“Di mana ini?”
“Entahlah. Gelap!”
“Sudah, nyalakan
saja obornya. Toh kamu juga bilang sendiri kalo di sini lebih nyaman ketimbang
berkeliaran di luar sana. Terlalu banyak binatang buas yang belum juga kamu
sempat menjinakkannya, taring mereka sudah berhasil mengoyak tubuh kurusmu.”
Menulis memang hal
baru bagi saya. Maklum, selama hampir enam tahun saya hanya mengenal kuas,
pensil warna, kaleng cat dan kanvas. Bahkan dalam tempo yang lama itu
benda-benda tersebut masih saja belum akrab denganku. Entah aku yang menjaga
jarak dengan mereka, atau mereka yang risih jika jari-jari kaku ini menyentuh
mereka. “Terlalu kaku! Dingin, tanpa perasaan!” begitu mereka menghardik
ketika berpapasan denganku di dalam mimpi. Suaranya tidak keras memang. Tapi
telingaku tidak cukup tuli untuk tidak mendengarnya.
Gusar memang, namun kubiarkan saja berjalan. Biarpun setiap bertemu dalam mimpi benda-benda itu selalu menghardik, toh dalam dunia nyata aku adalah sang tuan. Mereka tak berdaya dalam genggamanku. Ku goreskan saja kuas dan pensil warna itu sekenanya, persis seperti tukang bangunan yang merawat bulu-bulu kucing persia milik mandornya, tidak telaten. Meskipun begitu, aku terus menikmatinya. Benda-benda ini –sekali lagi– memang suka menghardik, tapi mereka membawa keajaiban selama enam tahun tersebut. Salah satunya adalah menambah jatah liburan sekolahku selama lebih hampir satu bulan dalam satu semester. Ini benar-benar suatu kesyukuran bagi saya yang bersekolah di lembaga dengan model militan. Jangankan untuk mendapat libur cuma-cuma, untuk izin sakit pun prosedurnya panjang. Masih banyak lagi keajaiban lainnya, tapi aku belum berminat untuk menceritakannya sekarang. Semoga suatu saat kalian masih sempat mendengarkannya dariku.
Gusar memang, namun kubiarkan saja berjalan. Biarpun setiap bertemu dalam mimpi benda-benda itu selalu menghardik, toh dalam dunia nyata aku adalah sang tuan. Mereka tak berdaya dalam genggamanku. Ku goreskan saja kuas dan pensil warna itu sekenanya, persis seperti tukang bangunan yang merawat bulu-bulu kucing persia milik mandornya, tidak telaten. Meskipun begitu, aku terus menikmatinya. Benda-benda ini –sekali lagi– memang suka menghardik, tapi mereka membawa keajaiban selama enam tahun tersebut. Salah satunya adalah menambah jatah liburan sekolahku selama lebih hampir satu bulan dalam satu semester. Ini benar-benar suatu kesyukuran bagi saya yang bersekolah di lembaga dengan model militan. Jangankan untuk mendapat libur cuma-cuma, untuk izin sakit pun prosedurnya panjang. Masih banyak lagi keajaiban lainnya, tapi aku belum berminat untuk menceritakannya sekarang. Semoga suatu saat kalian masih sempat mendengarkannya dariku.
Masuk ke tahun ke
tujuh, keajaiban-keajaiban itu mulai memudar. Justru seakan menjadi karma
balik. Layaknya seseorang yang dalam perjalanan hidupnya segala kesuksesannya
dibantu oleh dukun, ia akan diminta beberapa imbalan di penghujung hayatnya.
Permintaan imbalan benda-benda itu semakin hari semakin berat, benar-benar di
luar kuasaku. Juga tidak ada lagi teman-teman yang merombak ulang karyaku dari
benda-benda tersebut ketika selesai. Ini adalah pertanda bahwa aku harus
sesegera mungkin banting setir, ganti haluan. Aku harus keluar dari kerumunan
para kuas, pensil warna dan gerombolannya. Lagi pula keajaiban yang ia tawarkan
selama ini tidak aku minta. Kalau pun ada, aku merasa bahwa memang sudah
menjadi hak ku.
