Pendahuluan
Perkara
tahkim dan shiffein merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi umat
muslim. Sebuah lembaran hitam yang termaktub di sejarah daulah keislaman.
Terjadi semasa kepemimpinan Amirul Mukimini Ali ra yang sebenarnya
merupakan kelanjutan dari fitnah pertama yang juga sudah diketahui umat ini
ulamanya maupun awanya yaitu pembunuhan Khalifah Utsman ra. Pengepungan
terhadap beliau yang berujung pembunuhan tanpa diketahui siapa pembunuhnya
sehingga menimbulkan kekacauan pada tubuh Islam saat itu.
Dengan
dalang yang sama fitnah itu kembali merasuki tubuh Islam semasa kekhalifahan
Ali ra. Perselisihan pendapat antar para sahabat yang sebenarnya adalah hasutan
para “provokator” yang pada masa itu dikenal dengan nama Sabaiyah membawa
dampak yang besar pada keyakinan pemeluk agama ini. Tidak bisa dipungkiri jika
hal itu berimplikasi lebih lanjut pada sebuah kejadian yang sering kita sebut
“Perang” Jamal. Dengan didalangi para Sabaiyah, para sahabat yang sebenarnya
menginginkan perdamaian itu akhirnya harus terjerumus pada peperangan yang sama
sekali tidak mereka rencanakan sebelumnya.
SABAIYAH
A.
Seputar Abdullah bin
Saba’ Beserta Pengikutnya
Adalah Abdullah
bin Saba’ seorang Yahudi Shan’a dengan julukan ibnu Sauda’ yang
berpura-pura memeluk agama Islam. Membawa semboyan al amru bil ma’ruf wan
nahyu ‘anil munkar dia menyebarkan sebuah paham yang sangat terkenal dalam
perkataannya “terdapat seribu nabi, dan tiap nabi mempunyai wasiatnya, dan Ali
adalah wasiat nabi Muhammad” lalu dia berkata “Muhammad adalah penutup para
nabi dan Ali adalah penutup para wasiat”*. Tidak berhenti sampai di situ.
Abdullah bin Saba’ terus mendoktrin pengikutnya yang mayoritas adalah
orang-orang awam dengan pengetahuan agama yang sangat dangkal untuk mengagungkan Ali.
Pada tahap ekstrim
Abdullah bin Saba’ mengutarakan sebuah dogma yang jauh melenceng dari akidah
yang benar. Dia mengatakan bahwa Muhammad lebih berhak untuk “kembali” dari
pada Isa dengan menakwilkan sebuah ayat Al-Qur’an Surat Al-Qishash ayat 85 “innal
ladzii faradha ‘alaikal Qur’ana larooduka ilaa ma’aadin”. Berpijak dari
ayat tersebut dia berkata “betapa akan terkejutnya orang-orang yang menyatakan
bahwa Isa akan kembali dan mendustakan bahwa Muhammad kembali.
Salah seorang penganut
Sabaiyah yang bernama Muhammad bin Saib mengatakan “Sesungguhnya Ali belum
meninggal, dan dia akan kembali ke dunia sebelum Hari Akhir.” Dan ketika mereka
melihat awan mereka berkata “Amirul Mukminin ada di dalamnya.” Bahkan dari
beberapa penganut Sabaiyah ada yang menuhankan Ali. Maka Ali ra membakar
sebagian dari mereka dan mengasingkan sebagian yang lain. Dan Abdullah bin
Saba’ berada diantara orang-orang yang diasingkan.
Para penganut Sabaiyah
kebanyakan merupakan orang-orang awam yang tersebar di Mesir, Syam, Kufah,
Basroh. Penyebabnya bisa dirujuk kembali kepada masa dua khalifah pertama Abu
Bakar As-Shiddiq ra dan Umar bin Khottob. Kedua khalifah itu melarang para
shahabat khususnya ulama mereka untuk keluar dari Madinah. Hal itu dimaksudkan
untuk pemusatan hukum-hukum Islam pada waktu itu yang berada dalam tangan
majlis syuro. Maka sudah bisa ditebak jika target Sabaiyah adalah orang awam
dikarenakan kedangkalan pengetahuan agama mereka.
B.
Peran Mereka Dalam
Fitnah
Abdullah bin Saba’ beserta
pengikutnya sudah memulai pergerakannya sejak zaman kekhilfahan Utsman
sebagaimana yang telah disebutkan dalam biografi pendek di atas. Gerakan khas
mereka adalah dengan menjelek-jelekkan citra para pejabat negara di
tengah-tengah masyarakat sehingga mereka tidak lagi mempercayai para pemimpin
mereka. Beberapa berhasil mereka tumbangkan seperti Amru bin Ash yang pada
kekhilafahan Utsman menjabat sebagai gubernut Mesir. Tidak berhenti di situ
ternyata gubernur lain bernama Said bin Ash berhasil diturunkan dari jabatannya
sebagai gubernur Kufah.
