Merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa
kejayaan suatu kaum berbanding lurus dengan pengetahuan sejarah yang
dimilikinya. Tidak heran jika dalam pidatonya Ir. Soekarno sering mengungkapkan
sebuah semboyan yang masih terngiang di benak rakyat Indonesia. “JAS MERAH”
singkatan dari Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah, begitu ungkap presiden
pertama Republik Indonesia ini.
Sejarah di Kamus Besar
Bahasa Indonesia mempunyai 3 makna. Yang pertama berarti asal-usul (keturunan)
silsilah; yang kedua berarti kejadian peristiwa yang benar-benar terjadi pada
masa lampau; yang ketiga berarti pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan
kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau. Dari ketiga pengertian
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah mempunyai dua point utama yaitu
kejadian di masa lampau dan sesuatu yang benar-benar telah terjadi.
Sejarah memegang peran
penting dalam kehidupan. Dia bisa menjadi sumber inspirasi sebuah bangsa
berlandaskan suatu hal pada masa lampau mereka sebagaimana bangsa itu juga bisa
mengambil pelajaran dari sejarah tersebut akan lembaran hitam yang pernah
mereka lalui. Mungkin bisa dikatakan ini merupakan salah satu faktor mengapa
sejarah menjadi sebuah kurikulum wajib pada tiap jenjang pendidikan di Indonesia
dan berbagai negara lain. Bahkan pada perkembangannya muncul di berbagai
belahan dunai fakultas dan jurusan yang khusus menekuni bidang ini.
Tidak jauh berbeda
dengan berbagai hal lain yang berbau validitas suatu informasi, sejarah juga
tak luput dari campur tangan orang yang mempunyai kepentingan di dalamnya.
Peranan dari berbagai pihak seperti politik, golongan, kepentingan, ras,
bangsa, bahkan ideologi dan agamapun turut menjadi faktor utama seorang penulis
dalam meriwayatkan sejarahnya. Maka dengan ini dapat dikatakan bahwa sejarah
itu subjektif. Sejarah akan ditulis dari sudut pandang masing-masing individual
dari mereka. Penulisan yang bersifat subjektif itulah yang pada akhirnya
membuat kerancuan di berbagai lapisan masyarakat saat ini.
Dalam bahasa lain bisa
dikatakan bahwa penulis sejarahlah yang mengarahkan jalannya sejarah. Mengutip
dari perkataan Alex Haley “history is written by the winner” menawarkan
kita sebuah kesimpulan pahit yang menyatakan bahwa validitas sejarah tidak akan
dapat terungkap dengan mudah. Banyak distorsi atau pembelokan sejarah yang
sudah dilakukan sejak awal mula dimulai penulisan sejarah itu sendiri. Memang
benar jika sejarah merupakan eksposisi fakta dan realitas masa lalu. Tapi
eksposisi itu tidak secara keseluruhan merupakan hasil dari realitas karena
pikiran sangat bermain dalam mengungkapkan uraian tersebut.
Pada era informasi
layaknya yang kita alami sekarang, media massa merupakan salah satu alat yang
paling bisa diandalkan untuk menyebarkan suatu sejarah. Salah satu yang media
yang piawai untuk memegang hal itu adalah tayangan-tayangan film. Para
oportunis menjadikannya lahan untuk memanen penyimpangan sejarah agar dunia
memahaminya sebagai mana yang ia pahami. Dalam perkara ini George Orwell dalam
bukunya ‘1984’ menyatakan “dalam mengontrol kondisi saat ini, kita harus
mengontrol masa lalu”.
Sebuah riset yang
kemudian diangkat menjadi berita di koran ternama Inggris ‘Daily Telegraph
London’ menyimpulkan bahwa pelajar unversitas kebingungan ketika mendapatkan
materi sejarah akibat penyimpangan sejarah di tayangan-tayangan televisi yang
mereka tonton selama ini. Padahal jika tayangan di televisi menayangkan fakta
yang sebenarnya hal itu akan mempermudah para pelajar untuk meningkatkan
pemahamannya hingga 50% lebih baik sebagaimana yang diungkapkan dosen
Universitas Saint Louis, Washington D.C.
Diantara tayangan
televisi yang didapati menyimpang jauh
dari fakta yang sebenarnya dan hanya mengusung kepentingan pribadi adalah The
Promise Land yang dirilis tahun 1912 dan Rebirth of a Nation keluaran tahun
1932. Kedua film ini memberi asumsi kepada dunia bahwa kaum Yahudi adalah
mayoritas penduduk bumi Palestina. Padahal berdasarkan catatan sejarah jumlah
mereka pada saat itu tidak lebih dari 8% total populasi rakyat Palestina.
Tayangan lain yang
baru ini muncul dan bahkan menjadi bahan perbincangan banyak orang adalah
‘300’. Film yang sempat naik daun pada masanya tidak lain hanyalah penyimpangan
sejarah yang berkaitan Yunani. Dilansir oleh New York Times: “300 adalah film
konyol yang hanya memfokuskan penampilan dan visualisasi konfrontasi laskar
Yunani dengan pasukan Persia. Namun di dalamnya tidak mengandung sejarah
apapun”.
Tidak jauh berbeda
dengan pernyataan yang sudah termaktub di berbagai buku sejarah bahwa orang
yang pertama kali menemukan benua Amerika pada waktu itu adalah Colombus.
Padahal banyak ditemukan bukti empiris yang mematahkan hal itu dan mengatakan
bahwa Islam jauh beberapa abad sebelum Colombus telah menduduki benua tersebut.
Disebutkan oleh Doktor Mroueh dalam essaynya bahwa pada masa Abdurrahman III
era Umawiyah kaum muslimin berlayar dari Spanyol menuju ke barat menembus
“samudra yang gelap dan berkabut”. Mereka baru kembali setelah dinyatakan
hilang dengan membawa harta dari negeri yang “tak dikenal dan aneh”. Beliau
juga menambahkan ada lebih dari 565 nama kota, sungai, gunung dan lainnya yang
diambil dari nama Islam atau dengan akar kata bahasa arab seperti Andalusia,
Attilla, Alla, Albany, Alcazar, Almansor, La Habra dan masih banyak yang
lainnya.
Terlalu banyak sejarah
yang ditulis bukan atas dasar fakta keseluruhan yang didapatkan oleh sejarawan
tersebut. Dan begitulah sejarah selama ini dikuasai orang-orang yang
berkepentingan golongan. Menyimpangkan, mengurangi, menambah dan mengada-ada
dalam periwayatannya. Memang sejarawan akan memasukkan data yang didapatinya
secara selektif. Yang sejalan dengan mereka diambil dan jika sebaliknya sudah
pasti tidak akan dia sebutkan bahkan tidak sedikit yang memasukkan pengalaman
pribadinya. Maka benar apa yang dikatakan Carl Becker “Fakta sejarah tidak ada
kecuali diciptakan oleh sejarawan dan setiap bagian yang diciptakannya itu
beberapa bagian dari pengalaman pribadinya pasti masuk”
No comments:
Post a Comment