Saturday, December 26, 2015

More Learn, More Forget

Kita sedang membicarakan pepatah usang, tapi tak jarang orang merasa terombang-ambing dengan logika sederhananya. Iya, sederhana memang. Tapi karena disusun dari fakta empiris, maka kebanyakan orang tidak ingin beradu argumen di sini, hanya mengangguk dan mengamininya. Pepatah itu adalah judul yang penulis pakai di atas “more learn, more forget”.

Pepatah di atas mungkin tidak terlalu terasa dampak negatifnya. Namun, sebagian orang memplintir kalimat berbahasa Ratu Elizabeth itu lebih jauh lagi. Mereka membuat bentuk turunan darinya , menjadi “the more we learn,  the more we forget; the more we forget, the less we know. So, why do we learn?” Hey, ini benar-benar lompatan berpikir yang atraktif. Bagaimana tidak, konklusinya adalah sebuah legitimasi untuk bermalas-malasan. Legitimasi ini sangat kuat karena landasannya bukan sekedar disarikan dari hikmah, namun ia bersandarkan pada fakta empiris, sebagaimana telah saya katakan di atas.

Legitimasi ini tentunya berbahaya. Jika dibiarkan, pepatah tersebut benar-benar bisa meracuni pemikiran orang yang memiliki kesedaran belajar rendah. Sebagian orang yang menyadari hal ini tentunya berusaha membentengi dunia pendidikan dari racun tersebut dengan membuat berbagai jawaban dari pepatah pendek di atas. Sayangnya mereka hanya menjawab dengan memberikan tafsiran-tafsiran atau sekedar jawaban normatif. Ujungnya belum bisa mematahkan rumusan logika tersebut dan hanya memberikan alasan preventif yang bisa dipakai diri sendiri.

Padahal, jika diteliti, rumusan more learn, more forget hanya disusun dari satu komponen dalam dunia pendidikan, yaitu belajar. Tidak heran jika konklusi yang dihasilkan adalah lupa alias forget. Inilah sebabnya saya katakan bahwa bentuk turunan dengan konklusi akhir so why we learn ini merupakan lompatan berpikir. Melompat terlalu jauh sehingga berakibat ada komponen penting yang tertinggal. Padahal justru komponen inilah yang menjawab logika semrawut itu, bukan tafsiran panjang tak berujung. Bukan juga kalimat pemanis lidah lainnya yang justru memperlihatkan bahwa pada hakekatnya kita juga kualahan untuk menghadapi rumusan ini.

Lalu apakah komponen yang tertinggal itu? Jawabannya adalah tujuan dari belajar itu sendiri. Di sini saya tidak ingin panjang lebar membahas tujuan belajar karena masing-masing pembaca pastinya lebih paham dari saya. Kalau toh ada puluhan pendapat tentang tujuan belajar, saya yakin semuanya bermuara ke satu persepsi, yaitu untuk menerapkan apa yang kita pelajari pada kehidupan sehari-hari. Aplikasi dari sekian banyak teori yang kita dapatkan di dalam ruangan bersekat dengan waktu masuk terjadwal adalah goal kita. Pun berbagai buku dengan susunan huruf yang tak jarang membuat bola mata ini enggan berpindah akan percuma jika berakhir di dalam tumpukan kardus. Dalam bahasa singkat, komponen yang saya maksud adalah mengamalkan atau penerapan atau aplikasi atau mungkin berbagai istilah lainnya.

Mengamalkan sebagai solusi untuk merobohkan logika semrawut di atas sangatlah tepat. Hal itu karena logika tersebut disusun dengan bangunan empiris sehingga menjadi sangat kuat, sehingga dibutuhkan argumen dengan kekuatan yang sama untuk merobohkannya. Dari sini saya ingin mengatakan bahwa mengatakan bahwa mengamalkan juga didukung fakta empiris sehingga berkekuatan sama.

Suatu saat saya temukan kawan saya mengeluh ketika mulai menghafal bukunya yang cukup tebal. Pasalnya, ketika sudah sampai di halaman belakang, hafalan bagian depan dari buku itu sudah tidak ia temukan lagi di brankas ingatannya. Hal tersebut  dialami bukan oleh kawan saya yang ini saja, kawan-kawan lain juga mengeluh dengan nada yang sama, pun saya tak luput dari golongan orang-orang yang mengeluh ini. Kemudian saya teringat bahwa selama masa studi dulu, saya sering diberondong pertanyaan-pertanyaan oleh beberapa teman terkait berbagai mata pelajaran di kelas. Saya pun menjawab sekian dari yang mereka tanyakan, dan menyerahkan sisanya kepada yang lebih kompeten. Ternyata pertanyaan-pertanyaan yang saya jawab cukup membantu proses belajar saya, juga proses menghapal.

Baru-baru ini saya mencoba menganalisa apa yang terjadi pada waku itu. Ternyata saat menjawab pertanyaan, saya sedang dipaksa untuk mengajarkan apa yang telah saya pahami atau mengamalkannya dalam bentuk mengajar.

Tepat sekali dengan pepatah lain yang berbunyi, “Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.” Tentunya kita tidak perlu membahas apa buah yang dimaksudkan dalam pepatah itu, karena memang pepatah dibuat dengan susunan kata yang universal agar mencakup berbagai permasalahan parsial. Dalam konteks ini, maka telah kita temukan bahwa salah satu hal parsial yang ada dalam pepatah “ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah” adalah sebagai jawaban dari pepatah rancu lainnya, yaitu “more learn more forget”.

Kebutuhan untuk mengamalkan inilah yang dulu juga digaungkan oleh Rasul pada masa madrasah nabawiyah yang muridnya adalah para Sahabat. Abdurroziq dalam mushonifnya menyebutkan sebuah riwayat dari Abdurrahman Assilmy bahwa ketika para Sahabat sedang mempelajari sepuluh ayat, maka mereka tidak berpindah ke sepuluh ayat lainyya hingga mempelajari substansi ayat tersebut serta mengamalkannya.

Jadi, sekarang mari kita ulangi rumusan semrawut di atas dengan menambahakan satu komponen yaitu mengamalkan sebagai varian penyeimbang. Jika awalnya “more learn, more forget” maka dengan tambahan mengamalkan (do) menjadi “more learn without doing, more forget” dan kebalikannya “more learn, more do, more remember”.

No comments:

Post a Comment