Thursday, December 24, 2015

Urusan Nyawa (#Temus 03)

“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba, akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama serta mengambil ilmu yang ada bersamanya.Mereka (orang awam) bertanya-tanya, maka mereka menjawab dengan logika pikiran mereka. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari)

Saat ini saya memang sudah punya beberapa konsep untuk ditulis, tetapi semua terpaksa saya tunda. Faktor paling utama adalah waktu yang sama sekali tidak mendukung. Mungkin saya ceritakan di bagian lain dari kumpulan catatan temus kali ini. Hanya saja, saat ini saya paksakan menulis di tengah penyambutan kedatangan jamaah haji kloter enam embarkasi Balikpapan.

Ini semua tentang nyawa. Saya akan memulai cerita kali ini dari pertanyaan, “apakah anda pernah ikut andil dalam menyebabkan kematian seseorang?”

Baiklah, jika anda kesusahan untuk memahami pertanyaan di atas, biar saya memberi sedikit contoh. Suatu hari, seorang supir mobil sampah melakukan rutinitasnya seperti biasa, mengumpulkan sampah kemudian membuangnya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Proses pembuangan sampah juga dia laksanakan dengan prosedural yang sudah di luar kepala. Berjalan mundur ke arah TPA kemudian kemudian mengangkat punggung mobil agar sampah-sampah di situ jatuh mengikuti hukum gravitasi ke arah TPA.

Kegiatan di atas biasa dilakukan pukul lima sore bersamaan dengan para pemulung yang siap menyerbu setiap mobil sampah yang datang. Tak dinyana, pada suatu sore seorang nenek ngotot menyerobot ketika mobil masih berjalan mundur mendekatkan punggung mobilnya menuju bak sampah. Kejadian naas tidak bisa dihindarkan, nenek tersebut tertabrak kemudian meninggal setelah tidak tertolong ketika dilarikan ke balai pengobatan setempat. Supir mobil sampah ini kemudian dikabarkan mengalami depresi dalam tempo relatif lama.
Jadi begitu, si sopir tidak bermaksud sama sekali untuk “mengambil peran” dalam kematian nenek tersebut, tetapi perasaan bersalah dan depresi mendalam  terus menghantui.

Cerita sopir tadi memang sedikit berbeda, namun memiliki banyak kesamaan. 20 September lalu, saya sukses membuat kalang kabut dokter sektor tempat saya bekerja. Dua orang pasien yang sudah dijadwalkan cuci darah pukul 06.00 pagi itu baru bisa diberangkatkan ke rumah sakit pukul 09.00. pasien ini terlambat dari jadwal yang sudah ditetapkan hanya karena berkas yang belum lengkap sehingga pihak rumah sakit tidak bisa menerima pasien tadi.

Perkara penanganan berkas jamaah yang harus dikoordinasikan dengan maktab, saya adalah penanggung jawabnya. Adapun perkara mengakhirkan pekerjaan, saya adalah ahlinya. Tentang menyepelekan perkara, anda bisa berkonsultasi kepada saya.
Berkas pagi itu terlambat. Dokter sudah meminta dari saya sejak Kamis sore. Sayangnya, sore itu ada penyambutan kedatangan, maka pengurusan itu saya akhirkan. Masuk hari Jum’at, ternyata kedatangan tidak kalah padat. Berkas baru saya urus pukul sembilan malam, itupun ditanggapi oleh pengurus maktab dengan kata “ba’din, ba’da sa’ah” (nanti ya, sejam lagi).

Matahari fajar hari Sabtu menyingsing, dan saya belum mendapat kabar dari pihak maktab. Saya hanya bisa merunduk dengan perasaan penuh bersalah di depan dokter sambil berharap cemas agar pasien itu baik-baik saja. Dokter sendiri menampakkan ekspresi yang mengatakan kalau pasien tersebut tidak segera ditangani, akan terjadi problem yang tidak diinginkan. Dokter juga berjalan mondar mandir yang membuat orang disekitarnya ada hal menggelisahkan yang memuncak. Mungkin ini kompilasi kegelisahan antara pasien yang telat cuci darah dan pasien yang meninggal pagi itu tapi jenazahnya tidak bisa diurusi langsung karena BPHI yang sibuk.

Perlu diketahui, perkara berkas cuci darah dan jenazah, keduanya adalah tanggung jawab saya. Jadi ini adalah pagi yang buruk. Apalagi ditambah porsi tidur yang baru dua setengah hingga tiga jam. Pagi yang semakin buruk.

Dua setengah jam berlalu, saya hanya perang mulut dengan direktur maktab, marah karena berkas tidak diberikan oleh maktab. Pukul setengah sembilan, pikiran saya semakin kalang kabut, benar-benar kalang kabut. Bayangan saya, jika telat cuci darah bisa menyebabkan yang bersangkutan kehilangan nyawa. Keputusan terakhir, saya akan datangi maktab walau harus naik taksi. Ini masalah nyawa, dan harga taksi tidak pernah sebanding dengan harga dua orang calon haji.

Untungnya, sopir sektor datang dan saya tidak jadi menggunakan jasa taksi. Di dalam mobil, saya hanya tidak berhenti berdoa agar dua pasien ini bisa diselamatkan. Saya kembali ke kantor pukul 09.15 dan pasien segera dirujuk ke rumah sakit An-Nur. Masalah selesai. Hampir saja saya ikut andil dalam menyebabkan kematian seseorang.

Pagi yang buruk, namun penuh hikmah. Saya jadi mengerti bagaimana beban mental para dokter. Hidup atau mati pasien ada pada tangannya –tentu atas Kuasa Allah juga. Tapi semakin saya merenungi kejadian ini, saya sadar bahwa justru mereka yang mendalami agama, khususnya para mufti beban lebih besar ketimbang dokter. Dokter hanya bersinggungan dengan keselamatan dunia, mufti berurusan dengan keselamatan akhirat –dan tentunya dunia juga.

Mereka yang pernah merasakan ketegangan saya pagi itu, akan mengerti bagaimana kondisi Imam Malik ketika berkata, “Saya tidak tahu,” untuk masalah yang belum siap beliau sampaikan bagi penanya. Jadi, fenomena asal fatwa memang merupakan bencana terbesar.

No comments:

Post a Comment