Pada tahun ke-4
Hijriah, dunia Islam memang sedang disibukkan dengan dinamika keilmuan.
Atmosfer keilmuan benar-benar menyelimuti daulah Abbasiyah yang sebenarnya pada
masa itu sudah tidak sekokoh masa al-Mansur. Huru-hara politik serta kezaliman
para penguasa memang menghantui, namun para ulama tetap saja masyuk bahkan
tenggelam dalam kecintaan terhadap ilmu.
Qadhi Abdul Jabbar
yang lahir di Asad Abad pada masa dinasti Bani Buwaih adalah salah satu dari
sekian banyak rentetan nama para ulama masa itu. Nama lengkapnya adalah Abdul
Jabbar bin Khalil bin Abdullah al-Hamzani al-Asad Abadi. Tanggal lahir Abdul
Jabbar susah ditemukan sehingga tidak ada kesepakatan antar sejarawan mengenai
hal tersebut. Adapun tanggal wafatnya, sejarawan sepakat bahwa dia meninggal
pada 415 H. Namun, sejarawan juga sepakat bahwa umur Abdul Jabbar cukup
panjang, bahkan hingga melebihi 90 tahun. Dari dua petunjuk ini, diperkirakan
bahwa Abdul Jabbar lahir sekitar tahun 320-325 H.
Biografi mengenai
Abdul Jabbar bisa ditemui dalam buku-buku biografi milik Muktazilah maupun
Syafiiyah. Diantaranya adalah Thabaqat al-Syafi’iyyah milik Tajuddin
Subuki, Lisan al-Mizan milik Ibnu Hajar al-Asqalani dan Thabaqat
al-Mu’tazilah milik Ibnu Murtadho. Abdul Jabbar juga dikategorikan sebagai
seorang mufassir oleh Suyuthi dalam bukunya Thabaqat al-Mufassirin.
Buku-buku sejarah dan biografi juga tidak lupa mencatat nama Abdul Jabbar
seperti Tarikh Baghdad dan Mizan al-I’tidal milik Khotib Baghdadi
dan al-A’lam milik Khoiruddin Azzarkali. Meskipun begitu, sebagaiman
kebiasaan buku-buku biografi klasik, tidak ada yang mengupas kehidupan suatu
tokoh secara mendalam. Biografi Abdul Jabbar juga hanya kita dapati seperti
kepingan-kepingan kecil puzzle dalam buku yang disebutkan barusan.
Tidak heran jika
Tajuddin Subuki serta beberapa buku biografi ulama Syafiiyah memasukkan Abdul
Jabbar ke dalam deretan nama fakih Syafii. Hal ini karena sebelum Abdul Jabbar
banyak bergelut dalam ilmu kalam, dia telah mendalami terlebih dahulu fikih
mazhab Syafii. Lebih dari itu, Abdul Jabbar pada awalnya bermazhab Asyari dalam
masalah Akidah. Namun, pada salah satu perjalanannya menuntut ilmu, yaitu
ketika berada di Basrah, Abdul Jabbar bertemu dengan Abu Ishaq bin ‘Ayyash.
Dari Abu Ishaq inilah Abdul Jabbar mempelajari paham Muktazilah, mendalaminya hingga
pada akhirnya menjadi pembesar Muktazilah. Perpindahan Abdul Jabbar dari
Asy’ariyah menjadi Muktazilah ini terjadi pada saat umurnya kira-kira 24 tahun.
Sebelum ke Basrah,
Abdul Jabbar telah berkelana ke daerah-daerah lain untuk menuntut ilmu. Setelah
pertama kali tumbuh di Asad Abad, dia berkelana ke Qazwin, dilanjutkan ke
Hamdzan, berikutnya Asfahan, kemudian ke Basrah pada tahun 346 H, selanjutnya
ke Baghdad, kemudian Ramharmez dan akhirnya menjadi hakim di Ray. Disebutkan
juga bahwa ia sempat mengunjungi daerah bernama Askar yang pada waktu itu
merupakan salah satu tempat penting berkembangnya Muktazilah.