Selanjutnya pergerakan mereka
bergeser ke Syam di mana Muawiyah memimpin. Mereka gagal untuk merusak
karismatik pemimpin wilayah ini di hadapan rakyatnya, tetapi berhasil membuat
sebuah maker lainnya yang berujung pada pembunuhan khalifah Utsman. Kegagalan
sabaiyah itu tidak begitu mengherankan karena Muawiyah merupakan gubernur
wilayah Syam sejak kehilfahan Umar dan diteruskan hingga pada kekhilafahan
Utsman. Lain dari pada itu di Syam tersebar banyak sahabat yang berdomisili di
sana sehingga rakyat Syam dengan mudah mendapat pemahaman yang jauh lebih dalam
mengenai Islam. Ketika Utsman masih hidup juga Muawiyah sudah mendapatkan
wasiat dari beliau tentang adanya kaum ini sehingga terus berjaga-jaga.
Pengepungan dan pembunuhan atas
khalifah Utsman yang didalangi Sabaiyah pada tahap selanjutnya menimbulkan
kekacauan dan perpecahan. Sabaiyah menelusup ke dalam barisan pasukan Ali yang
berprinsip tidak ingin menyegerakan qishash atas pembunuh Utsman. Selain
menjadikannya tameng dari perkara pembunuhan bisa dikatakan bahwa mereka juga
masih menyimpan dendam kepada Muawiyah yang kebetulan berseberangan pendapat
dengan Ali untuk memeranginya.
Perbedaan Ijtihad Ali dan Muawiyah atas Qishash
Pembunuh Utsman
Terbunuhnya
Utsman pada tahun 35 Hijriyah menimbulkan berbagai perselisihan. Dan terbukti
sudah sebuah hadis yang diucapkan oleh seorang yang laa yanthiqu ‘anil hawa
bahwa tidak terbuka pintu fitnah selama kekhilafahan Abu Bakar ra dan Umar bin
Khattab ra. Karena sepeninggal keduanya dan digantikan dengan seorang shahabat
yang Rasul berkata bahwa malaikatpun malu kepadanya, banyak perbedaan muncul di
tubuh umat Islam.
Selama kekhilafahan
Utsman berlangsung banyak hujatan, tuduhan, serta perkataan-perkataan tidak
bersandar pada kebenaran ditujukan padanya. Berpuncak pada pengepungan rumah
beliau hingga tragedi tragis pembunuhannya. Hal itu berdampak pada perpecahan
yang kisahnya memenuhi puluhan hingga ratusan buku sejarah dengan berbagai
pandangan yang diungkapkan dari masing-masing penulis. Tetapi sejarah-sejarah
tersebut jika dirujuk kembali dengan metode penelitian riwayat khabar yang
menjadi pondasi penulisan sejarah suatu buku maka akan didapatkan banyak
kesalahan di dalamnya yang termasuk adalah sikap sahabat terhadap pembunuhan
Utsman tersebut.
Ali ra beberapa saat
setelah tragedi pembunuhan Utsman segera dibaiat oleh beberapa sahabat. Dan
riwayat yang paling terkenal adalah yang menyatakan tentang pembai’atan Thalhah
dan Zubair atas Ali ra. Sesaat Ali menolak pembaiatan dan selanjutnya
mengajukan persyaratan agar pembaiatan tidak dilakukan kecuali di masjid.
Setelah pembaiatan tersebut Thalhah dan Zubair mendesak sang Amirul Mukminin
untuk melakukan qishash atas pembunuhan Utsman. Amirul Mukminin faham akan
keinginan dan maksud kedua sahabat tersebut, tetapi enggan untuk segera
melakukannya.
Ijtihad
Amirul Mukminin ini berbeda dengan beberapa sahabat lainnya khususnya Muawiyah
gubernur dari Syam pada masa kekhilafahan Umar dan Utsman. Ali enggan untuk
menyegerakan qishash dari pembunuhan Ali sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Katsir ”Wahai
saudaraku, bukannya saya tidak mengerti masalah itu, akan tetapi apa yang mampu
saya perbuat atas sebuah kaum yang menguasai kita akan tetapi kita tidak
menguasa mereka? Mereka berada di sekitar kalian, sesuka hati mereka, apakah
kalian melihat ada peluang untuk melakukan hal yang kalian inginkan?” Mereka
menjawab,”Tidak”. Ali mengatakan,”Tidak, demi Allah saya tidak melihat, kacuali
apa yang telah kalian lihat insyaallah.” Pernyataan yang dengan tegas
menyatakan bahwa sesungguhnya Ali juga hendak menegakkan had kepada sang
pembunuh. Hanya saja pada saat itu Ali tidak melihat suasana dan kondisi ummat
bisa memenuhi hal tersebut.
