Ramai sekali kondisi
Mesir akhir-akhir ini, tepatnya setelah presiden terpilih pertama Negara Mesir
diturunkan. Perpecahan besar terjadi di tubuh warga Mesir. Kerusuhan yang pada
awalnya hanya berada pada ranah politik semakin menjalar ke mana-mana, tidak
terkendali. Tidak terkecuali, sektor pendidikan harus terseret dalam kubangan
konflik ini. Perkaranya semakin memuncak mendekati hari-hari ujian. Aksi demo
“damai” dilancarkan untuk mengundurkan ujian. Dari informasi yang saya dapat,
salah satu tuntutan mereka adalah agar kawan-kawan mereka yang diciduk dalam
aksi demo “damai” bisa kembali ke bangku perkuliahan untuk bersama-sama
menjalani ujian.
Kembali mereka
melanjutkan aksi demo “damai” selanjutnya. Namun, karena aksi demo dilakukan
dengan cara yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, maka lagi-lagi harus ada
korban.
Sama saja keadaannya
dengan masa-masa jauh sebelum ujian. Cara demonya sama, teriakan-teriakannya
sama, pihak pengaman juga masih sama, jatuhnya korban juga sama-sama tidak bisa
dihindari. Selain itu, cara berpikir yang menjadikan para korban sebagai ujung
tombak sekaligus tameng terkuat juga masih sama.
Seketika saya teringat
ketika Indonesia mengumumkan evakuasi kepada para warganya yang berada di Mesir
2011 kemarin. Memang suasana sangat genting. Mobil berlapis baja dengan roda
besinya berpatroli di setiap jengkal jalan raya. Seakan siap menghancurledakkan
gerombolan orang yang mencurigakan. Tapi itu tidak berlangsung lama, hanya sekitar
lima hari, atau katakan saja seminggu.
Memang dalam rentan
waktu tersebut kejahatan semakin merajalela. Perampokan terang-terangan,
penodongan dengan senjata tajam, bahkan dicurigai oleh orang-orang berbaju
loreng dengan mengacungkan moncong senjatanya ke beberapa warga Indonesia
menjadi pembicaraan harian.
Semuanya dimanfaatkan
oleh orang-orang yang entah simpati, khawatir atau malah sedang berniat
memuluskan perpulangannya ke tanah air yang sudah lama tertunda. Persis dengan
para pendemo yang seakan mendapat kekuatan berlipat ketika melihat kawan
seperjuangannya menjadi korban. Memang suasana 25 Januari 2011 itu mencekam,
tapi sekali lagi, hal tersebut tidak berlangsung lama. Saya sendiri dan
beberapa kawan malah cengengas-cengenges asik melihat kemelut yang
sedang terjadi. Tentunya setelah beberapa hari tegang.
Memang jika nanti ada
saksi mata yang membaca tulisan ini, apalagi orang-orang yang terjun ke
lapangan langsung, akan terpancing emosinya untuk membuat klarifikasi keadaan
yang sebenarnya. Saya bisa saja memaparkan beberapa argumen tambahan di sini,
tapi akan boros. Membuat tulisan semakin panjang.
Kembali ke para
pendemo. Sebenarnya kesamaan antara kepentingan warga yang akan dievakuasi dan
pendemo itu tidak mutlak. Hanya di beberapa bagian saja. Para pendemo ini
memang sengaja maju, mengungkapan tuntutan-tuntutan serta mengekspresikan
kekesalan mereka dengan aksi unjuk rasa. Ketika jatuh korban, baru mereka
jadikan salah satu legitimasi untuk terus menggelar aksi unjuk rasa itu.
Tentunya beda dengan peristiwa evakuasi. WNI di Mesir sudah berusaha menjauhi
konflik, hanya saja memang naas, serangkaian peristiwa buruk yang menimpa
mereka tidak bisa dielakkan.
Bagaimanapun juga,
kedua belah pihak sama-sama mengekspos para korban tersebut. Di satu sisi
mereka sedih, tapi di satu sisi mereka lebih bersemangat –jika tidak bisa
dikatakan bahagia. Apakah mereka itu simpatisan para korban, atau penjunjung
kepentingan? Ah, entahlah. Yang jelas korban-korban tersebut seakan dihalalkan
untuk menjadi pijakan agar bisa melesat menggapi tujuan.
No comments:
Post a Comment