Thursday, December 24, 2015

Menjemput Takdir (1)

Kapan pertolongan Allah datang? Tidak pasti. Bisa di awal, di pertengahan, bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa pertolongan tersebut baru datang di akhir. Kemungkinan ketiga inilah yang justru menurut saya sering disinggung secara tersirat dalam Alquran dan Hadis. Misalnya saja pada surah Al-Baqarah 214:

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”

Tulisan kali ini sengaja saya mulai dengan masalah keyakinan. Karena, bicara seputar doa adalah sama saja dengan berbicara tentang keyakinan. Doa itu bekerja pada lapisan keyakinan. Jika belum sampai pada tahap itu, mungkin doa-doa kita bekerja lebih lambat, atau bahkan tidak mempunyai efek sama sekali. Persis seperti obat yang hanya diminum pada waktu-waktu tertentu.

Tidak mudah membuat orang yakin tentang doa. Tapi, saya pribadi hingga sejauh ini belum pernah merasa kecewa dengan doa-doa yang pernah saya lantunkan.

Awal tahun 2013 kemarin, saya mempunyai tekad untuk menunaikan umrah. Saya tahu bahwa untuk masalah ini dompet tidak bisa diandalkan kecuali dengan penghematan di sana sini. Itu pun belum cukup. Jika memang bertekad untuk pergi, selain penghematan, saya juga harus mencari jalur umrah mandiri karena pastinya jauh lebih murah dan akan tepat dengan kalkulasi penghematan saya.

Dua hal ini saya lakukan karena memang masih di dalam ranah kemampuan saya. Tetapi ini tidak cukup. Kalkulasi bisa jadi meleset. Jalur mandiri mungkin saja tidak bisa ditempuh. Maka, sejak saya memantapkan diri untuk menunaikan umrah dengan segala keterbatasan, artinya mulai saat itu saya harus menengadahkan tangan ke atas, berdoa.

Dalam hal ini doa saya tidak pernah panjang. Singkat, langsung ke inti, “Ya Rabb, izinkan saya mengunjungi rumahMu awal 2013.“ Sudah, kira-kira seperti itu. Saya tidak bermain dengan diksi kata yang membuat doa menjadi panjang.

Tidak ada yang lebih baik daripada melakukan secuil perbuatan positif tapi istiqomah. Maka dari itu, doa ini saya panjatkan di setiap penghujung doa selepas solat. Kalau kadang sedang terburu-buru, hanya doa sepanjang delapan kata itu yang saya ucapkan. Terhitung semenjak membulatkan tekad, artinya ada lima kali dalam sehari selama tiga atau sampai empat bulan saya memanjatkan doa ini.

Kalender kala itu sudah menunjukkan awal Januari 2013 (atau akhir Desember 2013, saya lupa). Telepon saya berdering dan terdengar suara bernada rendah dari orang yang tidak asing, “Nak , saya, ibu kamu, kakek, nenek dari ayah dan nenek dari ibu, ditambah bibi berencana umrah Februari besok. Kalau kamu kosong, coba diatur jadwalnya biar kamu bisa ikutan.”

Pucuk dicita, ulam pun tiba. Bukannya umrah jalu mandiri, tapi malah sekeluarga besar. Ajaib memang, karena sedikit banyak saya tahu hal ini agak mustahil mengingat kondisi keuangan keluarga yang seperti itu. Ah, sudahlah. Nikmat Tuhan manalagi yang akan saya dustakan. 4 Februari 2013, saya berangkat ke Tanah Suci. Doa saya terkabul.

No comments:

Post a Comment