Dalam perjalanannya
menuntut ilmu, Abdul Jabbar bertemu dengan banyak guru. Selain Abu Ishaq bin
‘Ayyash yang telah disebutkan di atas, ia juga bertemu dengan pembesar
Muktazilah lain, Abu Abdillah Husain bin Ali al-Bashry. Dia juga mengambil
periwayatan hadis dari Ibrahim bin Salamah al-Qatthan, Abdurrahman bin Hamdan
bin Jallab, Abdullah bin Ja’far bin Faris serta berguru dari banyak ulama
lainnya.
Selain berguru pada
ulama besar zamannya, ia juga mempunyai banyak murid yang cukup terkenal.
Diantaranya ada Imam Muayyid Billah Ahmad bin Husain al-Amali yang nantinya
dibaiat menjadi imam Syiah Zaidiyah. Ada juga Abu Rasyid Sa’id al-Naisaburi
yang nantinya menggantikan posisi Abdul Jabbar dalam hal keilmuan di kalangan
Muktazilah. Kemudian juga Syarif Murtadho, seorang mufassir yang oleh beberapa
orang dikatakan bermazhab Syiah Zaidiyah. Murid lain yang tidak kalah terkenal
adalah Abu Husain Muhammad bin Ali al-Bashri pengarang kitab usul fikih al-Mu’tamad.
Dalam perjalanannya
menuntut ilmu, Abdul Jabbar sudah sempat membuat majlis sendiri. Tepatnya
ketika ia singgah di Ramharmez, setelah bepindah mazhab dari Asy’ari ke
Muktazilah. Di majlis tersebut, Abdul Jabbar mengajarkan kitab al-Mughni fi
Abwab al-Tauhid wa al-‘Adl miliknya sendiri. Hemat penulis, karena buku ini
baru selesai dikarang sebelum kematiannya, berarti isi dari Mughni tidak
lain adalah kumpulan dari apa yang ia sampaikan dalam majlis-majlisnya. Pada
saat berada di Ramharmez inilah Abdul Jabbar dipanggil oleh Shahib bin Ubad ke
Ray untuk menjadi hakim.
Shahib bin Ubad adalah
menteri di daerah Ray. Beberapa orang mengatakan bahwa Shahib berakidah Syiah
Imamiyah. Tetapi, Abdul Fattah Lasyin dalam disertasi doktoralnya mengatakan
dengan tegas bahwa Shahib adalah Muktazilah. Bahkan, Shahib dikatakan sangat fanatik
terhadap Muktazilah oleh Abdul Fattah. Shahib lebih suka mengangkat orang-orang
yang sepaham dengan dia untuk menempati jabatan publik. Maka dari itu, hemat
saya, Abdul Jabbar juga termasuk orang yang diangkat atas dasar tersebut di
samping tentunya keilmuan Abdul Jabbar yang tidak diragukan lagi.
Namun, disamping
kepribadian Shahib yang sangat fanatik terhadap Muktazilah, wawasan dia
sangatlah luas. Bisa dikatakan sangat jarang ada seorang menteri dengan
kemampuan intelektual seperti yang ia miliki. Shahib adalah seorang sastrawan
yang sangat terkenal pada masanya. Banyak ulama dan sastrawan lain yang
mendatangi rumahnya. Jumlah bukunya juga tergolong sangat banyak pada era yang
saat itu untuk mencari kertas saja susah. Shahib sendiri mengambil ilmu sastra
dari Ahmad bin Faris. Maka dari itu, meskipun kadang Shahib terkesan bersikap
nepotis, tapi orang-orang yang ia pilih benar-benar berkompeten, Abdul Jabbar
misalnya.
