“Bahwa sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal darah; jika ia baik keadaannya, maka baik pulalah seluruh tubuh, dan apabila buruk keadaannya, maka buruk pulalah seluruh tubuh. Segumpal darah tersebut adalah hati.” (HR. Bukhari)
Atlet dalam cabang olahraga apapun pasti dituntut mempunyai fisik kuat. Dalam sepak bola misalnya, para pemain yang sudah berumur biasanya lebih sering ditarik ke bangku cadangan setelah beberapa menit merumput. Mereka yang tidak mempunyai fisik kuat cenderung tidak focus. Tendangan mereka akan lebih sering melebar ke penonton ketimbang menuju kiper. Passing mereka malah menuju wasit.
Mereka, yang fisiknya sudah melemah, bukan tidak mahir menendang. Masalah mendasar mereka sebenarnya adalah hubungan erat antara otak dan fisik. Meman sulit bagi untuk berpikir jernih dalam kondisi fisik yang kacau.
Otak dan fisik hanyalah dua dari tiga unsur utama manusia–setidaknya dalam pandangan saya. Adapun unsur ketiganya adalah hati.
Ketiga hal tersebut memang akan selalu bersinergi, tapi tidak dalam hal keterpengaruhan. Kalau hati anda sedang gelisah, itu merupakan sinyal kuat bahwa kinerja otak dan fisik tidak akan optimal. Hati mempunyai pengaruh dominan dalam keduanya. Sebalikanya, otak dan fisik tidak akan pernah mengganggu kinerja hati.
Bagi anda memang hal ini biasa, tapi jujur, saya baru mengenal konsep di atas. Maka dari itu, ketika kebanyakan rombongan temus tidak tidur selama 24 jam lebih –kecuali mungkin mengambil kesempatan jeda waktu dalam perjalanan yang sangat amat singkat, saya rasa akan mustahil untuk menjadikan suasana hati kondusif hingga mencapai kekhusyukan maksimal. Ditambah, selama perjalanan Jeddah-Makkah kebanyakan rombongan tertidur beberapa saat sebelum tiba di areal Ka’bah. Bayangkan saja, dalam keadaan baru saja membuka mata setelah terlelap, dengan kondisi kepala sangat berat –akibat kurang istirahat– tiba-tiba beberapa langkah di depan adalah bangunan termegah di dunia, Ka’bah.
Namun keadaan benar-benar menakjubkan. Kawan-kawan temus sangat menikmati kunjungan ke Baitullah, tidak ada gurat letih atau kantung mata yang tampak di muka mereka. Yang saya lihat hanyalah bulir jernih air mata, air muka mereka memancarkan kerinduan, mulut mereka sibuk basah dengan zikir.
Bagi saya, ini suatu hal luar biasa. Saya tahu bagaimana mereka mengeluh lelah mengurus imigrasi dan bagasi dari pukul 00.30 hingga 04.30. Saya menyadari keletihan kawan-kawan saat singgah di kantor TUH Jeddah. Saya melihat bagaimana mereka harus menyerahkan diri pada tidur yang melelapkan ketika perjalanan Jeddah-Makkah, meninggalkan talbiahyang seyogyanya mereka lafalkan selama perjalanan.
Keletihan-keletihan mereka di atas, semua sirna bersamaan ketika pandangan mata jatuh pada bangunan yang merupakan puncak kerinduan.
Maka, kebugaran fisik bergantung banyak pada kondisi hati –yang merupakan refleksi jiwa. Dari sini kita akan semakin paham bahwa dokter akan selalu mengatakan bagi kolega para pasien, “tergantung semangat (kondisi kejiwaan) pasien itu sendiri.
Kekhusyukan tidak akan pudar, tidak akan sirna dengan kondisi fisik kita. Itu jika hati benar-benar sudah berada pada puncak kerinduan kepadaNya. Jadi, yang saya pahami, keluhan-keluhan atas kondisi fisik hanyalah dalih belaka. Ushikum wa iyyaya.
No comments:
Post a Comment