Ali Sami Nassar
merupakan salah satu tokoh pemikir Islam yang gagasan-gagasannya mengenai
filsafat sangat diperhitungkan dewasa ini. Salah satu master piecenya
adalah buku Nasy`ah al-Fikr al-Falsafy fi al-Islam. Cara Sami Nassar
dalam menganalisa memang mampu membuat takjub para pembacanyaa. Sebut saja
dalam masalah kemunculan paham Jabariah dan Qodariah. Sami Nassar mampu membuat
sebuah silsilah runtut bagaimana paham tersebut muncul dan diadopsi oleh
pengikut-pengikut setelahnya.
Sebenarnya,
permasalahan tentang ada tidaknya kehendak Tuhan dalam perbuatan hamba sudah
ada bahkan sejak zaman kekhilafan Umar bin Khattab. Namun, Sami Nassar
mendapati bahwa perseteruan kedua paham ini mulai menguat pada masa berdirinya
daulah Umawiyah.
Umawiyah, sebagaimana
kita ketahui, berhasil mendirikan kekhilafahan setelah perselisihan panjang
antara penduduk Hijaz dan Syam. Perseteruan ini tidak berhenti begitu saja
setelah khilafah Umawiyah berdiri. Maka,dibutuhkan sebuah benteng untuk
memperkuat posisi kekhilafahan Umawiyah yang bisa goyah kapan saja oleh
pemberontakan. Di sinilah paham Jabariyah mulai digunakan untuk menciptakan
dogma yang kiranya mampu membentengi kekhilafahan menurut Sami Nassar. Paham
Jabariyah menjadi sebuah legitimasi atas berdirinya kekhilafahan Umawiyah.
Sudah merupakan ketetapan Tuhan jika akan berdiri khilafah Umawiyah pasca
terbunuhnya Ali. Paham ini, sebagaimana yang disampaikan Sami Nassar, tak
henti-hentinya digaungkan oleh pemerintah. Dengan adanya paham ini, diharapkan
bahwa gelombang pemberontakan akan berkurang sehingga sendi-sendi khilafah
berdiri dengan kokoh.
Sebenarnya pendapat
Sami Nassar bahwa kemunculan paham Jabariyah bermula dari konflik politik
berdasarkan pada asumsinya tentang ketiadaan hubungan pemikiran kehendak Tuhan
dengan filsafat asing. Dalam analisanya tentang hubungan keterpengaruhan Islam
dengan corak filsafat asing, Sami Nassar sama sekali tidak menemukan bahwa baik
konsep jabariyah ataupun qodariyah diimpor dari non-Islam. Tarik ulur paham
kehendak Tuhan dalam perbuatan hamba benar-benar murni muncul dari dalam Islam.
Berangkat dari premis ini, saya berpendapat bahwa akhirnya Sami Nassar
mengaitkan kemunculan paham Jabariah dan Qodariah dengan konflik politik.
Masih dengan pisau
analisa yang sama, Sami Nassar pada tahap selanjutnya mengatakan bahwa paham
Qodariah muncul sebagai reaksi atas paham Jabariah yang dipaksakan oleh
pemerintah. Saya juga coba menebak bahwa hipotesa kemunculan paham Qodariah
sebagai reaksi atas Jabariah berdasarkan analisa Sami Nassar tentang daerah
kemunculan kedua paham tersebut. Jabariah muncul di ibukota kekhilafahan yang
notabene merupakan pendukung Muawiyah pada masa fitnah, adapun Qodariah muncul
di Madinah yang penduduknya adalah pendukung Ali. Selain itu, kika kemunculan
Jabariah digadang-gadangkan oleh pemerintah, maka pionir Qodariah adalah
Muhammad bin Hanafiah yang merupakan putera dari Ali bin Abi Tholib dari jalur
isteri Ali Khoulah bintu Ja’far al-Hanafiah.