Ijtihad Muawiyah yang
bertentangan dan menegaskan untuk menyegerakan qishash pembunuh Utsman tidak
bisa juga dikatakan salah. Hanya saja ijtihad tersebut bertentangan dengan
ijtihad sang khalifah pada saat itu. Bermula pada hari pembunuhan Utsman yang
selanjutya beberapa sahabat mengirimkan ke Syam baju Utsman yang dikenakan
ketika terbunuh beserta jari Nailah istri Utsman yang terpotong ketika berusaha
membela Utsman. Seketika itu Muawiyah menggantungkan baju Utsman serta jari
istrinya di tiang masjid. Selanjutnya Muawiyah berdiri di atas mimbar dan
berkhutbah yang isinya tidak lain membakar semangat para penduduk Syam agar
menyegerakan qishash pembunuhan Utsman.
Muawiyah menolak
pembaiatan Ali hingga Ali membunuh pembunuh Utsman hal itu bukan berarti bahwa
Muawiyah tidak mengakui kekhilafahan Ali. Dalam hal ini Ibnu Hazm berkata “Dan
Muawiyah sama sekali tidak mengingkari atas keutamaan Ali dan hak dia atas
kekhilafahan. Tetapi ijtihadnya membuat dia memutuskan untuk mendahulukan
qishash atas pembunuh Utsman dari pada pembaiatan. Dan dia (Muawiyah) memandang
dirinya lebih berhak untuk menuntut darah pembunuh Utsman.”
Dalam masalah ini Ibnu
Taimiyah menyatakan di buku Majmu’ul Fatawa “Dan Muawiyah tidak mengaku
sebagai khalifah sebagaimana belum membaiat Ali sampai saat dia memerang Ali
sebagaimana juga dia tidak memerangi Ali dikarenakan dia seorang Khalifah dan
bukan pula karena dia berhak atas kekhilafahan. Dan muawiyah sendiri mengakui
hal itu kepada siapa saja yang menanyakannya. Muawiyah beserta pengikutnya juga
tidak berniat untuk memulai peperangan antara dia dan Ali, dan mereka tidak melakukannya
pula”
Dengan berlandaskan ayat وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا
لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا muawiyah bersikeras untuk menyegerakan
pembunuhan pembunuh Utsman dan memproklamirkan dirinya sebagai waliyyud dam.
PERANG
SHIFFEIN
A.
Keluarnya
Ali dan Muawiyah menuju Shiffein
Sebagaimana telah disebutkan
bahwa dasar perbedaan yang ada antara Muawiyah dan Ali berada pada masalah
qishash pembunuhan Utsman. Dan daripada itu Muawiyah tidak mau untuk membaiat
Ali hingga Ali membunuh pembunuh Utsman atau menyerahkan kepada Muawiyah. Dari
konteks tersebut bisa dipahamin bahwa Muawiyah tidak mau tunduk dan taat kepada
sang imam. Maka atas keengganan Muawiyah terhadap pembaiatan Ali dan tidak
dilaksanakannya perintah-perintah sang Amirul Mukminin di wilayah Syam maka di
mata Ali Muawiyah adalah seorang yang keluar dari ketaatan atas suatu khilafah.
Amirul Mukminin Ali ra adalah
seorang yang telah dibaiat oleh para Muhajirin dan Anshar. Dengan begitu lazim
bagi seantero muslim di berbagai belahan bumi untuk turut membaiatnya. Sudah
mafhum jika orang yang tidak mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan oleh
seorang khalifah untuk diluruskan, begitu pula hubungan antara Muawiyah dan
Ali. Ali memutuskan untuk menundukkan mereka dan mengembalikan mereka pada
jama’ah walau harus dengan kekuatan. Dalam perkara ini Ibnu Hazm berkata dalam
bukunya al-fashl fil milal wan nihal bahwa Ali memerangi Muawiyah
dikarenakan keenggananya untuk melaksanakan perintahnya di wilayah Syam
sedangkan Ali adalah imam yang wajib ditaati.
6 bulan setelah Ali berdiam di Kuffah (pada riwayat
lain disebutkan 3 bulan dan ada yang menyebutkan 2 bulan) Ali menyiapkan bala
tentaranya yang jumlahnya –para ulama bertentangan dalam hal ini- sekitar
50.000 pasukan (dari buku tarikh khalifah dengan sanad hasan). Ali
memasang beberapa panglima di pasukannya itu. Diantaranya adalah Ibnu Abbas,
‘Umar bin Abi Salmah, Abu Laila bin Amru bin Jarah, Qasm bin Abbas. Dalam suatu
riwayat disebutkan bahwa sesungguhnya Ali sama sekali tidak bermaksud keluar
menuju Syam kecuali setelah adanya desakan dari kaum Sabaiyah.
