Lambat tapi pasti, baik secara disadari atau
tidak, sebuah teori ataupun asumsi bahwa time is money sudah menjadi prinsip baku kita dalam
menghargai waktu. Terlepas bahwa masih ada ribuan slogan lainnya yang mempunyai
substansi dan teori senada, yaitu menghargai waktu,
slogan time
is money lebih ramai dipakai. Mungkin karena susunan katanya yang singkat dan
padat, atau bisa jadi karena slogan ini paling relevan untuk diterapkan di era
persaingan bisnis pasar bebas. Para pemimpin perusahaan mana yang tidak
mengenal slogan ini? Atau bahkan anak SD mana yang masih gagap untuk sekedar melafalkan
peribahasa yang tersusun dari 3 kata ini?
Tidak bisa dinafikan bahwa prinsip ini membawa
dampak positif bagi manusia untuk meningkatkan produktifitas dalam bekerja.
Prinsip ini memudahkan kita untuk mengkonversikan satuan waktu yang masih
abstrak menjadi sesuatu yang konkrit, yaitu uang. Cukup fair memang,
karena dalam permasalahan produksi, waktu menjadi salah satu unsur perhitungan
untuk mengetahui laba.
Tapi, tidakkah kita rasakan bahwa prinsip yang
mendarah daging ini sebenarnya merupakan perpanjangan dari ideologi lain? Time is money tidak lain merupakan sebuah ideologi para pengagung uang yang didandani dengan “baju”
waktu. Coba bayangkan, bangsa mana, atau agama apa yang tidak menghargai waktu?
Untuk itulah, penghargaan atas waktu yang begitu lekat dengan manusia merupakan
alat yang paling cocok untuk mengelabuhi sebuah desain pengagungan terhadap
uang.
Sekarang, mari kita bandingkan antara mereka dan Islam dalam
cara menghargai waktu. Jika prinsip waktu mereka berkiblat pada time is money, maka di islam mempunyai peribahasa al-waqtu ka as-saifi, in lam taqtha’hu
qatha’aka sebagai kiblat atas penghargaan terhadap
waktu. Sekilas nampaknya tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam keduanya.
Bahkan, banyak orang beranggapan bahwa perbedaan keduanya bukan termasuk dalam
perbedaan yang bertentangan, melainkan hanya saling melengkapi. Padahal, jika
ditelisik lebih jauh, kedua prinsip tersebut membawa implikasi yang begitu
berbeda pada terapannya.
Pada prinsip time is money, interaksi
antar masyarakat yang dulunya didasarkan atas asas gotong royong dan kebersamaan, kini
sudah mulai bergeser kepada asas individualisme. Kalau dulu saat terjadi
bencana atas kerabat sekitar, kita
membantunya atas dasar kemanusiaan, kini semua harus ada kompensasinya, yaitu
uang. Tidak ada lagi perbuatan
sosial yang memakai prinsip ikhlas, semuanya dikomersilkan.
Dalam kajian ekonomi, bantuan yang berujung
kompensasi ini terlihat sangat jelas pada praktik transaksi pinjam-meminjam
berunsur bunga. Seharusnya, hal paling fundamental dalam model pinjam-meminjam
adalah gotong royong untuk meringankan beban orang yang kesusahan tersebut. Tentu
saja ini adalah salah satu imbas dari prinsip time of money yang mempengaruhi
perilaku seseorang.
Tidak cukup di situ, istilah time value of
money nampaknya juga dampak lain dari prinsip time of money ini.
Bayangkan saja ketika uang hanya sekedar berpindah tangan dalam konteks
dipinjamkan bisa beranak-pinak. Yang pada mulanya seratus ribu, bisa menjadi
seratus lima puluh ribu. Yang semula sepuluh juta, menjadi dua belas juta dan
lain sebagainya. Semuanya dihasilkan hanya dengan meminjamkan uang tersebut
pada pihak yang sedang membutuhkan. Alasan paling logis yang diusung oleh para
pendukung praktek time value of money adalah bahwa uang tersebut sangat
berpotensi untuk diinvestasikan dari pada hanya sekedar pasif dalam keadaan
dipinjamkan. Investasi akan menjadikan uang itu terus tumbuh. Pertumbuhan uang
yang terhambat inilah dalih mereka untuk menggolkan praktek time value of
money.
Prinsip time is money ini akan lebih terlihat
pincang lagi ketika dikaitkan dengan sistem ekonomi yang dipakai mayoritas
orang di dunia saat ini. Sebuah jasa pinjam-meminjam yang selalu diusahakan
agar si peminjam default alias gagal bayar ini telah disetting
sedemikian rupa oleh para ahli ekonomi yang berniat buruk. Pada tahap
selanjutnya, orang-orang yang default ini hanya terus berkutat untuk
memaknai setiap detik waktunya sebagai uang. Alhasil, yang terjadi adalah
sebuah apatis akut dari masyarakat. Mereka terus mencari cara untuk menutupi
hutangnya –yang sebenarnya telah disetting agar tidak dapat dipenuhi– sehingga
malah lupa pada problem sosial.
