Lumrah memang kalau terkadang
kemampuan finansial kita tidak berbanding lurus dengan kebutuhan. Jalan pintas
paling mudah yang biasanya ditempuh untuk memenuhi kebutuhan finansial tersebut
adalah dengan berutang. Mulanya, kegiatan utang-piutang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan dasar. Tak heran, itu karenga utang dulu dianggap aib.
Lain dulu, lain sekarang. Paradigma
utang adalah aib kini sudah tidak ngetren. Utang bukan lagi hal yang tabu.
Kapanpun seseorang mendapati dirinya sedang terbelit masalah finansial, maka
dengan segera meneguk obat bernama utang. Sebenarnya, utang sekarang ini tidak
layak disamakan dengan aspirin yang memang bekerja untuk menghilangkan rasa
sakit. Utang dewasa ini lebih mirip candu yang membuat si pemakai ketagihan.
Jadi, bukan pemakai yang meminta untuk mengkonsumsi obat ini, tapi efek dari
obat inilah yang membuat pemakai tidak bisa lepas darinya. Mengenai candu ini, majalah
The Economist mempunyai peribahasa yang menarik: Debt is as powerful a drug
as alcohol and nicotine.
Indonesia sendiri pada periode
2004-2009 tercatat mengalami peningkatan hutang sebesar 31% menjadi sebesar
1.667 triliun. Belum selesai sampai di situ, pada Agustus 2013 ini, utang
Indonesia sudah kian membengkak menjadi 2.177,95 triliun rupiah. Memang akan
ada oknum berkilah bahwa jumlah yang disebutkan disebabkan inflasi yang
mengakibatkan seakan utang Indonesia semakin menggelembung. Memang pendapat ini
tidak salah, namun faktor tren utang juga harus menjadi sorotan penting.
Dalam konteks mikro, tren utang
saat ini dibalut dengan hal-hal yang berbau urban seperti kartu kredit. Bagi
sebagian orang, kartu kredit ini menjadi indikator seberapa urbannya kah orang
tersebut. Hal ini praktis menimbulkan paham bahwa kalau belum punya kartu
kredit, kita masih dianggap udik. Kita memang mengingkari pernyataan barusan.
Tapi, miliu perkotaan membuat kebanyakan orang seakan membutuhkan kartu kredit
itu. Jadi, utang terkesan membuat seseorang semakin bergengsi.
Tidak masalah memang kalau pemasukan
finansial sepadan, toh kartu kredit juga mempunyai persyaratan khusus
dalam pembuatannya. Namun, utang tetaplah utang. Katakanlah pendapatan tetap
kita senilai sepuluh juta perbulan. Sangat tidak menutup kemungkinan ada
hal-hal di luar dugaan yang memotong jumlah pemasukan tadi. Kalau ini terjadi
berulang kali, gagal bayar sulit untuk dihindari. Sejurus kemudian, kita tidak
bisa lagi mendapat akses utang dengan bebas padahal sudah terlanjur hidup
dengan jalan utang. Jadi, yang salah bukan kartu kreditnya. Kartu kredit hanya
secuil contoh yang penulis sitir. Hakekatnya ada pada budaya utang yang terlalu
akut.
Budaya utang yang akut ini semakin
amburadul di ranah makro. Indonesia yang seharusnya sadar bahwa pemasukan tidak
cukup untuk mengcover seluruh kebutuhan APBN selalu menutupinya dengan
utang luar negeri. Utang tersebut juga hakekatnya digunakan untuk menutupi
utang sebelumnya. Jadi ya tidak lebih dari proses gali lubang tutup lubang.
Tapi, selalu saja lubang ke dua lebih dalam dari lubang sebelumnya. Lebih aneh
lagi, pemerintah sangat bangga ketika berhasil mendapat utang luar negeri dari
penjualan global bond. Mereka membusungkan dada seraya berkata bahwa
tingkat kepercayaan asing kepada Indonesia semakin tinggi. Bagi mereka, indeks
prestasi ada pada pendapatan utang.
Apa yang terjadi pada ranah makro
merupakan perpaduan antara budaya utang dan candu utang. Budaya utang tercermin
pada sikap yang tidak tau diri tentang kemampuan finansial negara untuk
menopang anggaran. Selalu saja besar pasak dari pada tiang. Lebih besar
anggaran ketimbang pemasukan sehingga menyebabkan defisit. Pola ini terjadi
setiap tahun tanpa membawa udara segar untuk kemandirian ekonomi bangsa.
Kemudian, akumulasi dari sekian kali defisit dan pinjaman luar negeri tiap
tahunnya menjadi candu bagi bangsa ini. Semakin hari kian membesar layaknya
bola salju yang siap menghantam perekonomian kita.
Setali tiga uang dengan Indonesia.
Perdebatan anggaran yang berujung shutdown pemerintahan AS sebenarnya
dipicu problem debt ceiling yang jika ditelisik ulang akan bermuara pada
kebiasaan ‘besar pasak dari pada tiang’. Sumber pemasukan utama AS, yaitu pajak
sama sekali tidak mencukupi belanja negara. Pajak hanya menutupi 60% dari total
kebutuhan. AS saat ini juga tidak bisa menambah pinjaman karena UU menyatakan
peminjaman mentok pada angka US$ 16,7 triliun yang mana angka ini telah dicapai
oleh pemerintahan saat ini. Sekenario terbesar, Kongres akan mengesahkan
penambahan utang walau dengan beberapa catatan. Intinya, semakin masuk lebih dalam
ke jurang bernama utang.
Memang aktifitas utang-piutang
sangatlah wajar. Rasulullah juga pernah berhutang, yaitu ketika Beliau membeli makanan
untuk keluarganya dengan baju perang sebagai jaminan. Ini menunjukkan tingkat
urgensi kapan layaknya seseorang berutang kepada pihak lain. Memang tingkat
urgensi ini akan berubah sesuai perkembangan zaman. Tetapi, kita harus selalu
mengingat patokan aslinya ialah kebutuhan yang benar-benar mendesak. Syekh
Mutawalli Sya’rawi (1911-1998 M) pernah membuat sebuah statemen keras tentang
utang. Beliau berkata, "Gerak pikir seseorang tidak akan keluar dari
kepalanya sendiri selama makanannya tidak dihasilkan dari lumbung pribadi."
No comments:
Post a Comment