Pembicaraan seputar efek zakat dalam
perkonomian memang begitu panjang. Hal itu karena sifat dasar dari zakat yang
berbeda ketimbang jenis transaksi tabarru’ (donasi) lainnya. Baik itu
wakaf, hibah, hadiah, sedekah maupun yang lain, tidak mempunyai sifat khusus
yang ada pada zakat, yaitu ilzam (mengikat).
Sebenarnya, dalam konteks konvensional, kita
mengenal pajak sebagai jenis kewajiban atas harta pada kepemilikan pribadi. Tapi,
bentuk pajak ini sebagaimana kita ketahui hanya bersifat mengikat secara hukum
undang-undang. Kalau toh kita tidak membayar, kemudian tidak ada tagihan
atas nama kita secara tertulis, artinya kita tidak terkena sanksi atasnya. Lain
halnya dengan zakat, ia bersifat mengikat secara agama (diyanatan). Artinya,
tanggung jawab kita tidak berhenti pada dimensi yang fana ini, namun mencakup
lebih luas lagi, yaitu sebuah pertanggungjawaban kepadaNya di akhirat nanti.
Dalam konteks ekonomi makro, sifat mengikat yang
ada pada zakat memberi pengaruh positif pada tatanan konsep public goods
serta private goods. Di sini, yang penulis maksud dengan public atau
private goods adalah uang, bukan barang-barang lain.
Permasalahan bermula dari sudut pandang
manusia terhadap uang. Apakah uang merupakan private goods, ataukah public
goods? Beberapa aliran ekonomi konvensional memandang uang adalah private
goods sehingga berimbas pada penumpukan harta kekayaan pribadi. Adapun dalam
Islam, uang tidak dipandang sebagai private goods, melainkan public
goods.
Memang dari konsep yang ditawarkan Islam bahwa
uang adalah public goods akan menimbulkan tanda tanya. Bagaimana mungkin
uang dianggap sebagai public goods? Jika uang dianggap sebagai public
goods, maka uang tak ubahnya dengan udara yang kita hirup sehari-hari yang
dimiliki bersama tanpa usaha apapun. Hal itu sangat berbeda dengan fakta yang
ada di hadapan kita bahwa setiap orang mempunyai hak penuh atas kekayaan yang
ia miliki.
Pada pemahaman di atas, ada sedikit poin yang
mungkin harus dijelaskan lebih mendalam lagi. Islam memang mengakui hak penuh
atas setiap kepemilikan pribadi. Hak tersebut biasanya kita kenal dengan
istilah al-milikyah at-tâmmah. Namun,
yang dimaksud dengan uang sebagai public goods adalah hak masyarakat
umum untuk sama-sama merasakan manfaatnya tanpa harus memiliki benda tersebut.
Adapun kepemilikan pribadi uang tersebut tetap diakui oleh Islam karena
merekalah yang berhak atas harta benda masing-masing. Maka dari itu, untuk
mengimbangi konsep money is public goods tadi, di dalam Islam dikenal
juga konsep capital (modal) is private goods.
Pemahaman lebih lanjut dari capital is
private goods dan money is public goods adalah seperti ini. Ketika
uang (public goods) itu mengalir, maka manfaat dari uang itu bisa
diserap dan dimiliki oleh orang banyak. Kemudian, ketika uang yang mengalir itu
mengendap pada individu, maka uang itu menjadi miliknya (private goods).
Kepemilikan ini kemudian bisa disimpan begitu saja atau diinvestasikan.
Lalu, sebagaimana prinsip Islam yang selalu mengedepankan
kepentingan publik ketimbang individu, maka Islam menghimbau umatnya agar public
goods –berupa manfaat dari uang– selalu tersedia dalam jumlah maksimal. Pelaksanaan
himbauan tersebut tidak bisa dicapai kecuali dengan mengoptimalkan modal yang
merupakan private goods agar diolah menjadi faktor-faktor produksi
sehingga terasa manfaatnya. Di titik ini nampaknya terlihat salah satu hikmah
dari pelarangan praktek penimbunan (ihtikar), yaitu agar
keberadaan private goods selalu dioptimalkan. JIka kita sepakat bahwa
air yang terlalu lama mengendap akan menjadi keruh, maka private goods ketika
diibaratkan seperti air juga sama. Modal yang terlalu lama disimpan pada
kantong pribadi itu membuatnya menjadi keruh.
