Kita sedang
membicarakan pepatah usang, tapi tak jarang orang merasa terombang-ambing
dengan logika sederhananya. Iya, sederhana memang. Tapi karena disusun dari
fakta empiris, maka kebanyakan orang tidak ingin beradu argumen di sini, hanya
mengangguk dan mengamininya. Pepatah itu adalah judul yang penulis pakai di atas
“more learn, more forget”.
Pepatah di atas
mungkin tidak terlalu terasa dampak negatifnya. Namun, sebagian orang memplintir
kalimat berbahasa Ratu Elizabeth itu lebih jauh lagi. Mereka membuat bentuk
turunan darinya , menjadi “the more we learn, the more we forget; the more we forget, the
less we know. So, why do we learn?” Hey, ini benar-benar lompatan
berpikir yang atraktif. Bagaimana tidak, konklusinya adalah sebuah legitimasi
untuk bermalas-malasan. Legitimasi ini sangat kuat karena landasannya bukan
sekedar disarikan dari hikmah, namun ia bersandarkan pada fakta empiris,
sebagaimana telah saya katakan di atas.
Legitimasi ini
tentunya berbahaya. Jika dibiarkan, pepatah tersebut benar-benar bisa meracuni
pemikiran orang yang memiliki kesedaran belajar rendah. Sebagian orang yang menyadari
hal ini tentunya berusaha membentengi dunia pendidikan dari racun tersebut
dengan membuat berbagai jawaban dari pepatah pendek di atas. Sayangnya mereka hanya
menjawab dengan memberikan tafsiran-tafsiran atau sekedar jawaban normatif.
Ujungnya belum bisa mematahkan rumusan logika tersebut dan hanya memberikan
alasan preventif yang bisa dipakai diri sendiri.
Padahal, jika
diteliti, rumusan more learn, more forget hanya disusun dari satu
komponen dalam dunia pendidikan, yaitu belajar. Tidak heran jika konklusi yang
dihasilkan adalah lupa alias forget. Inilah sebabnya saya katakan bahwa
bentuk turunan dengan konklusi akhir so why we learn ini merupakan
lompatan berpikir. Melompat terlalu jauh sehingga berakibat ada komponen
penting yang tertinggal. Padahal justru komponen inilah yang menjawab logika semrawut
itu, bukan tafsiran panjang tak berujung. Bukan juga kalimat pemanis lidah
lainnya yang justru memperlihatkan bahwa pada hakekatnya kita juga kualahan
untuk menghadapi rumusan ini.
Lalu apakah komponen
yang tertinggal itu? Jawabannya adalah tujuan dari belajar itu sendiri. Di sini
saya tidak ingin panjang lebar membahas tujuan belajar karena masing-masing
pembaca pastinya lebih paham dari saya. Kalau toh ada puluhan pendapat
tentang tujuan belajar, saya yakin semuanya bermuara ke satu persepsi, yaitu
untuk menerapkan apa yang kita pelajari pada kehidupan sehari-hari. Aplikasi
dari sekian banyak teori yang kita dapatkan di dalam ruangan bersekat dengan
waktu masuk terjadwal adalah goal kita. Pun berbagai buku dengan susunan huruf
yang tak jarang membuat bola mata ini enggan berpindah akan percuma jika
berakhir di dalam tumpukan kardus. Dalam bahasa singkat, komponen yang saya
maksud adalah mengamalkan atau penerapan atau aplikasi atau mungkin berbagai
istilah lainnya.
Mengamalkan sebagai
solusi untuk merobohkan logika semrawut di atas sangatlah tepat. Hal itu
karena logika tersebut disusun dengan bangunan empiris sehingga menjadi sangat
kuat, sehingga dibutuhkan argumen dengan kekuatan yang sama untuk
merobohkannya. Dari sini saya ingin mengatakan bahwa mengatakan bahwa
mengamalkan juga didukung fakta empiris sehingga berkekuatan sama.
Suatu saat saya
temukan kawan saya mengeluh ketika mulai menghafal bukunya yang cukup tebal.
Pasalnya, ketika sudah sampai di halaman belakang, hafalan bagian depan dari
buku itu sudah tidak ia temukan lagi di brankas ingatannya. Hal tersebut dialami bukan oleh kawan saya yang ini saja,
kawan-kawan lain juga mengeluh dengan nada yang sama, pun saya tak luput dari
golongan orang-orang yang mengeluh ini. Kemudian saya teringat bahwa selama
masa studi dulu, saya sering diberondong pertanyaan-pertanyaan oleh beberapa
teman terkait berbagai mata pelajaran di kelas. Saya pun menjawab sekian dari
yang mereka tanyakan, dan menyerahkan sisanya kepada yang lebih kompeten.
Ternyata pertanyaan-pertanyaan yang saya jawab cukup membantu proses belajar
saya, juga proses menghapal.
Baru-baru ini saya
mencoba menganalisa apa yang terjadi pada waku itu. Ternyata saat menjawab
pertanyaan, saya sedang dipaksa untuk mengajarkan apa yang telah saya pahami
atau mengamalkannya dalam bentuk mengajar.
Tepat sekali dengan
pepatah lain yang berbunyi, “Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.”
Tentunya kita tidak perlu membahas apa buah yang dimaksudkan dalam pepatah itu,
karena memang pepatah dibuat dengan susunan kata yang universal agar mencakup
berbagai permasalahan parsial. Dalam konteks ini, maka telah kita temukan bahwa
salah satu hal parsial yang ada dalam pepatah “ilmu tanpa amal bagaikan pohon
tanpa buah” adalah sebagai jawaban dari pepatah rancu lainnya, yaitu “more
learn more forget”.
Kebutuhan untuk
mengamalkan inilah yang dulu juga digaungkan oleh Rasul pada masa madrasah
nabawiyah yang muridnya adalah para Sahabat. Abdurroziq dalam mushonifnya
menyebutkan sebuah riwayat dari Abdurrahman Assilmy bahwa ketika para Sahabat
sedang mempelajari sepuluh ayat, maka mereka tidak berpindah ke sepuluh ayat lainyya
hingga mempelajari substansi ayat tersebut serta mengamalkannya.
Jadi, sekarang mari
kita ulangi rumusan semrawut di atas dengan menambahakan satu komponen
yaitu mengamalkan sebagai varian penyeimbang. Jika awalnya “more learn, more
forget” maka dengan tambahan mengamalkan (do) menjadi “more learn
without doing, more forget” dan kebalikannya “more learn, more do, more
remember”.
No comments:
Post a Comment