Saturday, December 26, 2015

Hingga Kapan Kita Menghujat (Sejarah) Kartini?

Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya

Demikianlah sepotong lagu yang diciptakan oleh WR. Supratman untuk menggambarkan seorang Kartini sebagai figur emansipasi wanita Indonesia. Wanita berdarah Jawa kelahiran 21 April 1879 ini telah menjadi ikon bangsa selama puluhan tahun dalam hal emansipasi wanita. Bermula dari surat-suratnya yang kemudian dibukukan dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Kartini dianggap pelopor kaum wanita Indonesia dalam menyampaikan aspirasi mereka yang selama masa penjajahan terpendam.

Puluhan tahun kini telah berlalu sejak sosok Kartini dijadikan figur emansipator. Selama itu juga rakyat Indonesia memberi tanda khusus di kalendar mereka pada 21 April sebagai Hari Kartini. Dalam jangka waktu yang cukup panjang itu juga, bangsa Indonesia, khususnya para wanita merayakan hari tersebut dengan membuat acara-acara tertentu. Pada rentang waktu yang cukup panjang ini, bangsa Indonesia juga telah menanamkan pada setiap generasi yang datang bahwa Indonesia telah memiliki seorang figur yang patut dicontoh dalam mengaspirasikan suara perempuan.

Tidak ada yang beda pada tahun 2013 ini. Kalender resmi Indonesia masih mencatat tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Tapi, terdapat perbedaan yang sangat signifikan akan perayaan Hari Kartini pada era sekarang dengan beberapa dekade sebelum ini. Jika pada dulu pemikiran bangsa Indonesia bisa dibelokkan dengan pembiasan sejarah, maka pada era sekarang pembiasan itu mulai pudar. Pemikiran bangsa Indonesia semakin dewasa dan matang. Kematangan berpikir ini kemudian mulai merengsek, mencoba meluruskan bias sejarah tentang sosok Kartini. Tidak heran jika akhir-akhir ini perayaan Hari Kartini justru marak dengan munculnya tulisan-tulisan yang menggugat sejarah kepahlawanan Kartini.

Sebenarnya, penulis sendiri tidak tahu secara pasti sejak kapan studi kritis tentang sejarah kepahlawanan Kartini dimulai. Telaah akhir yang penulis dapatkan hanya berhenti pada pernyataan Tiar Anwar Bachtiar, salah satu kontributor tulisan di INSIST yang mengatakan bahwa masalah ini pernah disinggung pada dekade 1980-an oleh Harsja W. Bachtiar, seorang guru besar Universitas Indonesia. Masalah ini kemudian kembali menghangat menjelang Hari Kartini pada 21 April 1988.

Dari ulasan Tiar Anwar Bachtiar di atas, artinya sejarah Kartini sudah dibicarakan selama tiga dekade. Tapi, nampaknya pembiasan sejarah ini tidak mendapat porsi yang banyak dari keseluruhan masyarakat Indonesia. Hemat penulis, permasalahan akan pembiasan sejarah kepahlawanan para pejuang wanita Indonesia ini tidak lebih sebagai santapan para akademisi tingkat universitas ke atas. Itu pun yang konsen pada ilmu praktis masih ada saja yang tidak memahami tentang bias sejarah ini.

Penulis mencoba untuk menguatkan asumsi ini dengan bertanya kepada beberapa orang pelajar dengan berbagai varian umur. Yang pertama adalah seorang pelajar kelas dua SMA. Penulis melontarkan pertanyaan, “Sebenarnya pahlawan emansipasi wanita Indonesia Kartini bukan, sih?” Pelajar ini dengan tegas menjawab bahwa memang benar, pahlawan emansipasi itu adalah Kartini. Pertanyaan yang sama kemudian penulis ajukan kepada seorang pelajar SMA kelas satu. Lagi-lagi sebuah jawaban tegas penulis dapatkan, bahwa pahlawan emansipasi itu adalah Kartini.

