Dalam pemahaman masisir, mendapat jatah temus adalah kesempatan besar untuk bisa banyak beribadah. Berkunjung ke haram untuk iktikaf, umroh beberapa kali, melakukan thawaf sunah, hingga berkunjung ke tempat para masyayikh yang berdomisili di Saudi dan yang paling penting, kesempatan untuk menunaikan haji.
Tidak berbeda dengan masisir pada umumnya, gambaran di atas diamini begitu saja oleh otak saya yang masih polos. Saya pun berangan-angan bahwa nantinya bisa puas beribadah karena masa tugas yang cukup lama, dua sampai dua setengah bulan.
Kawan-kawan masisir, saya ingin menyampaikan bahwa gambaran seperti di atas adalah SALAH KAPRAH. Coba saja perhatikan dari mana datangnya informasi bahwa kita bisa meluangkan untuk sekedar duduk tenang di pelataran Haram atau sesekali berdesakan terbawa arus putaran ribuan manusia dalam tawaf? Jika diteliti secara cermat mata rantai berita ini, maka akan kita dapati bahwa semuanya berhulu pada kawan-kawan yang belum merasakan temus. Bagi yang sudah merasakan, apa komentar mereka tentang temus? Capek.
Tanyakan ke mereka yang bertugas di airport, dengan jam tugas yang terkadang mecapai 12 jam atau 18 jam, mereka akan berkomentar CAPEK. Tanyakan ke mereka yang bertugas di kantor daker untuk TU transportasi semisal, mereka akan berkomentar PUSING. Coba juga untuk bertanya petugas transportasi yang beradu dengan asap hitam knalpot bis serta terik matahari yang kadang mencapai 45 derajat celcius, mereka pasti akan mengeluh, “enak ya kamu tugas di sektor, ruangannya ber-AC.” Kemudian jika kalian bertanya pada petugas sektor, mereka akan menjawab, “kami ini tugas 24 jam. Kalau ada panggilan dari jamaah harus siap, sedangkan jamaah tidak kenal waktu untuk meminta bantuan petugas. Jadi kami ini malah kerja 24 jam.”
Kami, para petugas sektor, memang bekerja 24 jam. Misalkan saja, pernah suatu saat saya sedang mendapat sift jaga untuk memonitor jamaah tersesat. Kebetulan saya mendapat sift malam. Sekitar pukul 03.00 kalau tidak salah, saya memutuskan untuk memberi hak pada mata dan tubuh saya. Saya tidur di sofa. Kebetulan tidak ada jamaah tersesat saat itu. Pukul 04.30 tubuh saya diguncang oleh seorang jamaah asal Jakarta. “Pak, Pak, minta tolong ini, Pak. Kok kamar yang diberi ke kita sudah ada yang menempati ya?” Saya pun bangun dengan tubuh terhuyung dan indra yang masih meraba-raba, apakah masih di alam mimpi atau sudah kembali ke tempat tugas, saya jawab aja sekenanya, “iya, Pak. Iya.” Saya usap mata, oh ada beleknya. Saya rasakan kepala saya, ah, berat, pening, ngantuk. Berarti benar, saya di alam nyata saat ini.
Segera saya menuju hotel jamaah yang ternyata baru selesai kedatangan pukul 02.00, satu jam sebelum saya memejamkan mata. Saya membayangkan bagaimana jamaah ini belum istirahat sejak kedatangannya dari Indonesia hingga pagi itu yang artinya sudah hampir 12 jam dia berada dalam perjalanan. Ah, di atas langit masih ada langit. Di dalam atom masih ada partikel yang lebih kecil lagi. Ketika saya letih, masih ada jamaah yang lebih letih lagi.
Masalah selesai sekitar pukul 06.00 pagi. Alih-alih setelah masalah selesai saya bisa memeluk kasur, saya sudah harus menyusul kawan petugas lainnya yang akan berkegiatan pagi itu. Memang, mereka yang mendapat sift jaga malam boleh beristirahat paginya. Sayangnya, kaedah ini tidak berlaku bagi penghubung maktab yang hanya satu orang dalam satu sektor.
Penghubung maktab yang hanya satu orang yang salah satu tugasnya adalah pengurusan berkas jenazah tidak pernah bisa membuat jadwal pasti kapan dia bekerja dan beristirahat. Dia bukan malaikat sehingga berkata, “Hei, kamu! Saya sudah jadwalkan meninggal besok saja karena malam ini saya ingin I’tikaf kemudian sedikit istirahat di pagi hari.” Penghubung maktab harus siap siaga 24 jam, termasuk ketika anda sedang menikmati istirahat yang hanya beberapa jam saja.