Untuk itulah Islam dengan prinsip al waqtu
ka as-saifi nya sebenarnya merupakan patokan yang paling pas untuk
menghargai waktu. “Potonglah” waktu atau anda akan terpotong olehnya. “Perbudaklah”
waktu atau anda akan diperbudak olehnya. “Manfaatkan” waktu atau anda akan dimanfaatkan
olehnya. Dari sini tampak bahwa cara Islam memandang konsep waktu lebih
komprehensif dan adil ketimbang prinsip time of money tersebut.
Hanya saja sangat disayangkan, konsep
penghargaan Islam terhadap waktu yang sebenarnya lebih komprehensif ini kian
luntur. Bukan saja luntur, bahkan nampaknya sudah tidak terlalu terdengar
gaungnya. Saya katakan tidak terlalu terdengar gaungnya, bukan berarti tidak ada
yang menyuarakannya. Guru-guru lembaga pendidikan baik yang bersistem
konvensional maupun Islami sebenernya sudah cukup vokal untuk menyuarakan prinsip
al-waqtu ka as-saifi. Hanya
saja mereka sama-sama lebih condong untuk mengajarkan
kepada para murid arti waktu dalam perspektif yang kurang tepat. Filsafat waktu yang
mereka tanamkan adalah time is money, bukan al waqtu ka as-saifi. Mereka mengajarkan untuk mengkonversikan waktu
menjadi uang, bukan me-manage waktu itu. Sebenarnya, jika ingin membuat
sebuah korelasi antara waktu dan uang, ataupun menjembatani keduanya, kita
mengenal sebuah peribahasa al-waqtu atsmanu
min adz-dzahabi. Prinsip yang terakhir ini menyatakan bahwa nilai
waktu tidak bisa disamakan dengan sekedar emas, sangat berbeda dengan prinsip time is money.
Mungkin bisa dibilang lumrah bagi tipe lembaga
pendidikan konvensional. Namun, bagi lembaga pendidikan yang merujuk pada asas
Islam, seharusnya lebih sering menanamkan prinsip al-waqtu ka as-saifi dalam
filsafat waktu mereka. Kasus lembaga pendidikan ini mempunyai peran paling
urgen karena merekalah yang mengawal para anak dididik ke jalan yang
seharusnya.
Hanya saja, kesalahan ini tidak sepatutnya,
bahkan tidak bisa dilemparkan secara mutlak kepada lembaga pendidikan. Hal itu
karena letak utama dari kesalahan ada pada kerangka berpikir kita, paradigma
yang terlalu berorientasi kebarat-baratan, rancu.
Padahal, khazanah Islam tidak kalah kaya dalam memberikan falsafah hidup.
Bahkan nilai-nilai akhlak, sosial dan aspek lainnya lebih kental di dalamnya.
Sebenarnya kerancuan paradigma tidak hanya pada filsafat waktu
saja, dalam berbagai kurikulum yang diajarkan Indonesia pun masih berorientasi kebarat-baratan. Contoh paling mudah adalah kurikulum Ilmu Pengetahuan Sosial yang
masih saja mencantumkan teori evolusi Darwin yang sudah jelas salah kaprah.
Dalam ilmu ekonomi, tidak jarang ditemukan sebuah pembenaran atas bunga pada
diktat-diktat yang wajib dibaca oleh siswa. Dalam ilmu sejarah, para tokoh
Islam seakan dilenyapkan begitu saja sehingga dianggap bahwa Islam tidak pernah
memberi kontribusi apapun. Bahkan dalam ilmu moral, batasan yang dipakai antara
baik dan buruk suatu hal adalah akal yang begitu terbatas.
Problem time is money hanya contoh
kecil saja. Mungkin karena saking kecilnya bahkan sudah menjadi lumrah. Untuk
itu, pergeseran paradigma yang
semakin lama berorientasi kebarat-baratan ini harus sangat
diwaspadai. Maka dari itu, kita
dapati sekarang ini sedang marak proyek penyeruan akan pentingnya worldview
yang dicanangkan oleh para sarjana Muslim. Proyek worldview ini sangat
penting untuk membingkai paradigma kita saat bersinggungan dengan segala
problematika hidup.
If you're attempting to lose weight then you need to try this brand new personalized keto plan.
ReplyDeleteTo produce this keto diet service, licensed nutritionists, personal trainers, and cooks united to produce keto meal plans that are useful, convenient, cost-efficient, and delightful.
Since their first launch in 2019, thousands of individuals have already transformed their body and well-being with the benefits a professional keto plan can provide.
Speaking of benefits; clicking this link, you'll discover 8 scientifically-certified ones provided by the keto plan.