Kepribadian orang serta cara berpikirnya merupakan akumulasi
dari berbagai informasi yang ia dapatkan. Artinya, jika kita memberi pasokan
informasi A, maka kepribadian yang ia miliki tidak jauh dari A tersebut. Jika
kita beri pasokan informasi N, maka lagi-lagi kepribadian yang terbentuk
pada penerima informasi tidak akan jauh
dari N itu. Sebenarnya, informasi memang bukan faktor mutlak sebagai pembentuk
kepribadian, masih ada lagi faktor-faktor lain. Hanya saja, faktor pembentuk
terkuat adalah informasi.
Kita pun pastinya sudah mengetahui bahwa pendidikan adalah
cara paling efisien untuk menyampaikan berbagai informasi yang ada. Kemudian,
dewasa ini, sistem pendidikan semakin berkembang hingga muncul berbagai lembaga
pendidikan yang kini menjadi alat utama dalam menyebarkan informasi. Bahkan
bukan hanya menyebarkan informasi, lembaga pendidikan juga mempunyai peran
untuk memfilter informasi yang akan diberikan pada anak didik, menata, serta
mengatur porsinya. Tidak heran jika dalam menelusuri biografi seseorang, salah
satu poin yang menjadi sorotan adalah background pendidikannya. Hal itu
setidaknya mewakili sekelumit perkembangan pemikiran serta kepribadian orang
yang dimaksud.
Ras manapun, bangsa manapun, agama apapun, semuanya
mengedapankan pendidikan. Entah itu dalam jenis pendidikan yang sudah
terlembagakan, ataupun masih bersifat individu. Kita bahkan melihat fakta di
Indonesia bahwa anggaran pendidikan dalam APBN selalu mendapat porsi yang besar
sebagai bentuk perhatian pemerintah. Untuk tahun 2012 kemarin saja, alokasi
anggaran pendidikan mencapai 286,6 triliun.
Namun, informasi itu bersifat netral. Artinya ia bisa
dimasuki hal positif sebagaimana tidak menutup kemungkinan untuk mengandung
unsur negatif. Jika itu tadi adalah nilai sesungguhnya dari informasi, maka
sudah pasti lembaga pendidikan –sebagai pemeran utama dalam penyampaian
informasi– juga mempunyai nilai yang sama dengan nila informasi itu, yaitu
netral. Nilai netral inilah celah yang banyak digunakan oleh berbagai golongan
–sebagai penjunjung kepentingan tertentu– untuk mengantarkan pada tujuan
mereka.
Kaum Barat bersama para orientalisnya melihat peluang yang
besar dalam hal ini. Sejarah mencatat bahwa Indonesia pada masa perjuangan
kemerdekaan telah menjadi sasaran praktek distorsi fungsi lembaga pendidikan.
Cristiaan Snouck Hurgronje, tokoh orientalis berkebangsaan Belanda mengatakan:
“Hanya melalu organisasi pendidikan yang berskala luas
atas dasar yang universal dan netral secara agamis, pemerintah kolonial dapat
membebaskan atau melepaskan Muslimin dari agama mereka.”
Snouck Hurgronje adalah seorang tokoh
orientalis ternama yang bahkan oleh sebagian orang dijuluki Mufti Hindia Belanda
pada zamannya. Dia sempat menuntut ilmu di Makkah dan kemudian berpura-pura
memeluk Islam. Dengan pengetahuan Islamnya yang begitu dalam, Snouck Hurgronje
tahu bagaimana cara melemahkan Islam, yaitu dengan memisahkan kaum Muslim dari
agama mereka melalui jalur pendidikan.
Penggalan kalimat Snouck
Hurgronje di atas merupakan sebuah bentuk kekhawatirannya atas kedudukan
Belanda yang semakin terdesak saat itu. Snouck Hurgronje sadar bahwa kesadaran intelek Muslim Indonesia yang ingin
menanamkan ilmu pengetahuan pada masyarakat seluruhnya akan mengancam eksistensi kolonial di Indonesia saat itu.
Maka dari itu, Snouck berusaha memisahkan umat Islam dari agamanya. Snouck
sangat percaya dengan kekuatan jalur pendidikan untuk mencapai keinginannya. Adian
Husaini menukil perkataan Snouck Hurgronje yang dikutip oleh Karel Steenbrink
dalam bukunya Snouck Hurgronje en Islam:
“Pengasuhan dan pendidikan adalah cara untuk mencapai
tujuan tersebut. Bahkan, di negeri-negeri berbudaya Islam yang jauh lebih tua
dibanding kepulauan Nusantara, kita menyaksikan mereka bekerja dengan efektif
untuk membebaskan umat Muhammad dari kebiasaan lama yang telah lama
membelenggunya.”
