Pada dasarnya, tingkat kesejahteraan akan selalu berbanding
lurus dengan pertumbuhan ekonomi. Ketika ekonomi suatu daerah maju, maka
kesejahteraan warga yang masuk dalam teritorial daerah tersebut niscaya akan
maju juga. Sebaliknya, jika kemajuan ekonomi terhambat, nampaknya akan susah
untuk membayangkan tingkat kesejahteraan daerah tersebut.
Hanya saja, rumusan di atas nampaknya sudah usang dan tidak
bisa diterapkan lagi dalam konteks kehidupan saat ini. Hal tersebut sesuai
dengan fakta yang ada, yaitu problem kemiskinan yang gagal diatasi di saat
perkonomian mampu bertahan atau bahkan meningkat. Contoh yang ada di Indonesia
adalah nasib yang menimpa daerah-daerah penghasil minyak atau sumber daya alam
potensial lainnya.
Sebut saja Kaltim (Kalimantan Timur) sebagai daerah
penghasil gas alam terbesar di Indonesia. Tiga puluh persen pasokan gas alam
Indonesia yang berasal dari sana seharusnya mampu mengisi pundi-pundi ekonomi
mereka. Kenyataannya, Kaltim tidak menjadi daerah dengan warga makmur
sejahtera. Setali tiga uang, Papua dengan tambang emasnya juga tidak mendongkrak
ekonomi warganya sehingga bisa keluar dari garis kemiskinan.
Permasalahan di atas adalah contoh dari ketiadaan konsep
distribusi yang baik. Kekayaan hanya berputar di tangan orang-orang minoritas
sebagai mana ciri dari kapitalisme. Kaum papa daerah tersebut justru tidak
mencicipi kenikmatan sumber daya alam mereka yang melimpah ruah. Prinsip kai
lâ yakûnâ daûlatan bainal aghniyâ`i minkum terabaikan sehingga berimbas
pada terseoknya ekonomi rakyat mayoritas.
Terlepas dari hal itu, sebab kemerosotan kesejahteraan saat
ini juga mempunyai faktor lain, yaitu pembengkakan ekonomi di sisi moneter
tanpa dibarengi peningkatan produk dan jasa. Bank-bank yang ada sekarang
menciptakan uang melalui penggandaan deposit atau setoran nasabah sehingga
menyebabkan peningkatan di sisi moneter. Peningkatan ini tidak akan pernah
menjadi masalah jika diimbangi dengan peningkatan produk barang dan jasa, tapi
nampaknya fakta berkata lain. Pertumbuhan moneter melalui penggandaan uang
dengan cara tadi terlalu cepat dan jauh meninggalkan ekonomi riil. Artinya,
uang lebih banyak dari pada barang. Efek yang paling kentara adalah kenaikan
harga barang atau lebih sering kita kenal dengan inflasi.
Jika merujuk pada pendapat mantan ketua umum Asbisindo
(Asosiasi Bank Syariah Indonesia), salah satu penyebab pembengkakan moneter
tadi adalah kartu kredit atau sistem utang. Keinginan manusia –yang tidak akan
pernah ada batasnya– praktis tercapai dengan sistem seperti ini. Padahal, pada
hakikatnya kartu kredit tidak lebih dari sekedar transaksi utang yang harus
dibayar, sebuah tawaran menarik sedangkan hakikatnya mencekik.
Utang individual yang secara tidak langsung membantu
percepatan penggelembungan moneter tersebut menghasilkan inflasi. Pada tahap
selanjutnya, inflasi yang merupakan hasil ketidak seimbangan antara
perkembangan moneter dan riil ini melahirkan kemiskinan.
Kasb sebagai Pemanfaatan SDA
Misi utama diturunkannya manusia ke bumi tidak lain untuk
menjadi khalifah. Memang sulit untuk mendefinisikan maksud dari istilah khalifah
karena maknanya yang sangat luas. Yang jelas, diantara maksud dari kalimat
tersebut bahwa manusia bertugas untuk menjaga keseimbangan di muka bumi. Baik itu
menjadi pempimpin yang adil, mengusahakan kemakmuran atau tidak membuat
kerusakan di bumi.
