Tuesday, December 29, 2015

Amerika Shutdown

Awal Oktober kemarin hampir seluruh media masa memberitakan tentang problematika anggaran di As serta dampaknya terhadap pemerintahan negeri Paman Sam tersebut. Saat itu, Kongres gagal menyepakati anggaran yang diperlukan untuk operasi pemerintahan yang menyebabkan penutupan pemerintahan alias government shutdown.

Shutdown di Amerika saat ini bukan pertama kalinya terjadi. Amerika sudah 17 kali menutup pemerintahannya sejak tahun 1976. Dari sekian kali shutdown, tempo yang paling lama adalah tahun 1995 lalu pada masa pemerintah Clinton, yaitu 21 hari. Masa pemerintahan sebelum Clinton lebih parah lagi. Ketika Ronald Reagan memimpin Amerika, pemerintahan bahkan sempat shutdown hingga 8 kali.


Pada hakekatnya, shutdown pemerintahan didasari konflik politik yang objeknya adalah anggaran pemerintahan. Anggaran pemerintahan di AS diajukan baik oleh Senat maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden sendiri mempunyai hak untuk memveto rancangan anggaran tersebut. Jika Presiden memveto, rancangan anggaran tersebut dikembalikan ke Kongres. Kongres kemudian bisa membatalkan veto presiden jika dua per tiga suara menolak. Ketika Kongres tidak mencapai titik temu dalam pengalokasian anggaran, maka terpaksa pemerintahan harus shutdown.

Perselisihan di dalam Kongres bisa macam-macam motifnya. Pada masa pemerintahan Gerald Ford dan Jimmy Carter, masalah utamanya adalah anggaran federal untuk aborsi. Adapun ketika Reagan memimpin, penutupan pemerintahan disebabkan oleh defisit anggaran pemerintah AS. Begitu pula dengan Clinton, shutdown pada zamannya disebabkan defisit anggaran juga. Adapun Barrack Obama terpaksa harus menutup pemerintahannya dikarenakan perselisihan di dalam Kongres mengenai program Obamacare. Kongres meminta Obamacare ditunda setahun jika Obama ingin Kongres menyetujui usulannya mengenai peningkatan pagu utang.

Selama terjadi perselisihan di dalam Kongres, dampaknya akan terasa di beberapa sektor pemerintahan. Hal itu karena pasal 1 dan pasal 9 Konstitusi Amerika menyatakan tidak ada uang akan diambil dari kas kecuali dengan Undang-Undang yang telah disetujui. Artinya, jika tahun anggaran selesai pada akhir September kemarin dan belum disahkan anggaran selanjutnya, maka ada sektor pemerintahan yang terpaksa tidak bisa dijalankan karena ketiadaan anggaran. Biasanya, sektor yang ditutup adalah sektor yang tidak terlalu signifikan dalam menjalankan roda pemerintahan AS.

Pada pemerintahan Ford dan Carter, sektor yang ditutup adalah Departemen Tenaga Kerja dan Kesehatan, Departemen Pendidikan dan Departemen Kesejahteraan. Adapun shutdown yang terjadi pada masa Obama setidaknya mengakibatkan sekitar 700.000 pegawai pemerintah cuti tanpa dibayar. Begitu juga karyawan militer, mereka terpaksa tidak dibayar selama penghentian layanan. Kemudian juga beberapa layanan kesehatan, pajak, taman nasional, bahkan hingga NASA pun ditutup. Adapun para pengawas lalu lintas udara serta penjaga perbatasan masih diminta untuk terus menjalankan tugasnya. Namun, selama shutdown, paspor baru tidak akan dikeluarkan.

Dampak dari shutdown pastinya tidak hanya berkisar pada ditutupnya kantor-kantor federal. Information Handling Services (IHS) sempat merilis kisaran kerugian yang akan dialami finansial AS selama masa shutdown, yaitu mencapai US$300 juta per hari. Memang tidak terlalu besar dibandingkan pemasukan tahunan, namun dampaknya akan sangat terasa pada kehidupan sehari-hari. Harga minyak AS juga ikut lesu seiring dengan kebuntuan di dalam tubuh Kongres. KPR di AS juga tidak ketinggalan terkena hembusan angin shutdown pemerintahan. Dengan diberlakukannya cuti tanpa gaji bagi pegawai federal, artinya akan banyak cicilan yang macet. Salah satu lembaga survey juga mengatakan bahwa minat pembelian rumah turut berkurang.

Bagaimanapun juga, shutdown AS kali ini tidak terlalu mempengaruhi indeks saham. Beberapa indeks hanya terkoreksi secara wajar. Bahkan sehari setelah pengumuman shutdown pasar saham tetap merespon positif. Kemudian, hingga sepuluh hari pasca shutdown saham Wall Street malah melonjak drastis. Hal itu karena kemungkinan shutdown sudah diperhitungkan oleh para pemain saham. Para investor di pasar saham baru kalang kabut jika pagu utang Amerika tidak dinaikkan.


Shutdown AS juga tidak terlalu mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia karena sejatinya hal ini tidak lebih dari konflik politik yang terjadi dalam tubuh pemerintahan antara partai Demokrat dan Republik. Justru yang perlu menjadi perhatian utama adalah isu penghentian quantitative easing (QE) oleh The FED. Sentimen pasar, khususnya Indonesia dan India sangat dipengaruhi oleh isu ini. Sekarang saja modal sudah mulai berlarian dari Indonesia yang menyebabkan BI mengeluarkan paket kebijakan berupa peningkatan suku bunga hingga 7,0% guna mesntabilkan ekonomi negara ini.

No comments:

Post a Comment