Wednesday, December 30, 2015

Qodhi Abdul Jabbar dan Posisinya dalam Ranah Keilmuwan Islam

Pada tahun ke-4 Hijriah, dunia Islam memang sedang disibukkan dengan dinamika keilmuan. Atmosfer keilmuan benar-benar menyelimuti daulah Abbasiyah yang sebenarnya pada masa itu sudah tidak sekokoh masa al-Mansur. Huru-hara politik serta kezaliman para penguasa memang menghantui, namun para ulama tetap saja masyuk bahkan tenggelam dalam kecintaan terhadap ilmu.


Qadhi Abdul Jabbar yang lahir di Asad Abad pada masa dinasti Bani Buwaih adalah salah satu dari sekian banyak rentetan nama para ulama masa itu. Nama lengkapnya adalah Abdul Jabbar bin Khalil bin Abdullah al-Hamzani al-Asad Abadi. Tanggal lahir Abdul Jabbar susah ditemukan sehingga tidak ada kesepakatan antar sejarawan mengenai hal tersebut. Adapun tanggal wafatnya, sejarawan sepakat bahwa dia meninggal pada 415 H. Namun, sejarawan juga sepakat bahwa umur Abdul Jabbar cukup panjang, bahkan hingga melebihi 90 tahun. Dari dua petunjuk ini, diperkirakan bahwa Abdul Jabbar lahir sekitar tahun 320-325 H.

Biografi mengenai Abdul Jabbar bisa ditemui dalam buku-buku biografi milik Muktazilah maupun Syafiiyah. Diantaranya adalah Thabaqat al-Syafi’iyyah milik Tajuddin Subuki, Lisan al-Mizan milik Ibnu Hajar al-Asqalani dan Thabaqat al-Mu’tazilah milik Ibnu Murtadho. Abdul Jabbar juga dikategorikan sebagai seorang mufassir oleh Suyuthi dalam bukunya Thabaqat al-Mufassirin. Buku-buku sejarah dan biografi juga tidak lupa mencatat nama Abdul Jabbar seperti Tarikh Baghdad dan Mizan al-I’tidal milik Khotib Baghdadi dan al-A’lam milik Khoiruddin Azzarkali. Meskipun begitu, sebagaiman kebiasaan buku-buku biografi klasik, tidak ada yang mengupas kehidupan suatu tokoh secara mendalam. Biografi Abdul Jabbar juga hanya kita dapati seperti kepingan-kepingan kecil puzzle dalam buku yang disebutkan barusan.

Tidak heran jika Tajuddin Subuki serta beberapa buku biografi ulama Syafiiyah memasukkan Abdul Jabbar ke dalam deretan nama fakih Syafii. Hal ini karena sebelum Abdul Jabbar banyak bergelut dalam ilmu kalam, dia telah mendalami terlebih dahulu fikih mazhab Syafii. Lebih dari itu, Abdul Jabbar pada awalnya bermazhab Asyari dalam masalah Akidah. Namun, pada salah satu perjalanannya menuntut ilmu, yaitu ketika berada di Basrah, Abdul Jabbar bertemu dengan Abu Ishaq bin ‘Ayyash. Dari Abu Ishaq inilah Abdul Jabbar mempelajari paham Muktazilah, mendalaminya hingga pada akhirnya menjadi pembesar Muktazilah. Perpindahan Abdul Jabbar dari Asy’ariyah menjadi Muktazilah ini terjadi pada saat umurnya kira-kira 24 tahun.

Sebelum ke Basrah, Abdul Jabbar telah berkelana ke daerah-daerah lain untuk menuntut ilmu. Setelah pertama kali tumbuh di Asad Abad, dia berkelana ke Qazwin, dilanjutkan ke Hamdzan, berikutnya Asfahan, kemudian ke Basrah pada tahun 346 H, selanjutnya ke Baghdad, kemudian Ramharmez dan akhirnya menjadi hakim di Ray. Disebutkan juga bahwa ia sempat mengunjungi daerah bernama Askar yang pada waktu itu merupakan salah satu tempat penting berkembangnya Muktazilah.