Pernah pada suatu pagi, beberapa menit setelah azan subuh, saya dibangunkan oleh PAM sektor dengan ucapan, “Zul, ada jamaah yang meninggal tabrakan di bawah.” Deg, saya kaget. Jantung saya berdegup kencang. Saya tidak perlu memastikan apakah itu alam mimpi atau nyata. Jantung yang mengketuk-ketuk tulang rusuk sudah cukup untuk mengambalikan kesadaran saya. Segera saya solat subuh, memakai seragam, kemudian menuju TKP dan mengurus segala hal yang diperlukan.
Para penguhubung maktab juga harus siap telponnya berdering kapan saja. Termasuk di malam hari. Apalagi yang kita hadapi adalah para pegawai maktab yang notabene orang Saudi. Sudah maklum, orang-orang Saudi tidak hidup di pagi hari. Mereka lebih memilih profesi batman walau sepertinya film ini tidak ditayangkan di tivi-tivi Saudi.
Jadi jangan kaget jika baru saja anda memejamkan mata di tengah malam, tiba-tiba ada telpon berdering. Jangan kaget juga jika ketika diangkat justru yang terdengar suara dengan nada tinggi khas orang Saudi. Tidak masalah jika urusan selesai di telepon. Tapi jika untuk kembali memejamkan mata harus ke BPHI kemudian dilanjutkan ke Daker, ini yang jadi masalah. Ditambah lagi kalau proses urusan di BPHI dan di Daker memakan waktu yang tidak singkat. Jadi jangan heran jika anda gagal memejamkan mata pukul setengah dua belas malam dan baru melakukannya pukul setengah tiga pagi.
Sama hal nya dengan penghubung maktab, bagian perumahan dan penyerahan kunci juga dikejar waktu. Mereka harus menyempurnakan konfigurasi kamar untuk setiap jamaah. Jangan dipikir mudah. Jumlah jamaah per sektor rata-rata mencapai 18.000 orang. Semua harus mendapat kamar dan diusahakan sebisa mungkin agar tidak pisah rombongan, pisah hotel, apalagi hingga pisah sektor. Saya berani menjamin bahwa mereka juga banyak mengurangi jatah istirahat.
Jadi kapan kita ke masjidil haram? Tidak, tidak sempat. Jangankan untuk sekedar meminum air zam-zam di sana, menaiki bis solawat atau transportasi lain menuju ke sana saja hampir tidak memungkinkan. Untuk mengunjungi saudara? Apalagi. Perlu benar-benar mencari waktu.
Saya benar-benar tersiksa mendapati kenyataan ini, terutama pada minggu pertama bertugas. Ini bukan seperti ayam yang mati di lumbung padi, tetapi ayam yang dihilangkan kesadarannya bahwa ia sedang berada di lumbung padi. Dalam minggu pertama itu, saya selalu memperhatikan jadwal kedatangan jamaah, menghitung kalau saja ada waktu kosong untuk “kabur” ke masjidil haram.
Jadi, kawan-kawan masisir sekalian, saya bukan sedang menakut-nakuti kalian atau berkoar untuk memupuskan harapan menjadi temus. Bukan, sama sekali bukan. Saya hanya ingin memberikan secuil gambaran tentang hakekat kegiatan temus. Saya tidak ingin kawan-kawan temus terlalu banyak mendapat harapan palsu, ekspektasi-ekspektasi yang terlalu tinggi. Ini tentang memperbaiki bersama niat kawan-kawan masisir semua bahwa TUGASKU ADALAH IBADAH UTAMAKU merupakan motto utama yang harus dipegang.
Jangan pasang target umroh sekian kali, ke masjidil haram setiap minimal dua waktu solat, iktikaf selama sekian jam perhari, menghadiri majlis para masyayikh di sana atau hal-hal lainnya. Target-target itu hanya membuat hati gusar, tugas juga tidak diemban maksimal. Penerapan target seperti barusan akan membuat anda mencuri-curi waktu yang memang mustahil untuk dicuri. Kalau toh mendapat kesempatan untuk ibadah tambahan, maka itu bonus dan bukan hak pokok. Jangan terlalu berharap.
No comments:
Post a Comment