Ketika masuk pada masa
pengembangan paham masing-masing kelompok, fokus Sami Nassar jatuh pada
Muhammad bin Hanafiah sebagai tokoh utama. Muhammad bin Hanafiah, bagi Sami
Nassar, merupakan pelopor pergerakan
keilmuan Islam. Ketika Muhammad bin Hanafiah menyendiri dari hiruk pikuk
konflik politik, dia membuat sebuah tempat pengajaran kecil-kecilan. Murid
jebolan madrasah Muhammad bin Hanafiah nantinya merupakan pionir dari paham
Qodariyah dan sekte Muktazilah.
Muhammad bin Hanafiah
sendiri mempunyai dua anak yang tentunya sangat terpengaruh dengan pola pikir
sang ayah. Pertama adalah Abu Hasyim bin Muhammad yang kemudian mempunyai murid
Washil bin Atho’ sang perintis Muktazilah. Kemudian anak ke dua adalah Hasan
bin Muhammad yang nantinya mempunyai murid Ghailan al-Dimasyqi, salah satu
pembesar Qodariah. Kemudian, dari madrasah Muhammad bin Hanafiah ini jugalah
Ma’bad al-Juhni mengambil konsep tentang Qodariah. Kepada Ma’bad inilah paham
Qodariah di kemudian hari dinisbatkan.
Mengenai Ma’bad al-Juhni,
Sami Nassar berpendapat bahwa selain terpengaruh dengan pemikiran Muhammad bin
Hanafiah, ia juga mendapat pengaruh pemikiran Abu Dzar al-Ghifari. Masih dengan
pisau analisa yang sama, Sami Nassar beranggapan bahwa polemiknya dengan Utsman
dan Muawiyah mempengaruhi bangunan pikiran Abu Dzar. Selain itu, Madinah yang
merupakan tempat tumbuhnya Ma’bad al-Juhni juga sangat kental dengan aura
pemikiran Qodariah sebagai reaksi Jabariah pemerintah. Lengkap sudah
faktor-faktor yang membuat Ma’bad al-Juhni menyatakan paham Qodariah mutlak
sebelum kematiannya. Selain Ma’bad, orang yang berpengaruh banyak dalam
penyebaran paham Qodariyah Ghailan al-Dimasyqi. Di tangan mereka berdualah
paham Qodariyah tumbuh dan menyebar di tubuh Islam.
Adapun Jabariah, walau
sudah disebutkan bahwa bibitnya mulai ada sejak berdirinya khilafah Umawiyah,
namun paham ini baru matang di tangan Ja’d bin Dirham yang kemudian
disempurnakan oleh Jahm bin Sofwan. Adapun keterangan mengenai Ja’d bin Dirham dari
buku-buku biografi sangat simpang siur. Sami Nassar hanya sampai pada
kesimpulan bahwa Ja’d mempunyai andil dalam memperkenalkan Jabariah. Selain
itu, Ja’d adalah orang yang pertama mengenalkan penafian sifat Allah serta
perkataan bahwa Alquran adalah makhluk yang nantinya diadopsi oleh Muktazilah.
Adapun Jahm bin Sofwan mengambil cara berpikir Ja’d dalam perkara yang telah
disebutkan di atas. Dalam perjalanan hidupnya, Jahm sempat bertemu dengan
Maqatil bin Sulaiman, salah satu perintis paham Tasybih dan Tajsim kala itu.
Nama Maqatil sendiri cukup terkenal di antara para sarjana Muslim sebagai orang
yang kebablasan dalam menetapkan sifat Allah yang membuat para sarjana
Muslim tersebut mengecapnya kafir.
Seperti biasa, Sami
Nassar membuat analisa untuk mengetahui dari mana kedua tokoh Jabariah di atas
mendapatkan konsep mereka. Hasilnya adalah seperti yang telah dikemukakan di awal,
bahwa baik paham Qodariah maupun Jabariah adalah murni buah pemikiran beberapa
orang waktu itu.
