yang telah disebutkan di atas. Dalam perjalanan hidupnya, Jahm sempat bertemu dengan Maqatil bin Sulaiman, salah satu perintis paham Tasybih dan Tajsim kala itu. Nama Maqatil sendiri cukup terkenal di antara para sarjana Muslim sebagai orang yang kebablasan dalam menetapkan sifat Allah yang membuat para sarjana Muslim tersebut mengecapnya kafir.

Seperti biasa, Sami Nassar membuat analisa untuk mengetahui dari mana kedua tokoh Jabariah di atas mendapatkan konsep mereka. Hasilnya adalah seperti yang telah dikemukakan di awal, bahwa baik paham Qodariah maupun Jabariah adalah murni buah pemikiran beberapa orang waktu itu.

Selain hasil analisa yang menyatakan bahwa pemikiran Jabariah tidak berkaitan dengan konsep non-Islam, Sami Nassar sampai pada hasil lain yang lagi-lagi membuat kita tercengang. Sami Nassar berpendapat bahwa ada beberapa sebab mengapa Jahm bin Sofwan getol menyebarkan paham Jabariah. Diantaranya adalah reaksi atas Ma’bad al-Juhni yang cukup giat menyebarkan paham Qodariah di Madaniah. Melihat geliat Ma’bad al-Juhni, maka Jahm bin Sofwan juga mengimbanginya dengan menyebarkan paham Jabariahnya di Khurrasan. Kemudian, Jahm yang banyak terpengaruh dengan pemikiran Ja’d mengenai penafian sifat Allah, ternyata bertemu dengan Maqatil yang berlebihan dalam menetapkan sifat Allah. Jadilah Jahm bin Sofwan semakin termotivasi untuk menyebarkan pemikirannya sebagai bentuk reaksi atas Maqatil.

Intinya, paham Jabariah ini berhasil diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham dan disebarkan oleh Jahm bin Sofwan. Namun, nama Jahmiah pada tahap selanjutnya lebih identik dengan Muktazilah. Hal itu karena Paham Muktazilah mengambil konsep memprioritaskan akal dan rasional, penafian sifat Allah serta perkataan bahwa Alquran itu makhluk dari kelompok ini. Meskipun, dalam konsep penafian kehendak Tuhan dalam perbuatan hamba diambil dari Qodariah.

Sedikit Pandangan Penulis

Sejauh saya membaca buku Nasy`ah al-Fikr al-Falsafy, cara analisa yang ditawarkan oleh Sami Nassar mempunyai karakteristik yang kental. Sami Nassar sangat berani dalam mengorek kemunculan kelompok-kelompok Islam hingga ke akar-akarnya. Hal yang paling signifkan dari pisau analisa Sami Nassar adalah bahwa kemunculan atau matangnya paham kelompok-kelompok tersebut setidaknya diwarnai dengan salah satu dari dua faktor: konflik politik atau pengaruh pemikiran luar. Bentuk aksi-reaksi antar kelompok dalam menggodok paham mereka hingga menjadi sistematis juga sangat terasa.

Hal ini berbeda dengan cara pandang Abu Zuhroh dalam bukunya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Abu Zuhroh terkesan lebih datar dalam menyingkap kemunculan kelompok-kelompok dalam Islam. Beliau hanya menukil pendapat-pendapat yang ada di buku biografi ilmuan Muslim dan buku-buku sejarah. Dikarenakan pisau analisa yang berbeda, hasil temuan mereka berdua pun berbeda. Abu Zuhroh mengatakan bahwa kemunculan Qodariah pertama kali adalah di Basroh. Untuk kemunculan Jabariah, analisan Abu Zuhroh hanya berhenti pada orang yang pertama kali mengenalkannya, yaitu Ja’d bin Dirham. Namun, faktor lain yang nampaknya juga berpengaruh banyak terhadap hasil analisa mereka berdua adalah tokoh bernama Muhammad bin Hanafiah. Dalam kemunculan kedua paham tadi, Abu Zuhroh nampaknya sama sekali tidak mengaitkan dengan keberadaan Muhammad bin Hanafiah.


Terkait dengan cara analisa Sami Nassar, saya –dengan pengetahuan serba minimal yang saya miliki– kurang bisa memahami kenapa hanya dua faktor tadi yang ia jadikan landasan. Seakan munculnya gerakan keilmuan dalam Islam harus dibarengi baik itu konflik politik atau faktor eksternal. Tidak ada yang murni hasil pembelajaran, telaah, kajian, ataupun renungan mendalam tentang Islam. Kalaupun ada, hal itu tidak ia jadikan batu loncatan pertama dalam membuat diagnosa kemunculan kelompok-kelompok Islam. Dengan bahasa yang lebih ekstrem, buah pikiran Islam kebanyakan hanya adopsi dari pemikiran luar.

No comments:

Post a Comment