Dalam perjalanannya menuntut ilmu, Abdul Jabbar bertemu dengan banyak guru. Selain Abu Ishaq bin ‘Ayyash yang telah disebutkan di atas, ia juga bertemu dengan pembesar Muktazilah lain, Abu Abdillah Husain bin Ali al-Bashry. Dia juga mengambil periwayatan hadis dari Ibrahim bin Salamah al-Qatthan, Abdurrahman bin Hamdan bin Jallab, Abdullah bin Ja’far bin Faris serta berguru dari banyak ulama lainnya.

Selain berguru pada ulama besar zamannya, ia juga mempunyai banyak murid yang cukup terkenal. Diantaranya ada Imam Muayyid Billah Ahmad bin Husain al-Amali yang nantinya dibaiat menjadi imam Syiah Zaidiyah. Ada juga Abu Rasyid Sa’id al-Naisaburi yang nantinya menggantikan posisi Abdul Jabbar dalam hal keilmuan di kalangan Muktazilah. Kemudian juga Syarif Murtadho, seorang mufassir yang oleh beberapa orang dikatakan bermazhab Syiah Zaidiyah. Murid lain yang tidak kalah terkenal adalah Abu Husain Muhammad bin Ali al-Bashri pengarang kitab usul fikih al-Mu’tamad.

Dalam perjalanannya menuntut ilmu, Abdul Jabbar sudah sempat membuat majlis sendiri. Tepatnya ketika ia singgah di Ramharmez, setelah bepindah mazhab dari Asy’ari ke Muktazilah. Di majlis tersebut, Abdul Jabbar mengajarkan kitab al-Mughni fi Abwab al-Tauhid wa al-‘Adl miliknya sendiri. Hemat penulis, karena buku ini baru selesai dikarang sebelum kematiannya, berarti isi dari Mughni tidak lain adalah kumpulan dari apa yang ia sampaikan dalam majlis-majlisnya. Pada saat berada di Ramharmez inilah Abdul Jabbar dipanggil oleh Shahib bin Ubad ke Ray untuk menjadi hakim.

Shahib bin Ubad adalah menteri di daerah Ray. Beberapa orang mengatakan bahwa Shahib berakidah Syiah Imamiyah. Tetapi, Abdul Fattah Lasyin dalam disertasi doktoralnya mengatakan dengan tegas bahwa Shahib adalah Muktazilah. Bahkan, Shahib dikatakan sangat fanatik terhadap Muktazilah oleh Abdul Fattah. Shahib lebih suka mengangkat orang-orang yang sepaham dengan dia untuk menempati jabatan publik. Maka dari itu, hemat saya, Abdul Jabbar juga termasuk orang yang diangkat atas dasar tersebut di samping tentunya keilmuan Abdul Jabbar yang tidak diragukan lagi.

Namun, disamping kepribadian Shahib yang sangat fanatik terhadap Muktazilah, wawasan dia sangatlah luas. Bisa dikatakan sangat jarang ada seorang menteri dengan kemampuan intelektual seperti yang ia miliki. Shahib adalah seorang sastrawan yang sangat terkenal pada masanya. Banyak ulama dan sastrawan lain yang mendatangi rumahnya. Jumlah bukunya juga tergolong sangat banyak pada era yang saat itu untuk mencari kertas saja susah. Shahib sendiri mengambil ilmu sastra dari Ahmad bin Faris. Maka dari itu, meskipun kadang Shahib terkesan bersikap nepotis, tapi orang-orang yang ia pilih benar-benar berkompeten, Abdul Jabbar misalnya.