Antara Shahib dan
Abdul Jabbar memang ada kedekatan tersendiri. Abdul Jabbar sering mendatangi
majlis-majlis Shahib. Dari segi keilmuan, pengaruh Shahib sangat terlihat dalam
cara berpikir Abdul Jabbar, khususnya di bidang sastra. Bahkan, dalam al-Mughni
, dengan tegas ia membela pemikiran-pemikiran Shahib. Tidak jarang juga ia menukil
pendapat-pendapat Shahib di dalam al-Mughni.
Selain kitab
al-Mughni, Abdul Jabbar mempunyai puluhan karya lainnya sebagaimana banyak
diriwayatkan. Sayangnya, tidak ada yang sampai ke kita selain beberapa saja. al-Mughni
sendiri merupakan magnum opus milik Abdul Jabbar. Di dalamnya sudah
mengandung seluruh pemikiran Abdul Jabbar dari masalah teologi, usul fikih,
hingga sastra bahasa.
Dalam masalah teologi,
Abdul Jabbar mempunyai satu karangan sendiri yang terlepas dari al-Mughni.
Buku ini bernama Syarh al-Ushul al-Khamsah yang terbit belum lama ini,
buah tahkik dari Abdul Karim Utsman. Syarh Ushul ini merupakan referensi
utama para penganut paham Muktazilah. Sebenarnya pada zaman tersebut banyak
juga ulama Muktazilah yang membahas seputar Ushul al-Khamsah. Namun,
luasnya ilmu Abdul Jabbar membuat karyanya mendapat perhatian lebih dari yang
lain. Pemahamannya tentang konsep-konsep Muktazilah memang paling dalam di
antara ulama Muktazilah lain pada zamannya. Adz-Dzahabi menempatkannya sebagai
pembesar utama pada zamannya, setara dengan al-Isfirainiy dari Asy’ariyah yang
juga hidup semasa dengan Abdul Jabbar.
Memang ada banyak
pendapat mengenai penisbatan buku ini kepada Abdul Jabbar. Namun, setelah
pembacaan terhadap beberapa pendapat, saya lebih condong untuk mengatakan bahwa
buku ini tidak lebih hanya penjelasan (syarh) dari konsep ushul
khamsah yang telah dibawakan oleh ulama-ulama sebelumnya. Adapun yang disyarh
oleh Abdul Jabbar adalah ushul khamsah karya Abu Muhammad Qasim bin
Ibrahim bin Ismail al-Rusy. Terlepas dari tarik ulur pendapat ini, Syarh
Ushul al-Khamsah milik Abdul Jabbar diakui oleh kalangan Muktazilah sebagai
rujukan utama mereka.
Abdul Jabbar bukan
hanya pionir teologi di kalangan Muktazilah. Sumbangsihnya dalah perkembangan
ilmu usul fikih juga diperhitungkan dalam sejarah. Karyanya yang berjudul al-‘Amd
disebut oleh Ibnu Khaldun sejajar dengan al-Burhan milik Imam
Juwaini. Lebih lengkapnya, Ibnu Khaldun berkata bahwa pilar dari ilmu ini adalah
dua buku dari Asy’ariyah dan dua buku dari Muktazilah. Dua buku dari Asy’ariyah
yang dimaksud adalah al-Burhan milik Imam Juwaini dan al-Mustashfa milik
Imam Ghazali, murid Imam Juwaini. Adapun dua buku dari Muktazilah yaitu al-‘Amd
milik Abdul Jabbar dan al-Mu’tamad milik Abu Hasan al-Bashri, murid
dari Abdul Jabbar.
Mengenai kepiawaian
Abdul Jabbar dalam ranah usul fikih, Badruddin Zarkasyi, pengarang al-Bahr
al-Muhith yang merupakan deretan kitab usul fikih penting dalam mazhab
Syafii, mempunyai pendapat yang lebih ekstrem. Dalam al-Bahr al-Muhith Zarkasyi
mengatakan bahwa tumbuh kembangnya usul fikih setelah dicetuskan oleh Imam
Syafii ada di tangan dua Qadhi. Yang pertama adalah Qadhi Abu Bakar
al-Baqillani dan yang kedua adalah Qadhi Abdul Jabbar. Adapun orang-orang
setelah mereka hanya mengikuti mengekor di belakang dua nama tadi. Namun,
mengekor yang dimaksud Zarkasyi, sebagaimana yang saya pahami bukan berarti taqlid
dalam pemikiran. Tetapi lebih ke cara penjabaran masalah dan sistematika
pembahasan.