Mendengar
berita tentang keluarnya Ali dan pergerakan pasukannya di sekitar Shiffein
(wilayah antara Kuffah dan Syam) seketika Muawiyah langsung mengumpulkan Ahli
Syura dari para pemimpin penduduk Syam. Selanjutnya Abdul Hamid dalam bukunya Al-Ishabah
meriwayatkan bahwa Muawiyah berkata kepada orang yang bermusyawarah atasnya
“Sesungguhnya Ali telah datang kepadamu dengan jumlah yang besar dari penduduk
Iraq.” Berkatalah Dzul Kila’ Al Hamiri “engkaulah yang menggagas dan kami yang
akan melaksnakan.”
Para
penduduk Syam pada waktu itu sudah membaiat Muawiyah untuk menuntut darah
pembunuh Utsman sebagaiman telah membaiatnya untuk berperang. Maka ‘Amru bin
Ash menyiapkan pasukan seraya mengobarkan semangat para penduduk Syam itu
dengan perkataan yang menyinggung permasalah mauqi’atul Jamal. Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah jumlah pasukan Syam yang mengikuti
rombongan menuju Shiffein. Dan diantara riwayat yang paling mendekati benar
adalah yang menyatakan bahwa jumlah mereka pada saat itu 60.000 pasukan.
B.
Usaha
Perdamaian Antara Kedua Belah Pihak
Peperangan
telah memasuki Asyhurul Hurum. Kedua belah pihak menghentikan peperangan
dan berusaha untuk mengadakan perdamaian. Sebelum itu peperangan yang terjadi
antara mereka berdua hanyalah peperangan antara beberapa batalion-batalion
kecil yang dikirim oleh kedua belah pihak. Maka pada bulan-bulan ini kedua
belah pihak hanya saling berkirim surat dan utusan mengharapkan atas suatu
kesepakatan yang dapat menjaga darah para muslimin dari pertumpahan.
Diriwiyatkan
bahwa yang memulai hal ini adalah Ali. Ali mengutus beberapa utusannya yang
bernama Basyir bin ‘Amru, Said bin Qaish, Syabt bin Rab’I Attamimi kepada
Muawiyah. Ketiga orang ini mengajak Muawiyah agar mau masuk dalam Jama’ah serta
mau membaiat Ali. Tetapi tetap saja Mu’awiyah menolak dengan alasan yang sama -tidak
membaiat Ali hingga mau menyegerakan qishash pembunuh Utsman atau
menyerahkannya pada Muawiyah.
Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu
Darda’ dan Abu Umamah berusaha mendamaikan antara kedua belah pihak tetapi
tidak berhasil. Keduanya kemudian meninggalkan perkara ini dan tidak mau andil
sedikitpun akan hal ini. Sebagaimana yang dilakukan Masruq bin Ajda’ setelah
memberikan ceramah dan pergi meningglkan perkara ini. Dinukil dari Bidayah
wan Nihayah bahwa Abu Muslim Al Khaulani beserta beberapa orang mendatangi
Muawiyah dengan mengatakan,”Apakah engkau melawan Ali ataukah engkau juga
sepertinya?” Muawiyah menjawab, ”Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar
mengatahui kalau ia (Ali) lebih baik dariku, lebih utama dan lebih berhak dalam
masalah ini (kekhalifahan) daripada aku. Akan tetapi bukanlah kalian mengetahui
bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terdhalimi, sedangkan saya adalah
sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepadanya, agar ia menyerahkan
pembunuhnya, maka saya menyerahkan persoalan ini kepadanya.”
Kesimpulan yang didapatkan bahwasanya kedua belah
pihak tidak terjadi peperangan sama sekali. Tetapi para Sabaiyah selalu
menginginkan adanya konflik di kedua belah pihak.
C. Pecahnya Peperangan
Setelah berbagai usaha damai yang dilakukan kedua
belah pihak dan berbagai perang kecil yang mereka lewati tibalah hari pecahnya
peperangan. Dimulai hari Selasa dimana kedua belah pihak mengumunkan bahwa akan
terjadi perang besar pada hari esok Rabu. Kedua bala tentara menyiapkan
persiapan masing-masing
Rabu dan Kamis telah terlewati. Masuklah kedua belah
pasukan pada suatu malam yang dikenal dengan lailatul harir (malam yang
mencekam) dimana peperangan memasuki puncaknya. Peperangan malam ini berbeda
dengan sebelumnya yang diteruskan hingga keesokan Jum’atnya. Kedua belah
pasukan telah kehabisan panah dan senjata lain yang bisa diandalkan. Yang
terjadi selanjutnya hanyalah baku hantam dengan tangan kosong.