Antara Shahib dan Abdul Jabbar memang ada kedekatan tersendiri. Abdul Jabbar sering mendatangi majlis-majlis Shahib. Dari segi keilmuan, pengaruh Shahib sangat terlihat dalam cara berpikir Abdul Jabbar, khususnya di bidang sastra. Bahkan, dalam al-Mughni , dengan tegas ia membela pemikiran-pemikiran Shahib. Tidak jarang juga ia menukil pendapat-pendapat Shahib di dalam al-Mughni.

Selain kitab al-Mughni, Abdul Jabbar mempunyai puluhan karya lainnya sebagaimana banyak diriwayatkan. Sayangnya, tidak ada yang sampai ke kita selain beberapa saja. al-Mughni sendiri merupakan magnum opus milik Abdul Jabbar. Di dalamnya sudah mengandung seluruh pemikiran Abdul Jabbar dari masalah teologi, usul fikih, hingga sastra bahasa.

Dalam masalah teologi, Abdul Jabbar mempunyai satu karangan sendiri yang terlepas dari al-Mughni. Buku ini bernama Syarh al-Ushul al-Khamsah yang terbit belum lama ini, buah tahkik dari Abdul Karim Utsman. Syarh Ushul ini merupakan referensi utama para penganut paham Muktazilah. Sebenarnya pada zaman tersebut banyak juga ulama Muktazilah yang membahas seputar Ushul al-Khamsah. Namun, luasnya ilmu Abdul Jabbar membuat karyanya mendapat perhatian lebih dari yang lain. Pemahamannya tentang konsep-konsep Muktazilah memang paling dalam di antara ulama Muktazilah lain pada zamannya. Adz-Dzahabi menempatkannya sebagai pembesar utama pada zamannya, setara dengan al-Isfirainiy dari Asy’ariyah yang juga hidup semasa dengan Abdul Jabbar.

Memang ada banyak pendapat mengenai penisbatan buku ini kepada Abdul Jabbar. Namun, setelah pembacaan terhadap beberapa pendapat, saya lebih condong untuk mengatakan bahwa buku ini tidak lebih hanya penjelasan (syarh) dari konsep ushul khamsah yang telah dibawakan oleh ulama-ulama sebelumnya. Adapun yang disyarh oleh Abdul Jabbar adalah ushul khamsah karya Abu Muhammad Qasim bin Ibrahim bin Ismail al-Rusy. Terlepas dari tarik ulur pendapat ini, Syarh Ushul al-Khamsah milik Abdul Jabbar diakui oleh kalangan Muktazilah sebagai rujukan utama mereka.

Abdul Jabbar bukan hanya pionir teologi di kalangan Muktazilah. Sumbangsihnya dalah perkembangan ilmu usul fikih juga diperhitungkan dalam sejarah. Karyanya yang berjudul al-‘Amd disebut oleh Ibnu Khaldun sejajar dengan al-Burhan milik Imam Juwaini. Lebih lengkapnya, Ibnu Khaldun berkata bahwa pilar dari ilmu ini adalah dua buku dari Asy’ariyah dan dua buku dari Muktazilah. Dua buku dari Asy’ariyah yang dimaksud adalah al-Burhan milik Imam Juwaini dan al-Mustashfa milik Imam Ghazali, murid Imam Juwaini. Adapun dua buku dari Muktazilah yaitu al-‘Amd milik Abdul Jabbar dan al-Mu’tamad milik Abu Hasan al-Bashri, murid dari Abdul Jabbar.

Mengenai kepiawaian Abdul Jabbar dalam ranah usul fikih, Badruddin Zarkasyi, pengarang al-Bahr al-Muhith yang merupakan deretan kitab usul fikih penting dalam mazhab Syafii, mempunyai pendapat yang lebih ekstrem. Dalam al-Bahr al-Muhith Zarkasyi mengatakan bahwa tumbuh kembangnya usul fikih setelah dicetuskan oleh Imam Syafii ada di tangan dua Qadhi. Yang pertama adalah Qadhi Abu Bakar al-Baqillani dan yang kedua adalah Qadhi Abdul Jabbar. Adapun orang-orang setelah mereka hanya mengikuti mengekor di belakang dua nama tadi. Namun, mengekor yang dimaksud Zarkasyi, sebagaimana yang saya pahami bukan berarti taqlid dalam pemikiran. Tetapi lebih ke cara penjabaran masalah dan sistematika pembahasan.

