Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
Demikianlah sepotong
lagu yang diciptakan oleh WR. Supratman untuk menggambarkan seorang Kartini
sebagai figur emansipasi wanita Indonesia. Wanita berdarah Jawa kelahiran 21
April 1879 ini telah menjadi ikon bangsa selama puluhan tahun dalam hal
emansipasi wanita. Bermula dari surat-suratnya yang kemudian dibukukan dengan
judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Kartini dianggap pelopor kaum
wanita Indonesia dalam menyampaikan aspirasi mereka yang selama masa penjajahan
terpendam.
Puluhan tahun kini
telah berlalu sejak sosok Kartini dijadikan figur emansipator. Selama itu juga rakyat
Indonesia memberi tanda khusus di kalendar mereka pada 21 April sebagai Hari
Kartini. Dalam jangka waktu yang cukup panjang itu juga, bangsa Indonesia,
khususnya para wanita merayakan hari tersebut dengan membuat acara-acara
tertentu. Pada rentang waktu yang cukup panjang ini, bangsa Indonesia juga
telah menanamkan pada setiap generasi yang datang bahwa Indonesia telah
memiliki seorang figur yang patut dicontoh dalam mengaspirasikan suara
perempuan.
Tidak ada yang beda
pada tahun 2013 ini. Kalender resmi Indonesia masih mencatat tanggal 21 April
sebagai Hari Kartini. Tapi, terdapat perbedaan yang sangat signifikan akan
perayaan Hari Kartini pada era sekarang dengan beberapa dekade sebelum ini.
Jika pada dulu pemikiran bangsa Indonesia bisa dibelokkan dengan pembiasan
sejarah, maka pada era sekarang pembiasan itu mulai pudar. Pemikiran bangsa
Indonesia semakin dewasa dan matang. Kematangan berpikir ini kemudian mulai merengsek,
mencoba meluruskan bias sejarah tentang sosok Kartini. Tidak heran jika
akhir-akhir ini perayaan Hari Kartini justru marak dengan munculnya
tulisan-tulisan yang menggugat sejarah kepahlawanan Kartini.
Sebenarnya, penulis
sendiri tidak tahu secara pasti sejak kapan studi kritis tentang sejarah
kepahlawanan Kartini dimulai. Telaah akhir yang penulis dapatkan hanya berhenti
pada pernyataan Tiar Anwar Bachtiar, salah satu kontributor tulisan di INSIST
yang mengatakan bahwa masalah ini pernah disinggung pada dekade 1980-an oleh
Harsja W. Bachtiar, seorang guru besar Universitas Indonesia. Masalah ini
kemudian kembali menghangat menjelang Hari Kartini pada 21 April 1988.
Dari ulasan Tiar Anwar
Bachtiar di atas, artinya sejarah Kartini sudah dibicarakan selama tiga dekade.
Tapi, nampaknya pembiasan sejarah ini tidak mendapat porsi yang banyak dari
keseluruhan masyarakat Indonesia. Hemat penulis, permasalahan akan pembiasan
sejarah kepahlawanan para pejuang wanita Indonesia ini tidak lebih sebagai
santapan para akademisi tingkat universitas ke atas. Itu pun yang konsen pada
ilmu praktis masih ada saja yang tidak memahami tentang bias sejarah ini.
Penulis mencoba untuk
menguatkan asumsi ini dengan bertanya kepada beberapa orang pelajar dengan
berbagai varian umur. Yang pertama adalah seorang pelajar kelas dua SMA.
Penulis melontarkan pertanyaan, “Sebenarnya pahlawan emansipasi wanita
Indonesia Kartini bukan, sih?” Pelajar ini dengan tegas menjawab bahwa
memang benar, pahlawan emansipasi itu adalah Kartini. Pertanyaan yang sama
kemudian penulis ajukan kepada seorang pelajar SMA kelas satu. Lagi-lagi sebuah
jawaban tegas penulis dapatkan, bahwa pahlawan emansipasi itu adalah Kartini.