PENGANGKATAN MUSHAF
Di saat gentingnya peperangan salah seorang dari
pihak Ali menyeru “Jika kita besok baru berhenti (bertempur) maka Arab akan sirna,
dan hilangnya kehormatan.” Ketika mendengar tentang seruan itu Muawiyah pun
berkata ”Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi
akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar
para wanita dan ketururnan Iraq.” Kemudian berkata kepada para sahabanya
“Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak kalian.” Sebuah perkataan yang jauh dari
pengaruh Amru bin ‘Ash. Tetapi murni keinginan kedua belah pihak untuk
menghentikan peperangan.
Sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal
menyebutkan datang kepada pasukan Iraq seorang dari pasukan Syam menyeru
“Diantara kami dan kalian adalah Kitabullah!” Kemudian Ali menjawab ”Iya,
diantara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah mendahulukan hal
itu.”
Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi sebelumnya,
para pengikut Abdullah bin Saba’ enggan menerima usulan untuk berdamai, mereka
ingin agar Khalifah Ali meneruskan pertempuran. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam
Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan
pedang di atas pundak mereka,”Wahai Amir Al Mukminin, tidakkah sebaiknya kita
menyongsong mereka, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka.”
Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah
diri kalian! Kami telah bersama Rasulullah (SAW) saat peristiwa Hudaibiyah.
Kalau sendainya kami berpendapat akan berperang, maka kami perangi (tapi
kenyataannya mereka tidak berperang)”
Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai
dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada Rasulullah (SAW). Ali
bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath
(hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun
berakhir.
PERISTIWA
TAHKIM
A.
Riwayat Yang Salah Dalam Peristiwa Tahkim
Buku-buku sejarah yang kita baca dan pelajari saat ini sudah
dipenuhi oleh kebohongan yang dibuat-buat tentang kebenaran dari peristiwa
tahkim ini. Mulai dari awal mula tahkim yang diriwayatkan bahwa itu adalah
siasat para ahli Syam, penunjukan kedua utusan, hingga hasil akhir keputusan
tahkim. Sebagian besar riwayat yang kita dengar itu merujuk pada karangan Imam
Thabari dari beberapa riwayatnya yang didapat melalui jalur Abu Mukhnif.
Beberapa point penting dalam perkara tahkim yang diriwayatkan oleh
Abu Mukhnif adalah sebagai berikut:
I.
Riwayat
yang menyatakan bahwa Ali tidak mau menerima tahkim ketika pasukan Syam
mengangkat Mushaf dan pernyataanya bahwa hal itu hanyalah tipuan belaka.
II.
Para
Sabaiyah memaksa Ali menerima tahkim tersebut sedangkan di sisi lain Ali
berusaha meyakinkan mereka bahwasanya pengangkatan mushaf tidak lain adalah
tipuan Muawiyah dan para penduduk Syam.
III.
Pemilihan
Abu Musa Al Asy’ari oleh para sabaiyah sebagai wakil Ali ketika tahkim nanti.
Pengajuan itu dilakukan oleh Asy’asy –Ibnu Qais Al Kindi- dengan perkataan
bahwa mereka lebih menyetujui Abu Musa dibandingkan dengan yang lain. Padahal
Ali mengangkat Abu Musa sebagai wakil diplomatiknya dengan perkataan “Hukumlah
walau dengan memotong leherku” sebagai mana yang dinukil dari riwayat Ibnu Abi
Syaibah.
B.
Beberapa Kritikan Atas Riwayat Tahkim
Peristiwa Tahkim dan kejadian Shiffein merupaka salah point yang
paling dilirik dalam sejarah Islam. Tapi selalu sejarah tidak kesemuanya
menunjukkan peristiwa asli kepada para pembaca. Beberapa telah disisipi
kepentingan golongan atau sejenisnya. Diantara beberapa kritikan atas peristiwa
antara Ali dan Muawiyah ini adalah:
I.
Dari
awal pembahasan telah disebutkan sebab terjadinya peperangan di Shiffein bukan
dipicu oleh faktor-faktor kekuasaan melainkan bersumber pada permasalahan
qishash pembunuh Utsman. Maka tidak seharusnya tahkim itu membuat pernyataan
final tentang pencabutan Ali dari kedudukannya dan penetapan Muawiyah sebagai
khalifah.
Seharusnya
pembahasan yang dibicarakan oleh kedua utusan adalah perkara waktu pelaksnaan
qishash tersebut. Apakah dipercepat atau diakhirkan.
II.
