Tentu saja sangat
tidak pantas menyandingkan sayyidul basyar Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wasallam dengan sekedar tokoh revolusionis. Yang pertama adalah orang
yang dipilih oleh-Nya dari seluruh makhluk ciptaan, manusia dengan akhlah
sempurna, suri tauladan bagi semua yang ada di muka bumi. Adapun yang ke dua
tidak lain hanya sebatas tokoh yang membawa bangsa dengan status terjajah
selama tiga setengah abad bisa menghirup hawa kemerdekaan. Tidak perlu juga
penulis menyitir ibarat yang mengatakan perbedaan antara keduanya bak langit
dan bumi, karena jarak langit dan bumi masih tidak cukup untuk menggambarkan
perbedaan mereka berdua.
Antara Rasulullah dan
Sukarno memiliki titik temu. Iya, hanya titik, bukan garis panjang apalagi
sepetak persamaan. Sukarno semasa perjuangannya mengantarkan bangsa Indonesia
menuju gerbang kemerdekaan dilalui dengan proses yang panjang. Puncaknya,
bangsa Indonesia mampu memproklamasikan kemerdekaan melalui lisan beliau dengan
didampingi Muhammad Hatta tepat pada pagi hari tanggal 17 Agustus tahun 1945.
Sebenarnya proklamasi pada tanggal 17 Agustus itu tidak lebih dari puncak
seremonial yang didahului dengan rentetan program penting lainnya. Di antaranya
adalah pencarian jati diri bangsa
Indonesia yang akan menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rapat panjang
dilakukan oleh Badan Penyeledik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Berbagai
tokoh besar ikut duduk di sana, tentunya termasuk Sukarno sendiri. Rapat BPUPKI
ini merumuskan beberapa hal yang di antaranya adalah peneluran 5 butir Pancasila
yang sering dibacakan dalam upacara-upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih.
Kita tidak perlu
berdebat tentang siapa yang sebenarnya mengusung 5 butir ini. Tidak perlu juga
kita mempertanyakan panjang lebar apakah benar kelima sila ini sudah ada pada
bangsa Indonesia sehingga para BPUPKI hanya perlu menggalinya dari kepribadian
bangsa Indonesia untuk disarikan menjadi lima butir. Tidak perlu juga
berdiskusi tentang urutan dari lima sila ini. Sama juga dengan penghapusan
tujuh kata “dengan mewajibkan menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” yang selalu menjadi pusat kontroversi, saat ini kita sedang
tidak membahas tentangnya. Apalagi tentang substansi Pancasila yang
multi-interpretasi, kita tidak usah menambah interpretasi lain dengan
membahasnya di sini.
Yang perlu kita garis
bawahi dari sederet pembahasan panjang tentang Pancasila bahwa Sukarnolah
penyebar ideologi ini. Sukarno mengenalkannya ke seluruh muka bumi dengan kepala
tegak seraya membusungkan dada. Beliau menyadari betul bahwa kelima butir yang
telah ia gali –menurut subjektif Sukarno sendiri tentunya– merupakan hal luar
biasa. Hal itu karena untuk memanifestasikan keinginan berjuta rakyat dalam hal
yang disepakati tentunya tidak mudah. Bahkan, hingga kini masih ada beberapa
negara seperti Perancis dan Mesir yang belum mempunyai cita hukum yang
termanifestasikan layaknya Pancasila.
Dalam sebuah video
dokumenter tentang Sukarno yang diunggah di youtube, anda bisa menemukan sebuah
jejak rekam pendek saat kunjungan beliau dalam pertemuan Internasional.[1] Pada pertemuan itu, Sukarno memaparkan tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia
yang dilanjutkan dengan pengenalan sebuah konsepsi khas Indonesia dalam bentuk
lima butir manifestasi, Pancasila. Hal menarik yang ingin penulis sorot adalah
ketika Sukarno menerangkan bahwa Indonesia telah merdeka, tidak ada hadirin
yang bertepuk tangan. Baru ketika Sukarno menyebutkan satu persatu butir
Pancasila, riuh tepuk tangan membahana. Bahkan, ketika selesai membacakan butir
ke lima dari Pancasila, para hadirin serentak berdiri bersamaan dengan semakin
riuhnya tepuk tangan mereka.