Tibalah masa transisi
tersebut. Kuas serta para gerombolannya mulai terbiasa tanpa kehadiranku, aku
pun mulai terbiasa dengan kehidupan baru. Iya, terbiasa, karena enam tahun
bukanlah waktu yang singkat sehingga tidak mustahil mengalir bulir-bulir rindu.
Meskipun pada hakekatnya rindu ini bukan aku tujukan untuk gerombolan kuas,
tapi lebih pada kawan-kawan yang dulu mengajariku bagaimana caranya akrab
dengan benda-benda tersebut. Semoga Tuhan senantiasa mengiringi langkah kaki
mereka.
Jadilah aku kini
berteman dengan tuts keyboard, buku-buku bacaan. Lain halnya dengan gerombolan
kuas yang sering menghardik, tuts keyboard dan buku-buku bacaan lebih
bersahabat. Aku baru sadar bahwa setiap kali gerombolan kuas itu menghardik
dalam mimpi, teman baruku ini ada di seberang jalan yang jaraknya hanya
beberapa jengkal kaki. Tapi tampaknya aku tidak perlu menyesalinya karena
dengan begitu aku punya teman lama dan juga teman baru.
Sejak saat itu, aku
begitu gandrung dengan dunia kepenulisan. Berawal dari kru buletin kecil
bernama Cakrawala, kemudian aku mencoba profesi sebagai wartawan jadi-jadian di
Mesir. Iya, hanya jadi-jadian karena lingkup berita kami sangat sempit. Ada
lagi Buletin La Tansa yang selama menjadi kru di sana, aku belum merasa
mendapat tambahan wawasan yang signifikan.
Sayangnya, kegemaran
ini harus terhambat karena watakku yang sok perfeksionis. Selama ini,
dalam menulis, aku selalu disibukkan dengan penyusunan premis yang sempurna
agar tidak bisa dipatahkan dengan pertanyaan. Selain itu, aku juga terlalu
disibukkan dengan mencari susunan kata yang menjadikan tulisanku lebih renyah.
Yang paling parah, dengan arogan aku tidak mau menuliskan hal-hal remeh temeh,
setidaknya dari sudut pandan pribadi.
Alhasil, aku
benar-benar tidak produktif. Padahal menulis berfungsi untuk mengetahui
lompatan-lompatan pikiran kita. Apakah berkembang, atau stagnan? Jika
berkembang, apakah cepat, atau seperti siput? Atau jangan-jangan ternyata buah
pikiran kita pada tempo dulu ternyata sudah sesuai dengan hal-hal yang kita
selami selama ini. Intinya, kumpulan tulisan tersebut akan menjadi jejak rekam
otak kita. Suatu saat kita akan tersenyum-tersenyum sendiri ketika melihat
rekaman tersebut, persis seperti saat melihat bentuk tulisan tangan kita ketika
TK yang seperti benang kusut sebagaimana diajarkan oleh salah satu guru saya.
Selain itu, banyak
pikiran yang tidak tersalurkan, mirip dengan orang sembelit. Padahal, salah
satu guruku dalam penulisan berkata bahwa menulis adalah obat dari berbagai
penyakit. Dengan menulis kita membuang uneg-uneg pikiran, persis seperti orang
yang membuang kotoran. Tapi karena untuk memaksa seseorang untuk mendengar kita
adalah –bagi saya– merupakan tindakan anarkis, maka sudah sepatutnya kita
mempunyai wadah untuk membuang “penyakit” itu. Maka, tidak ada wadah yang lebih
tepat selain blog pribadi, atau blog numpang seperti saya ini :D
Sebenarnya niatan
untuk membuat blog sudah ada dari dulu. Tapi kembali lagi ke faktor sok perfeksionis,
akhirnya niat tersebut saya urungkan. Ditambah lagi dengan ke-gaptek-anku ,
atau mungkin sebenarnya rasa malas yang sebesar gunung Tunggurono (nama gunung
di desaku yang sebenarnya hanya dataran yang lebih tinggi ketimbang daerah
sekitarnya), aku pun angkat tangan. Tidak lama kemudian ada tawaran dari
kakakku untuk mengisi blog keluarga. Pas banget, pucuk dicinta ulam pun
tiba. Kini, uneg-uneg itu bisa disampaikan lewat blog ini.
No comments:
Post a Comment