Memang
benar jika saat peperangan Muawiyah mewakili suara mayoritas dari para penduduk
Syam. Tetapi sejak zaman kekhilfahan Ali Muawiyah sudah tidak lagi menjabat
sebagai Gubernur. Lain dari pada itu Muawiyah juga tidak menyatakan dirinya
sebagai khalifah sebagaimana telah dibahas di atas. Dia juga mengakui akan hak
Ali atas kekhilafahan dan berjanji akan membaiatnya setelah qishash.
Jika memang
Muawiyah tidak memiliki kedudukan apapun maka bagaimana bisa muncul sebuah
riwayat yang menuliskan hal seperti ini: … maka berkatalah Abu Musa kepada Amru
“beritahukan kepadaku apakah pendapatmu!” Amru berkata “Aku berpendapat agar
kita melepaskan kedua orang ini (dari jabatan mereka) dan selanjutnya kita
permusyawarahan akan kita serahkan pada diantara muslimin…..
Sebuah
riwayat yang juga diambil dari jalur Abu Mukhnif yang tidak lain merupakan
suatu kebohongan. Bagaimana bisa seorang yang tidak mempunyai kedudukan sama
sekali dinisbatkan sebagai khalifah di saat tahkim itu berlangsung.
III.
Yang
sering kita dengar tentang riwayat tahkim ini adalah kisah yang mengatakan
bahwa Abu Musa adalah seorang yang bodoh serta lalai dan telah diperdaya oleh
Amru bin Ash. Padahal jika ditelisik lebih jauh ke belakang hingga saat Rasul
masih hidup maka akan kita temukan bahwa Abu Musa menjabat sebagai gubernur di
berbagai daerah. Dan hal itu semenjak masa nubuwah hingga khalifah ke-4.
Maka bagaimana mungkin Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan bahkan Rasul sendiri
memilih orang yang bodoh dan lalai?
Amru bin Ash
sendiri adalah seorang pemimpin pasukan besar pada era kekhilafahan Umar yang
dikirimkan untuk membuka Mesir. Menundukkan pasukan Romawi di daerah tersebut
dan mengusir mereka hingga berhasil mendudukinya. Saat Rasul masih hidup pun
Amru mendapat kedudukan yang sangat tinggi di hadapannya. Amru menjadi hakim
atas suatu perkara yang diperselisihkan antara kedua pihak, padahal pada saat
itu Rasul ada di sampingnya. Dari Bukhari Amru berkata “Wahai Rasulullah apakah
aku memutuskan suatu perkara sedangkan engkau ada?” dan itu adalah awal mula
keluarnya hadis “"إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله
أجران, و إذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
Dua orang
–Abu Musa dan Amru bin Ash- yang merupakan orang kepercayaan mulai dari masa nubuwah
hingga khalifah ke empat ini tidak mungkin salah paham atas pokok
permasalahan yang menjadi sebab bertemunya mereka. Tidak mungkin jika mereka berpikir
bahwa permasalahan tahkim adalah tentang kekuasaan.
IV.
Jika
memang benar saat itu Muawiyah adalah seorang khalifah dan hasil akhir tahkim
adalah sebuah keputusan yang menyatakan bahwa Abu Musa melepaskan Ali dari
kedudukannya sebagai khalifah dan Amru menetapkan Muawiyah sebagai khalifah,
maka mengapa penduduk Syam membaiat Muawiyah setelah wafatnya Ali sebagaimana
yang diriwayatkan dari Bidayah Wan Nihayah? Apakah Muawiyah dibaiat dua
kali? Hal itu menunjukkan kedustaan yang ada pada riwayat tersebut.
Begitulah kurang lebih beberapa kritikan yang bisa diambil dari
sejarah yang selama ini kita dengar. Ada juga sebuah riwayat yang menyatakan
bahwa selama peperangan shiffein berlangsung kedua belah pihak saling melaknat
melalui qunut. Padahal suatu hari saat Ali mendengarkan di barisan pasukannya
ada dua orang yang menjelekkan Muawiyah serta melaknat para penduduk Syam
seketika itu Ali memanggil mereka berdua. Ali memperingatkan mereka agar tidak
melaknat melainkan mengatakan “Ya, Allah! Jagalah darah kami dan darah mereka,
perbaikilah diantara kita dan mereka….”
C.
Kebenaran dari Tahkim
Terbentuklah sudah sebuah kesepakatan untuk mengadakan tahkim
setelah peperangan Shiffein tersebut, yaitu agar masing-masing dari kedua belah
pihak mengajukan seorang utusan diplomatik dan agar kedua utusan tersebut
bersepakat pada suatu hal yang padanya maslahat muslimin. Selanjutnya kedua
belah pihak menulis perjanjian akan hal itu –diadakannya tahkim yang mana
diputuskan bahwa tempat diadakannya adalah di Dumatul Jandal pada bulan Ramdhan
tahun 37 H.