Dalam konteks membangun ekonomi ideal, istilah khalifah
lebih pas jika dimaknai dengan sebuah usaha untuk memakmurkan bumi. Dalam
bahasa yang lebih mudah, artinya memanfaatkan sumber daya yang sudah disediakan
sebaik mungkin. Ekonomi ideal adalah yang berdasarkan pembangunan pada tatanan
yang nyata, bukan sekedar fatamorgana atau bahkan fiktif. Hal itu didapatkan
dari optimalisasi sumber daya yang sudah disediakan, yaitu memproduksi barang
atau penyediaan jasa. Artinya, tidak ada jalan selain bergerak, berbuat,
berusaha dan bekerja.
Muhammad bin Hasan as-Syaibani, salah satu guru Imam Syafii
menjelaskan konsep bekerja tersebut dalam sebuah buku yang ia karang dengan judul al-Kasb. Dalam kitab tersebut,
Syaibani mendifinisikan Kasb sebagai sebuah usaha untuk mendapatkan
harta dengan berbagai macam cara yang halal. Pengertian kasb yang
dipaparkan Syaibani itu lebih dikenal sebagai istilah produksi dalam lingkup
ekonomi mikro. Inilah yang menjadikan karya Syaibani menjadi rujukan para
ekonom sekarang. Bahkan, Adiwarman Azwar Karim sampai mengutip pernyataan Dr.
Janidal bahwa Syaibani merupakan salah seorang perintis ilmu ekonomi dalam
Islam. Aktivitas produksi inilah yang kemudian merupakan media bagi manusia
sebagai khalifah untuk memanfaatkan sumber daya yang ada.
Mengenai pemanfaatan sumber daya, sebagian orang merasa
pesimis karena pada suatu saat potensial bumi akan habis disebabkan aktivitas
produksi tersebut. Kekhawatiran seperti ini memang beralasan, tapi tidak bisa
dibenarkan. Sumber daya yang ada seharusnya bukan sekedar dieksploitasi atau
digunakan semena-mena dengan tujuan mengeruk keuntungan dalam tempo yang paling
singkat. Ketika membincang tentang sumber daya, seharusnya kita fokus pada
optimalisasi, bukan sekedar efisiensi.
Sikap eksploitasi yang tidak dibarengi optimalisasi
merupakan cerminan dari sikap materialis yang diboyong dari paham hedonis. Sikap
materialis biasanya condong untuk mendorong orang bersikap konsumtif. Jika
sikap itu sudah mendarah daging pada seseorang, maka dia akan sulit untuk
membedakan antara kebutuhan (needs) dengan keinginan (wants).
Watak seperti inilah yang pada akhirnya mengeksploitasi sumber daya bumi
sehingga boros dan tidak optimal.
Di dalam al-Quran surah Ibrahim ayat 32-33, Allah telah
menyebutkan bahwa bumi, langit dan segala yang ada di dalamnya diciptakan dan
ditundukkan untuk kemakmuran manusia. Konsep penciptaan tersebutlah yang harus
kita barengi dengan optimalisasi agar tercipta kemakmuran.
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقاً
لَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَسَخَّرَ
لَكُمُ الْأَنْهَارَ (32) وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ
وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
32.
Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air
hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai
buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu
supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia Telah
menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.
33.
Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus
menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menundukkan bagimu malam dan siang.
Pada akhirnya, aktor utama sebagai penyelaras antara sumber
daya yang ada dengan aktivitas produksi serta distribusi tidak lain adalah individual
masing-masing. Aktivitas produksi yang menjadi tonggak utama perputaran roda
ekonomi harus benar-benar dijaga keseimbangannya. Distribusi yang baik juga
harus dijaga agar tercipta kesejahteraan bersama. Jika saja perputaran ekonomi
riil tidak bisa mengimbangi pergerakan moneter yang begitu deras, ditambah lagi
dengan tidak adanya keadilan dalam distribusi, maka problem kesejahteraan
manusia tidak akan pernah terselesaikan. Surplus uang yang ada justru
menimbulkan inflasi sehingga berdampak –untuk kesekian kalinya– pada penambahan
pengangguran yang merupakan akar masalah dari kemiskinan. Perputaran uang yang
stagnan di tangan orang-orang minoritas juga tidak akan pernah mengentas rakyat
miskin dari kondisinya. Wallahua’lam.
No comments:
Post a Comment