Agama islam dengan asas ketauhidan yang menjadi prinsip
hidup setiap pemeluknya menjadikannya berbeda dengan agama lain. Dampak yang
cukup bisa kita rasakan pada realita kehiudapan ini adalah sekelompok pemeluk
agama yang malah menuhankan manusia. Di belahan dari dunia dengan jelas kita
menemukan sekelompok pemeluk agama yang menganggap manusia itu sesuatu yang
hina, menyiksa diri mereka yang berwujud manusia dengan harapan pelepasan diri
dari dunia yang fana.
Islam dengan prinsip dan konsep ketauhidan yang kokoh
menjelaskan kedudukan manusia yang sebenarnya di dunia ini. Dalam Al-Qur’an
disebutkan “Inni ja’ilun fi-l-ardhi al khalifah”. Dengan tegas Allah
menyatakan kedudukan manusia di atas bumi ini yaitu khalifah. Dalam Lisanu-l-Arab
kata khalafa bisa diartikan shaara makanuhu (menggantikan
posisinya) man yaquumu maqoomahu. Maka telah jelas bahwa manusia bukan
hidup tanpa tujuan. Melainkan sebagai pengganti dari pada posisiNya di muka
bumi.
Implikasi yang didapatkan dari konsep khalifah tadi akan
sangat kental dirasakan di berbagai bidang kehidupan. Beberapa malah berdampak
pada perpecahan pendapat atau kekacauan tatanan sosial. Makna dari kata
“khalifah” tidak hanya berhenti pada tafsiran dangkal yang menyatakan bahwa
manusia adalah pemimpin. Tapi jauh dari itu juga berimbas pada cara setiap
individual memperlakukan setiap segi kehidupannya.
Beberapa dari efek konsep tersebut bisa kita dapatkan
pada pertentangan af’alul ‘ibad. Ada pihak yang menganggap kemutlakan
kekuasaan Tuhan yang tidak dapat dibantahkan, hanya pasrah dengan garis takdir
yang sudah disuratkan lama sebelum dia memasuki alam kandungan. Mereka lebih
dikenal dengan Jabariah. Kelompok lain
yang sering disebut dengan Qodariah mengklaim akan kebebasan
berkehendak dan bertindak sebagai seorang manusia. Bisa difahami dari
persengketaan atas kekuasaan Tuhan ataupun kebebasan manusia tersebut karena
mereka terlepas dari kenyataan bahwa manusia di bumi hanya bertindak sebagai
khalifah.
Jika mereka mencoba untuk memahami manusia dari persepsi
dan konsep khalifah maka yang dihasilkan bahwa manusia adalah makhluk yang
dibebani amanat untuk meghidupkan bumi dengan bebas memilih untuk
menyempurnakan bebannya tersebut. Dengan begitu dia bukan makhluq yang hanya
menanti kepastian akan ketentuan yang merupakan harga mati dari Tuhannya (menurut
jabariah) atau kebebasan berbuat tanpa ada tanggung jawab (menurut qadariah).
Hanya saja tampaknya makna dari pada hakekat manusia sebagai khalifah sudah
kabur dari pemikiran mereka.
Hal lain yang cukup bisa dirasakan ketika manusia
berpegang pada konsep ini adalah pada tatanan sosial masyarakat yang majemuk. Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa salah satu factor perpecahan pada abad 21 ini
ditimbulkan dari ekonomi. Krisis ekonomi yang membawa dampak serta perubahan
signifikan pada sector-sektor kehidupan manusia baik di negara dengan system
perekonomian yang masih berkembang maupun negara dengan sistem perekonomian
kuat beberapa tahun silam diyakini merupakan efek dari faham kapitalisme.
Mereka yang berpendirian bahwa uang adalah tujuan akhir
dari hidup sudah menanggalkan pandangannya mengenai konsep manusia sebagai
khalifah. Dalam Al-Qur’an sendiri dengan jelas disebutkan “wa anfiqu mimma
ja’alnaakum mustakhlifiina fil ardhi”. Makna yang tersirat adalah manusia
tidak dapat semena-mena berbuat pada harta yang mereka miliki. Tetapi mereka
harus faham kedudukan dia sebagai khalifah dengan harta yang diberikan olehNya
untuk terus menyempurnakan kekhilafahan mereka. Tidak heran jika kalimat al
maal (harta) lebih sering disebutkan Al-Qur’an dengan bentuk majemuk (amwaalukum,
amwaaluhum) yaitu di 27 ayat dari pada tunggal (maaluhu) yang hanya
terdapat pada 7 ayat.
Itulah dia manusia yang berperan sebagai “wakil” Allah
yang telah dijadikanNya semua yang di bumi ini bisa dimanfaatkan (sakkhara
lahu) untuk mennyempurnkan kekhilafahannya. Dan ketika seseorang kehilangan
prinsip ini dia akan merasa bahwa dia adalah pemilik kehidupan ini yang tidak
lain hanya akan merusak stabilitas kehidupan sudah sempurna ini.
No comments:
Post a Comment