Selain hasil analisa
yang menyatakan bahwa pemikiran Jabariah tidak berkaitan dengan konsep
non-Islam, Sami Nassar sampai pada hasil lain yang lagi-lagi membuat kita
tercengang. Sami Nassar berpendapat bahwa ada beberapa sebab mengapa Jahm bin
Sofwan getol menyebarkan paham Jabariah. Diantaranya adalah reaksi atas Ma’bad
al-Juhni yang cukup giat menyebarkan paham Qodariah di Madaniah. Melihat geliat
Ma’bad al-Juhni, maka Jahm bin Sofwan juga mengimbanginya dengan menyebarkan
paham Jabariahnya di Khurrasan. Kemudian, Jahm yang banyak terpengaruh dengan
pemikiran Ja’d mengenai penafian sifat Allah, ternyata bertemu dengan Maqatil
yang berlebihan dalam menetapkan sifat Allah. Jadilah Jahm bin Sofwan semakin
termotivasi untuk menyebarkan pemikirannya sebagai bentuk reaksi atas Maqatil.
Intinya, paham
Jabariah ini berhasil diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham dan disebarkan oleh
Jahm bin Sofwan. Namun, nama Jahmiah pada tahap selanjutnya lebih identik
dengan Muktazilah. Hal itu karena Paham Muktazilah mengambil konsep
memprioritaskan akal dan rasional, penafian sifat Allah serta perkataan bahwa
Alquran itu makhluk dari kelompok ini. Meskipun, dalam konsep penafian kehendak
Tuhan dalam perbuatan hamba diambil dari Qodariah.
Sedikit Pandangan
Penulis
Sejauh saya membaca
buku Nasy`ah al-Fikr al-Falsafy, cara analisa yang ditawarkan oleh Sami
Nassar mempunyai karakteristik yang kental. Sami Nassar sangat berani dalam
mengorek kemunculan kelompok-kelompok Islam hingga ke akar-akarnya. Hal yang
paling signifkan dari pisau analisa Sami Nassar adalah bahwa kemunculan atau
matangnya paham kelompok-kelompok tersebut setidaknya diwarnai dengan salah
satu dari dua faktor: konflik politik atau pengaruh pemikiran luar. Bentuk aksi-reaksi
antar kelompok dalam menggodok paham mereka hingga menjadi sistematis juga
sangat terasa.
Hal ini berbeda dengan
cara pandang Abu Zuhroh dalam bukunya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah. Abu
Zuhroh terkesan lebih datar dalam menyingkap kemunculan kelompok-kelompok dalam
Islam. Beliau hanya menukil pendapat-pendapat yang ada di buku biografi ilmuan
Muslim dan buku-buku sejarah. Dikarenakan pisau analisa yang berbeda, hasil
temuan mereka berdua pun berbeda. Abu Zuhroh mengatakan bahwa kemunculan
Qodariah pertama kali adalah di Basroh. Untuk kemunculan Jabariah, analisan Abu
Zuhroh hanya berhenti pada orang yang pertama kali mengenalkannya, yaitu Ja’d
bin Dirham. Namun, faktor lain yang nampaknya juga berpengaruh banyak terhadap
hasil analisa mereka berdua adalah tokoh bernama Muhammad bin Hanafiah. Dalam
kemunculan kedua paham tadi, Abu Zuhroh nampaknya sama sekali tidak mengaitkan
dengan keberadaan Muhammad bin Hanafiah.
Terkait dengan cara
analisa Sami Nassar, saya –dengan pengetahuan serba minimal yang saya miliki–
kurang bisa memahami kenapa hanya dua faktor tadi yang ia jadikan landasan. Seakan
munculnya gerakan keilmuan dalam Islam harus dibarengi baik itu konflik politik
atau faktor eksternal. Tidak ada yang murni hasil pembelajaran, telaah, kajian,
ataupun renungan mendalam tentang Islam. Kalaupun ada, hal itu tidak ia jadikan
batu loncatan pertama dalam membuat diagnosa kemunculan kelompok-kelompok
Islam. Dengan bahasa yang lebih ekstrem, buah pikiran Islam kebanyakan hanya
adopsi dari pemikiran luar.
No comments:
Post a Comment