Penulis kemudian
mencoba bertanya kepada seorang mahasiswa salah satu universitas ternama di
Indonesia. Penulis belum mendapat jawaban pasti dari mahasiswa tersebut karena
tidak sempat berbincang terlalu lama. Tapi, dalam perbincangan yang singkat
itu, penulis mendapat kesimpulan sementara bahwa dia tidak terlalu mengerti apa
sebenarnya yang salah dalam sejarah kepahlawanan Kartini. Karena kebetulan
mahasiswa ini mengajar privat kepada anak-anak SD, penulis juga bertanya
kepadanya hal ihwal anak-anak SD tersebut. Memang, kebetulan yang diajar adalah
anak kelas 2 SD, maka spontan saja mahasiswa ini berkata, “Aku kan ngajar
kelas 2 SD, mana mungkin mereka tahu!”
Data yang dikumpulkan
penulis memang sangat minim sekali. Tapi, kesemuanya menjawab dengan jawaban
yang tidak jauh berbeda. Penulis semakin mengernyitkan dahi. Sebenarnya, ke
mana perginya tulisan-tulisan yang membahas panjang lebar tentang bias sejarah
Indonesia ini. Pada tahun 2013 ini saja, sudah ada belasan tulisan yang saya
temukan bertebaran di dunia maya. Tapi, nampaknya masyarakat ogah untuk
menanggapi hal tersebut. Saya kemudian menilai seakan usaha-usaha untuk
menyadarkan bangsa Indonesia berhenti pada kalangan akademisi tertentu.
Sumbangsih para sejarawan dalam menganalisa sejarah serta meluruskan sejarah
Indonesia belum berbuah.
Penulis kemudian
mencoba melemparkan keheranan atas belum berhasilnya para sejarawan ini kepada
pihak yang paling otoritatif dalam memasok ilmu pengetahuan bagi generas
selanjutnya, lembaga pendidikan. Kejanggalan pada lembaga pendidikan ini memang
sekedar subjektif penulis. Penulis merasa bahwa sekuat apapun usaha para
sejarawan yang dibantu oleh akademisi memang sulit membuahkan hasil. Hal itu
karena doktrin yang ditanamkan kepada setiap bibit generasi selanjutnya adalah
sebuah hasil bias sejarah yang belum diluruskan tersebut. Kurikulum yang
dicanangkan masih hanya sekedar taklid buta atas apa yang telah tersusun
sebelumnya. Lembaga pendidikan memang bukan akar segalanya.
Untuk mengubah
substansi dari kurikulum yang diajarkan tidak semudah membalik telapak tangan.
Pihak yang lebih otoritatif lagi tentunya Menteri Pendidikan yang mempunyai
kuasa penuh dalam melegitimasi hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Juga,
tentunya akan terjadi tarik ulur yang cukup ketat untuk mengubah kurikulum yang
bersangkutan dengan sejarah kepahlawanan Kartini ini. Hal itu karena sejarah
kepahlawanan Kartini mempunyai hubungan erat dengan cita nasionalisme bangsa
Indonesia yang telah tertanam selama sekian dekade. Merubah kurikulum, artinya
harus mencabut cita tersebut yang telah lama mengakar dalam sanubari bangsa.
Dengan begitu, mungkin
kita masih terus “dipaksa” untuk mencerca sejarah Kartini, menggugat,
menyalahkan, menyudutkan, serta segala hal yang berkonotasi negatif atas bias
sejarah tersebut. Kita mau tidak mau harus ikut mencerca hingga bias sejarah
ini diluruskan kembali, hingga ada legitimasi atas sejarah yang sebenarnya. Walaupun
ini tidak lebih dari tambahan wawasan yang bersifat informal alias di luar
kurikulum, setidaknya kita tidak membiarkan generasi selanjutnya mengkonsumsi
sejarah yang masih bias itu. Tapi, tentunya lebih baik lagi jika ada yang
mengusung wacana legitimasi atas kesalahan sejarah ini untuk segera menjadi
kurikulum.
No comments:
Post a Comment