Sebenarnya terkait
tidak adanya applause ketika Sukarno menerangkan kemerdekaan Indonesia
dalam video itu akan kita dapati dua kemungkinan. Pertama, bisa jadi
kunjungan Sukarno itu dilakukan setelah sekian tahun Indonesia merdeka.
Artinya, pidatonya yang mengatakan bahwa Indonesia telah merdeka pada Agustus
1945 lalu hanyalah sekedar mengingatkan saja. Jika memang penyebutan
kemerdekaan hanya sekedar mengingatkan, maka sudah jelas bahwa titik tekan
pidato Sukarno ada pada penyampaian ide manifestasi khas Indonseia itu. Kedua,
jika waktu kunjungan Sukarno berdekatan dengan waktu proklamasi, ini lebih
dahsyat lagi. Bagaimana mungkin para hadirin tidak bertepuk tangan ketika
Sukarno menerangkan kemerdekaan Indonesia. Dari dua kemungkinan ini, semuanya
hanya bermuara kepada satu konklusi. Bahwa Sukarno memang sengaja hadir ataupun
diundang untuk menyampaikan lima butir Pancasila sebagai landasan konstitusi
yang dicantumkan dalam preambule UUD, dan para hadirin juga tidak hanya
ingin menyimak pidato beliau seputar Pancasila tersebut.
Masih ada lagi video
lain yang bisa kita temukan di youtube, memuat betapa bangganya Sukarno
terhadap konsepsi yang telah berhasil ia manifestasikan tersebut.[2] Pidato
beliau waktu itu berkenaan dengan sindiran Malaysia terhadap Indonesia.
Penduduk negeri Jiran tersebut mengatakan bahwa Indonesia dengan Sukarnonya
sekarang sudah tidak didengar dunia, sudah tidak diperhatikan, sudah tidak
masuk perhitungan. Sukarno dengan tegas menjawab bahwa Indonesia telah berhasil
menelurkan sebuah manifestasi yang diperkenalkan ke alam raya. Kelima butir
Pancasila itu didengar oleh seluruh dunia. Indonesia telah memberikan
sumbangsihnya terhadap dunia lewat konsepsi-konsepsinya.
Kalimat-kalimat
Sukarno memang bukan sekedar isapan jempol belaka. Hal itu bisa kita saksikan
saat penyambutan kedatanga beliau pada pertemuan yang telah penulis sebutkan di
atas. Dalam rekaman empat menit itu kita bisa saksikan bagaimana seorang Sukarno
yang datang dari negara baru kemarin sore merdeka disambut dengan begitu
meriah.
Padahal itu hanya
sekedar Sukarno, seorang pahlawan revolusi. Pembawa kemerdekaan bagi bangsa
dengan kawasan regional Indonesia saja. Kemudian hanya dengan ditambah lima
butir Pancasila yang selalu ia kantongi ke mana-mana. Benar, tentunya ditambah
dengan sifat visioner beliau, ketegasan dalam mengahadapi permasalahan,
kesigapan dalam mengambil kebijakan dan berbagai sifat lainnya. Tapi, seperti
yang telah penulis sampaikan di atas, jarak langit dan bumi tidak cukup untuk
membandingkan Sukarno dengan Rasulullah. Lalu, bagaimana dengan seorang ummiy
mampu membangun sebuah peradaban baru? Allahumma shalli wa sallim wa bârik
‘alâ sayyidinâ wa maulânâ Muhammad wa ‘alâ âlihi wa ashhabihi wa man
tabi’ahu biihsânin ilâ yaum al-dîn.
*Ditulis untuk ikut menyemarakkan HUT RI
Agustus 2013
No comments:
Post a Comment