Namun sepertinya perkataan Zarkasyi tidak berlebihan. Asnawi dalam bukunya Nihayah al-Sul menyatakan bahwa Imam Ghazali mengambil pemikiran usul fikihnya dari Imam al-Razi dan Abu Hasan al-Basri. Sedangkan seperti yang sudah dijelaskan bahwa Abu Hasan al-Basri merupakan murid dari Abdul Jabbar. Meskipun, saya lebih condong berprasangka bahwa Imam Ghazali mengutip perkatan Abu Hasan untuk diluruskan.

Tidak cukup menjadi pionir di bidang yang telah disebutkan tadi, Abdul Jabbar juga menjamah masalah i’jaz Alquran dari sisi sastra. Metode yang ia bawakan adalah seputar nazhm yang banyak dikenal para pakar balaghah. Orang yang terpengaruh oleh metode pembacaan sastra terhadap Alquran yang diperkenalkan Abdul Jabbar bukan orang sembarangan, salah satunya adalah pakar sastra dari Asy’ari, yaitu Abdul Qohir al-Jurjani. Keterpengaruhan Jurjani dari Abdul Jabbar dirasakan oleh Muhammad Syakir ketika mentahkik master piece Jurjani, kitab Dala`il al-I’jaz.

Abdul Fatah Lasyin bahkan menyampaikan bahwa pengaruh Abdul Jabbar terasa hingga generasi setelahnya. Diantara mereka yang terpengaruh oleh pemaparan Abdul Jabbar seputar i’jaz Alquran dari sudut ini selain Jurjani adalah Syarif Ridho, Syarif Murtadho, Hakim al-Jasymi, Zamakhsyari, bahkan hingga Imam Asy’ariyah, Fakhruddin al-Razi.

Pemikiran Abdul Jabbar tentang i’jaz Alquran ini bisa didapati dalam kitab al-Mughni jilid 16 yang khusus membahas i’jaz Alquran. Sebenarnya Abdul Jabbar telah mengarang buku tafsir yang bernama al-Muhith. Hanya saja, sebagaimana kebanyakan buku Abdul Jabbar yang lain, jika tidak dikatakan hilang, belum ada yang mampu menghadirkan buku ini hingga sekarang.

Tiga bidang yang saya sebutkan hanyalah sebagian dari keilmuan Abdul Jabbar yang saya ketahui. Tentu tidak menutup kemungkinan tentang pemikiran-pemikiran dia yang lain, terutama di bidang teologi karena nama Abdul Jabbar lebih identik dengan konsep Muktazilahnya. Hal yang penting ketika mencerna pemikiran-pemikiran Abdul Jabbar adalah menggunakan filter yang kuat agar paham Muktazilah yang melenceng tidak turut masuk ke alam pikiran kita.


Terakhir, yang tersisa dari sosok Abdul Jabbar adalah banyaknya hubungan dia dengan orang-orang Syiah. Kebanyakan murid dari Abdul Jabbar adalah Syiah, baik Imamiyah, Zaidiyah bahkan hingga Rafidhah. Memang banyak referensi yang mengatakan adanya keterpengaruhan antara Muktazilah dan Syiah. Salah yang menyebutkan hal itu adalah Sami Nassar dalam bukunya Nasy`ah al-Fikr al-Falsafy. Tetapi, apakah hubungan antara Abdul Jabbar dan murid-muridnya yang Syiah juga masuk dalam kategori keterpengaruhan yang dimaksud Sami Nassar? Hal ini masih menjadi pertanyaan juga bagi penulis.

No comments:

Post a Comment