Namun sepertinya
perkataan Zarkasyi tidak berlebihan. Asnawi dalam bukunya Nihayah al-Sul
menyatakan bahwa Imam Ghazali mengambil pemikiran usul fikihnya dari Imam
al-Razi dan Abu Hasan al-Basri. Sedangkan seperti yang sudah dijelaskan bahwa
Abu Hasan al-Basri merupakan murid dari Abdul Jabbar. Meskipun, saya lebih
condong berprasangka bahwa Imam Ghazali mengutip perkatan Abu Hasan untuk
diluruskan.
Tidak cukup menjadi
pionir di bidang yang telah disebutkan tadi, Abdul Jabbar juga menjamah masalah
i’jaz Alquran dari sisi sastra. Metode yang ia bawakan adalah seputar nazhm
yang banyak dikenal para pakar balaghah. Orang yang terpengaruh oleh metode
pembacaan sastra terhadap Alquran yang diperkenalkan Abdul Jabbar bukan orang
sembarangan, salah satunya adalah pakar sastra dari Asy’ari, yaitu Abdul Qohir
al-Jurjani. Keterpengaruhan Jurjani dari Abdul Jabbar dirasakan oleh Muhammad
Syakir ketika mentahkik master piece Jurjani, kitab Dala`il al-I’jaz.
Abdul Fatah Lasyin
bahkan menyampaikan bahwa pengaruh Abdul Jabbar terasa hingga generasi
setelahnya. Diantara mereka yang terpengaruh oleh pemaparan Abdul Jabbar
seputar i’jaz Alquran dari sudut ini selain Jurjani adalah Syarif Ridho,
Syarif Murtadho, Hakim al-Jasymi, Zamakhsyari, bahkan hingga Imam Asy’ariyah,
Fakhruddin al-Razi.
Pemikiran Abdul Jabbar
tentang i’jaz Alquran ini bisa didapati dalam kitab al-Mughni jilid
16 yang khusus membahas i’jaz Alquran. Sebenarnya Abdul Jabbar telah
mengarang buku tafsir yang bernama al-Muhith. Hanya saja, sebagaimana
kebanyakan buku Abdul Jabbar yang lain, jika tidak dikatakan hilang, belum ada
yang mampu menghadirkan buku ini hingga sekarang.
Tiga bidang yang saya
sebutkan hanyalah sebagian dari keilmuan Abdul Jabbar yang saya ketahui. Tentu
tidak menutup kemungkinan tentang pemikiran-pemikiran dia yang lain, terutama
di bidang teologi karena nama Abdul Jabbar lebih identik dengan konsep
Muktazilahnya. Hal yang penting ketika mencerna pemikiran-pemikiran Abdul
Jabbar adalah menggunakan filter yang kuat agar paham Muktazilah yang melenceng
tidak turut masuk ke alam pikiran kita.
Terakhir, yang tersisa
dari sosok Abdul Jabbar adalah banyaknya hubungan dia dengan orang-orang Syiah.
Kebanyakan murid dari Abdul Jabbar adalah Syiah, baik Imamiyah, Zaidiyah bahkan
hingga Rafidhah. Memang banyak referensi yang mengatakan adanya keterpengaruhan
antara Muktazilah dan Syiah. Salah yang menyebutkan hal itu adalah Sami Nassar
dalam bukunya Nasy`ah al-Fikr al-Falsafy. Tetapi, apakah hubungan antara
Abdul Jabbar dan murid-muridnya yang Syiah juga masuk dalam kategori
keterpengaruhan yang dimaksud Sami Nassar? Hal ini masih menjadi pertanyaan
juga bagi penulis.
No comments:
Post a Comment