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa riwayat-riwayat yang
menyatakan hasil akhir tahkim adalah penetapan Muawiyah sebagai khalifah dan
pengunduran diri Ali dari kursi kekhilafahan merupakan sebuah kebohongan. Lalu
yang dipertanyakan adalah bagaimana riwayat asli dan hasil akhir tahkim
tersebut?
Disebutkan dari kitab Tsiqat Ibnu Hibban:
بسم الله الرحمن الرحيم هذا ما تقاضى عليه على بن أبى
طالب ومعاوية بن أبى سفيان قاضى على على أهل العراق ومن كان معه من شيعته من المؤمنين
وقاضى معاوية على أهل الشام ومن كان معه من شيعته من المسلمين أنا ننزل على حكم الله
وكتابه فما وجد الحكمان في كتاب الله فهما يتبعانه وما لم يجدا في كتاب الله فالسنة
العادلة تجمعهما وهما آمنان على أموالهما وأنفسهما وأهاليهما والأمة أننصار لهما على
الذي يقضيان عليه وعلى المؤمنين والمسلمين والطائفتان كلتاهما عليهما عهد الله وميثاقه
أن يفيا بما في هذه الصحيفة على أن بين المسلمين الأمن ووضع السلاح وعلى عبد الله بن
قيس وعمرو بن العاص عهد الله وميثاقه ليحكما بين الناس بما في هذه الصحيفة على أن الفريقين
جميعا يرجعان سنة فإذا انقضت السنة ان أحبا أن يردا ذلك ردا وإن أحبا زادا فيهما ما
شاء الله اللهم إنا نستنصرك على من ترك ما في هذه الصحيفة وشهد على الصحيفة فريق عشرة
أنفس فشهد من أصحاب على.
Dapat diambil sebuah kesimpulan dari kabar yang diriwayatkan oleh
Ibnu Hibban bahwa hasil akhir tahkim menyatakan Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Iraq dan
penduduknya, sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para
penduduknya, tidak ada penggunaan senjata, dan hal ini berlaku dalam satu
tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa menolaknya, atau
bisa memperpanjang. Selesailah pertentangan antara pihak Iraq dan Syam. Dan
yang tersisa selanjutnya adalah para Khawarij.
KEMUNCULAN KELOMPOK KHAWARIJ
Mereka adalah
segolongan orang yang menyerukan la hukma illa lillah ketika
pengangkatan mushaf pada saat perang Shiffein. Ali menjawab atas apa yang
mereka teriakkan dan mereka junjung tinggi sebagai semboyan tersebut bahwa hal
itu tidak lebih dari pada kalimatun haqq uriida bihil bathil. Jika
dirujuk kembali ke peristiwa Shiffein hingga Tragedi Jamal atau pembunuhan
Utsman maka akan kita temukan bahwa para Khawarij ini tidak lain adalah para
Sabaiyah.
Dalam suatu riwayat
lain menyebutkan bahwa Khawarij adalah segolongan orang yang dahulunya disebut
Qurra’. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan bahwa mereka
membaca qur’an tetapi bacaan mereka tidak melebihi dari tulang selangka mereka.
Dapat diartikan bahwa yang dimaksudkan bahwa kelompok ini sebenarnya tidak
mempunyai pengetahuan apapun tentang agama. Maka mereka tidak jauh beda dari
pengikut Abdullah bin Saba’ yang mayoritasnya adalah orang awam.
Jika dirunut ulang
maka tersimpulkan bahwa Khawarij yang dahulunya dikenal dengan sebutan Sabaiyah
atau Qurra’ adalah mereka yang menyebarkan fitnah untuk dapat membunuh Umar.
Setelah peristiwa itu mereka menelusup ke dalam pasukan Ali yang berpedoman
pengakhiran qishash pembunuh Utsman dan berseberangan dengan Muawiyah untuk
menimbulkan perselisihan diantara keduanya. Sebgaimana mereka juga telah
menimbulkan kekacauan sebelum itu dengan menulusup ke pasukan Ali dan Aisyah
pada Tragedi Jamal di malam kedua belah pihak hendak mengadakan kesepakatan
dalam qishash sehingga terjadi pertumpahan darah. Mereka adalah segolongan
orang yang menolak tahkim dan menginginkan perseteruan berlanjut sehingga kedua
belah pihak tidak lagi membahas tentang pembunuh Utsman.
KHAWARIJ DAN PEMBUNUHAN ALI
Selesai sudah
perpecahan antara penduduk Iraq dan Syam. Selanjutnya Ali memusatkan pikirannya
ke kaum Khawarij dan memerangi mereka. Pada hari tahkim disepakati keluarlah
dari barisan Ali sebanyak kurang lebih 12.000 pasukan yang menolak keputusan
Ali tersebut. Kemudian sepulang Ali dari Shiffein, Ali dan pasukannya melewati
suatu daerah yang bernama ‘Harura’ –ini adalah salah satu sebab penamaan
Khawarij dengan Haruriyah. Orang-orang ini membunuh golongan yang menyetujui
dengan perkara tahkim dengan anggapan bahwa mereka adalah kafir.