Penulis kemudian mencoba bertanya kepada seorang mahasiswa salah satu universitas ternama di Indonesia. Penulis belum mendapat jawaban pasti dari mahasiswa tersebut karena tidak sempat berbincang terlalu lama. Tapi, dalam perbincangan yang singkat itu, penulis mendapat kesimpulan sementara bahwa dia tidak terlalu mengerti apa sebenarnya yang salah dalam sejarah kepahlawanan Kartini. Karena kebetulan mahasiswa ini mengajar privat kepada anak-anak SD, penulis juga bertanya kepadanya hal ihwal anak-anak SD tersebut. Memang, kebetulan yang diajar adalah anak kelas 2 SD, maka spontan saja mahasiswa ini berkata, “Aku kan ngajar kelas 2 SD, mana mungkin mereka tahu!”

Data yang dikumpulkan penulis memang sangat minim sekali. Tapi, kesemuanya menjawab dengan jawaban yang tidak jauh berbeda. Penulis semakin mengernyitkan dahi. Sebenarnya, ke mana perginya tulisan-tulisan yang membahas panjang lebar tentang bias sejarah Indonesia ini. Pada tahun 2013 ini saja, sudah ada belasan tulisan yang saya temukan bertebaran di dunia maya. Tapi, nampaknya masyarakat ogah untuk menanggapi hal tersebut. Saya kemudian menilai seakan usaha-usaha untuk menyadarkan bangsa Indonesia berhenti pada kalangan akademisi tertentu. Sumbangsih para sejarawan dalam menganalisa sejarah serta meluruskan sejarah Indonesia belum berbuah.

Penulis kemudian mencoba melemparkan keheranan atas belum berhasilnya para sejarawan ini kepada pihak yang paling otoritatif dalam memasok ilmu pengetahuan bagi generas selanjutnya, lembaga pendidikan. Kejanggalan pada lembaga pendidikan ini memang sekedar subjektif penulis. Penulis merasa bahwa sekuat apapun usaha para sejarawan yang dibantu oleh akademisi memang sulit membuahkan hasil. Hal itu karena doktrin yang ditanamkan kepada setiap bibit generasi selanjutnya adalah sebuah hasil bias sejarah yang belum diluruskan tersebut. Kurikulum yang dicanangkan masih hanya sekedar taklid buta atas apa yang telah tersusun sebelumnya. Lembaga pendidikan memang bukan akar segalanya.

Untuk mengubah substansi dari kurikulum yang diajarkan tidak semudah membalik telapak tangan. Pihak yang lebih otoritatif lagi tentunya Menteri Pendidikan yang mempunyai kuasa penuh dalam melegitimasi hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Juga, tentunya akan terjadi tarik ulur yang cukup ketat untuk mengubah kurikulum yang bersangkutan dengan sejarah kepahlawanan Kartini ini. Hal itu karena sejarah kepahlawanan Kartini mempunyai hubungan erat dengan cita nasionalisme bangsa Indonesia yang telah tertanam selama sekian dekade. Merubah kurikulum, artinya harus mencabut cita tersebut yang telah lama mengakar dalam sanubari bangsa.


Dengan begitu, mungkin kita masih terus “dipaksa” untuk mencerca sejarah Kartini, menggugat, menyalahkan, menyudutkan, serta segala hal yang berkonotasi negatif atas bias sejarah tersebut. Kita mau tidak mau harus ikut mencerca hingga bias sejarah ini diluruskan kembali, hingga ada legitimasi atas sejarah yang sebenarnya. Walaupun ini tidak lebih dari tambahan wawasan yang bersifat informal alias di luar kurikulum, setidaknya kita tidak membiarkan generasi selanjutnya mengkonsumsi sejarah yang masih bias itu. Tapi, tentunya lebih baik lagi jika ada yang mengusung wacana legitimasi atas kesalahan sejarah ini untuk segera menjadi kurikulum.

No comments:

Post a Comment