Permasalahan Snouck Hurgronje adalah lembaran sejarah yang sudah lewat.
Sekarang, marilah kita coba memperhatikan kondisi lembaga-lembaga pendidikan
yang ada. Bersamaan dengan globalisasi, nampaknya deskriminasi agama dalam bangku
sekolah sedikit demi sedikit mulai pudar. Di belahan Benua Eropa pun sudah
tidak terhitung lagi lembaga-lembaga pendidikan yang mempersilahkan umat Islam
untuk turut menuntut ilmu di dalamnya. Bahkan, tidak jarang didirikan
universitas-universitas di Eropa yang khusus mendalami keilmuan Islam. Salah
satu Negara yang menjadi rujukan adalah Jerman.
Di Jerman, lembaga pendidikan Islam tergolong mengalami pertumbuhan yang
cukup pesat. Bahkan, saat ini, di empat universitas telah membuka program studi
keislaman yang biasanya fokus pada teologi, bahasa dan sejarah. Tumbuhnya
berbagai program studi serta berdirinya berbagai sekolah dengan kurikulum Islam
ini telah mendapat dukungan penuh dari Presiden Jerman Joachim Gauck serta
menteri pendidikannya Annette Scahavan.
Apresiasi penuh memang pantas untuk diberikan kepada warga Jerman atas
perhatian mereka terhadap agama Islam. Hanya saja, penulis merasa menemukan
suatu hal yang janggal pada pertumbuhan lembaga pendidikan berbasis Islam di
negara ini.
Salah satu permasalahan adalah minimnya guru agama Islam di Jerman. Dari
informasi yang ditangkap penulis, 80% guru yang ada di sana saat ini diambil
dari Turki. Pemerintah dan sebagian warga kemudian merasa bahwa guru-guru ini
terlalu konservatif sehingga harus mendapat pelatihan dulu dari lembaga yang
telah dipercayakan oleh pemerintah.
Kemudian karena masih minimnya guru-guru ini, akhirnya Annette Schavan
membolehkan para imam masjid untuk mengajar di lembaga-lembaga pendidikan.
Hanya saja, mereka juga harus mendapat pelatihan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dahulu sebelum dinyatakan berhak mengajar.
Permasalahannya adalah pelatihan bagaimana yang diberikan kepada para
calon guru itu? Sejauh informasi yang didapatkan penulis bahwa tutor dalam
pelatihan itu tidak lain para lulusan akademisi ataupun profesor dari
universitas yang telah membuka progam studi Islam. Pertanyaan terakhir kemudian
bermuara pada apa saja sebenarnya yang diajarkan di universitas-universitas
itu? Penulis masih belum bisa memastikan karena minimnya data. Tapi, jika
ternyata pendidikan universitas tersebut tidak sesuai dengan rambu-rambu Islam
yang semestinya, artinya para guru-guru hasil pelatihan tidak akan jauh dari
itu. Imbasnya, semua anak didik mereka mempunyai cara berpikir yang sama dengan
para gurunya, yaitu tidak sesuai dengan rambu-rambu Islam.
Permasalahan ini sesuai dengan perkataan Muhammad Natsir dalam bukunya Nederland
en de Islam. Beliau berkata, “Pendidikan dan pengajaran dapat melepaskan orang
Muslimin dari genggaman Islam.” Maksudnya, kaum Muslimin akan terlepas dari
genggaman Islam jika tidak ditempatkan pada jalur pendidikan yang benar.
Bahkan, tidak jarang bahwa karena salah mendapatkan pendidikan, justru kaum
Muslimin sendiri yang menghancurkan Islam.
Pembodohan umat melalui jalur pendidikan
ini memang begitu berbahaya. Bahkan, beberapa orang menilai bahwa untuk
menghancurkan Islam saat ini cukup dengan merusak sistem pendidikan di al-Azhar
saja. Hal ini seperti apa yang Syekh Hisyam al-Kamil Hamid intisarikan dari
perkataan ulama lainnya:
Islam dihancurkan melalui 3 hal: al-Quran, Ka’bah dan
al-Azhar. Untuk menghancurkan al-Quran, maka hal itu cukup sulit. Untuk
menghancurkan Ka’bah, itu belum saatnya dan harus dilakukan perlahan. Maka,
jalan yang terakhir adalah dengan merobohkan lembaga pendidikan al-Azhar.
No comments:
Post a Comment