Kembali ke permasalahan zakat. Zakat berperan
penting untuk menstabilkan uang yang sudah mengendap menjadi kepemilikan
pribadi. Dengan adanya zakat, maka prinsip Islam yang tidak melarang
kepemilikan pribadi tercapai. Begitu pula dengan prinsip Islam yang menginginkan
agar pengoptimalan sumber daya potensial –yang termasuk di dalamnya modal
sebagai private goods– juga terpenuhi.
Fungsi zakat sebaga stabilisator ini terwujud
karena pendistribusiannya yang ditekankan pada poin-poin paling esensial dalam
unsur bermasyarakat. Islam telah mengatur pendistribusian zakat agar ditujukan
kepada 8 golongan khusus yang telah dirangkum di dalam al-Quran surah at-Taubah
ayat 60. Golongan tersebut adalah:
fakir, miskin, amil zakat, muallaf, hamba sahaya, orang yang memiliki hutang,
pejuang di jalan Allah dan para musafir (pelajar perantauan).
Dari delapan golongan tersebut, kita bisa
menarik benang merah bahwa dengan adanya zakat, maka akan mampu menstabilkan private
goods agar manfaatnya tetap bisa diserap oleh masyarakat luas. Hanya saja,
manfaat yang diperoleh masyarakat luas dari zakat ini berbeda dengan public
goods yang hanya dirasakan manfaatnya saja. Manfaat zakat dirasakan bersamaan
dengan wujud benda itu sendiri. Ini sama sekali bukan berarti Islam mengambil
hak pribadi –yang diakui oleh Islam– secara paksa. Islam hanya menyalurkan
kelebihan uang tersebut agar terus mengalir hingga tidak menjadi seperti air keruh yang terlalu
lama mengendap.
Hal itu bisa dilihat dari asas awal pernyataan
bahwa private goods adalah uang –sebagai public goods– yang telah
mengendap pada kepemilikan pribadi. Artinya, jika uang itu diinvestasikan atau
disalurkan sebagai bantuan, maka dia masih menjadi public goods. Untuk
itu, Islam tidak mewajibkan zakat atasnya. Zakat adalah optimalisasi dari capital
yang mengendap dan tidak –atau belum– digunakan. Ini adalah poin pertama bahwa
zakat tidak bertentangan dengan asas Islam yang mengakui kepemilikan pribadi.
Kemudian yang ke dua adalah optimalisasi private
goods yang juga termasuk dalam sumber daya potensial. Hal ini tentunya akan
bersinggungan ketat dengan teori kasb milik asy-Syaibani. Teori kasb
pada hakikatnya mempunyai esensi sebagai dorongan kepada seluruh manusia bahwa
rizki hanya bisa didapat dengan bekerja. Bahwasanya sebagaimana seseorang tidak
memikul dosa orang lain, maka ia juga tidak mendapat rizki orang lain,
seseorang hanya mendapatkan rizki dengan pekerjaan riil. Selain hal tersebut,
kasb juga mempunyai esensi lain, yaitu optimalisasi sumber daya alam.
Optimalisasi private goods ini nampak
jelas pada beberapa golongan yang mendapatkan alokasi dana dari zakat. Di sini
penulis hanya menyebutkan satu di antaranya, yaitu golongan orang yang
berhutang. Sudah maklum bahwa sekian banyak pengembangan usaha selalu
berbanding lurus dengan modal yang ia punya. Memang, di era modern ini modal
pengembangan usaha juga bisa didapatkan dari jasa peminjaman (hutang) yang
disediakan oleh berbagai lembaga keuangan. Namun, peminjaman tersebut tentu ada
batasnya. Lembaga keuangan manapun pasti mempunyai regulasi khusus dalam
mengatur jumlah pinjaman yang akan ia keluarkan. Artinya, jika modal sudah
tidak ada, kemudian peminjaman juga sudah mecapai batasnya, maka kegiatan
produksi orang itu akan stagnan dan tidak bisa berkembang. Untung-untung hanya
stagnan, beberapa malah pailit dan gulung tikar.
Di sinilah zakat mengambil posisi yang urgen.
Zakat mengobati kelesuan produksi dari usaha seorang wiraswasta agar terus
maju. Kelesuan produksi dari satu atau dua orang tidak menjadi masalah, namun
jika mencapai ratusan maka efeknya akan dirasakan secara masif juga. Tentunya
bukan sekedar masalah bertambahnya jumlah rakyat miskin, namun karena
satu-satunya cara pemanfaatan sumber daya alam yang luas ini adalah dengan
aktivitas produksi. Jika produksi macet, maka pemanfaatan sumber daya alam akan
macet juga. Muara akhirnya adalah tidak tercipta i’mâr al-ardh di muka
bumi.
No comments:
Post a Comment