Selanjutnya
pada tahun 38 Hijriah Ali memerangi mereka di suatu daerah yang bernama
Nahrawan dan berhasil membunuh sebagian besar dari mereka. tetapi beberapa
kelompok diantara mereka berhasil lolos seperti Abdurrahman bin Muljam. Dengan
terbunuhnya para Khawarij ini maka mereka merencanakan sebuah makar yang akan
pengeksekusiannya akan dilakukan oleh tiga orang yang bernama Aburrahman bin
Muljam, Al Bark bin Abdullah Attamimi dan Amru bin Bakr Attamimi. Dari riwayat
yang dikeluarkan oleh Thabrani menyebutkan ketiga orang ini berkumpul bersama
yang lain dan mengadakan percakapan “apa yang kita perbuat dengan tetap hidup
setelah terbunuhnya saudara-saudara kita –di Nahrawan? Hidup ini sudah tidak
bernilai lagi sepeninggal mereka. Maka tidakkah kita mengorbankan diri kita
dengan mendatangi para pemimpin yang sesat lalu kita bunuh mereka hingga kita
cukupkan negara dan masyarakat (dari keburukan mereka)?”
Maka majulah ketiga
orang tersebut untuk mendatangi para “pemimpin yang sesat” (Ali, Muawiyah,
Amru) pada malam 17 Ramadhan tahun 40 H. Alasan mereka melakukan pembunuhan
kepada Ali yang mana akan dilaksanakan oleh Abdurrahman bin Muljam dikarenakan
kedok mereka sudah terseingkap secara sempurna dihadapan khalifah. Adapun alasan
rencana pembunuhan atas Muawiyah yang akan dieksekusi oleh Al Bark bin Abdullah
Attamimi tidak jauh beda dengan khalifah Ali. Muawiyah sudah mengetahui tentang
mereka sejak zaman kekhilafahan Utsman. Dan Amru bin Ash yang akan dieksekusi
oleh Amru bin Bakr Attamimi adalah karena beliau adalah musuh pertama kelompok
ini, di saat beliau berkuasa di Mesir, sehingga jika beliau tidak dibunuh, maka
keberadaan beliau juga berpotensi untuk mengancam gerakan kelompok ini.
Dari ketiga sasaran
tersebut yang berhasil dibunuh hanyalah Ali. Sedangkan yang bertugas membunuh
Muawiyah malah terbunuh lebih dahulu oleh beliau dengan pedangnya sendiri.
Adapun yang ditugaskan membunuh Amru bin Ash malah membunuh salah satu petugas
yang disangkanya sasarannya.
PENUTUP
Sejarah tidak lain
seperti hal-hal yang mengandung fakta, tidak heran jika terkadang sejarah
ditulis secara subyektif. Hal itu akan sangat karena berdampak pada
generasi-generasi selanjutnya yang pasti akan menelaah sejarah mereka sendiri.
Islam dalam meriwayatkan suatu berita memiliki metode yang sulit untuk
membuatnya terbantahkan. Metode tersebut adalah sanad riwayat, sebuah mata
rantai yang terus berkaitan dari ujung satu ke yang lain. Riwayat yang kita
dapatkan selama ini dalam masalah pertentangan antara Ali dan Muawiyah tidak
lain adalah riwayat buruk sanadnya. Beberapa riwayatnya didapat dari jalur yang
orangnya tidak dapat dipercaya. Dan para ulama Islam telah berhasil meluruskan
hal itu hingga didapatkan riwayat asli dari perkara ini.
Lain dari pada itu
para sahabat adalah orang yang termasuk dalam golongan al qurun al
mufaddhalah. Tidak masuk akal jika mereka saling berperang tanpa alasan
yang nyata dan sesuai syariat. Sebagaimana tidak benar mencitrakan seseorang
khususnya para sahabat tanpa ada penelitian dahulu pada riwayat dan sanad yang
ada. Wallahu a’lam bis shawab
Referensi:
1.
Amhazun, Muhammad, Tahqiq
Mawâqif as-Shahabah fi al-Fitnah (Kairo, Darussalam, 2007)
2.
Hassan, Muhammad, Al-Fitnah baina al-Shahabah (Kairo,
Maktabah Fayyadh, 2007)
3. Buku riwayat hadis lainnya
3. Buku riwayat hadis lainnya
Download tulisan ini dalam bentuk word di sini
No comments:
Post a Comment