Wednesday, December 30, 2015

Meluruskan Simpang Siur Peristiwa Tahkim

Pendahuluan
Perkara tahkim dan shiffein merupakan sesuatu yang sudah tidak asing lagi bagi umat muslim. Sebuah lembaran hitam yang termaktub di sejarah daulah keislaman. Terjadi semasa kepemimpinan Amirul Mukimini Ali ra yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari fitnah pertama yang juga sudah diketahui umat ini ulamanya maupun awanya yaitu pembunuhan Khalifah Utsman ra. Pengepungan terhadap beliau yang berujung pembunuhan tanpa diketahui siapa pembunuhnya sehingga menimbulkan kekacauan pada tubuh Islam saat itu.


Dengan dalang yang sama fitnah itu kembali merasuki tubuh Islam semasa kekhalifahan Ali ra. Perselisihan pendapat antar para sahabat yang sebenarnya adalah hasutan para “provokator” yang pada masa itu dikenal dengan nama Sabaiyah membawa dampak yang besar pada keyakinan pemeluk agama ini. Tidak bisa dipungkiri jika hal itu berimplikasi lebih lanjut pada sebuah kejadian yang sering kita sebut “Perang” Jamal. Dengan didalangi para Sabaiyah, para sahabat yang sebenarnya menginginkan perdamaian itu akhirnya harus terjerumus pada peperangan yang sama sekali tidak mereka rencanakan sebelumnya.

SABAIYAH
A.      Seputar Abdullah bin Saba’ Beserta Pengikutnya
                Adalah Abdullah bin Saba’ seorang Yahudi Shan’a dengan julukan ibnu Sauda’ yang berpura-pura memeluk agama Islam. Membawa semboyan al amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar dia menyebarkan sebuah paham yang sangat terkenal dalam perkataannya “terdapat seribu nabi, dan tiap nabi mempunyai wasiatnya, dan Ali adalah wasiat nabi Muhammad” lalu dia berkata “Muhammad adalah penutup para nabi dan Ali adalah penutup para wasiat”*. Tidak berhenti sampai di situ. Abdullah bin Saba’ terus mendoktrin pengikutnya yang mayoritas adalah orang-orang awam dengan pengetahuan agama yang sangat dangkal  untuk mengagungkan Ali.

                Pada tahap ekstrim Abdullah bin Saba’ mengutarakan sebuah dogma yang jauh melenceng dari akidah yang benar. Dia mengatakan bahwa Muhammad lebih berhak untuk “kembali” dari pada Isa dengan menakwilkan sebuah ayat Al-Qur’an Surat Al-Qishash ayat 85 “innal ladzii faradha ‘alaikal Qur’ana larooduka ilaa ma’aadin”. Berpijak dari ayat tersebut dia berkata “betapa akan terkejutnya orang-orang yang menyatakan bahwa Isa akan kembali dan mendustakan bahwa Muhammad kembali.

                Salah seorang penganut Sabaiyah yang bernama Muhammad bin Saib mengatakan “Sesungguhnya Ali belum meninggal, dan dia akan kembali ke dunia sebelum Hari Akhir.” Dan ketika mereka melihat awan mereka berkata “Amirul Mukminin ada di dalamnya.” Bahkan dari beberapa penganut Sabaiyah ada yang menuhankan Ali. Maka Ali ra membakar sebagian dari mereka dan mengasingkan sebagian yang lain. Dan Abdullah bin Saba’ berada diantara orang-orang yang diasingkan.

                Para penganut Sabaiyah kebanyakan merupakan orang-orang awam yang tersebar di Mesir, Syam, Kufah, Basroh. Penyebabnya bisa dirujuk kembali kepada masa dua khalifah pertama Abu Bakar As-Shiddiq ra dan Umar bin Khottob. Kedua khalifah itu melarang para shahabat khususnya ulama mereka untuk keluar dari Madinah. Hal itu dimaksudkan untuk pemusatan hukum-hukum Islam pada waktu itu yang berada dalam tangan majlis syuro. Maka sudah bisa ditebak jika target Sabaiyah adalah orang awam dikarenakan kedangkalan pengetahuan agama mereka.

B.      Peran Mereka Dalam Fitnah
Abdullah bin Saba’ beserta pengikutnya sudah memulai pergerakannya sejak zaman kekhilfahan Utsman sebagaimana yang telah disebutkan dalam biografi pendek di atas. Gerakan khas mereka adalah dengan menjelek-jelekkan citra para pejabat negara di tengah-tengah masyarakat sehingga mereka tidak lagi mempercayai para pemimpin mereka. Beberapa berhasil mereka tumbangkan seperti Amru bin Ash yang pada kekhilafahan Utsman menjabat sebagai gubernut Mesir. Tidak berhenti di situ ternyata gubernur lain bernama Said bin Ash berhasil diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Kufah.
Selanjutnya pergerakan mereka bergeser ke Syam di mana Muawiyah memimpin. Mereka gagal untuk merusak karismatik pemimpin wilayah ini di hadapan rakyatnya, tetapi berhasil membuat sebuah maker lainnya yang berujung pada pembunuhan khalifah Utsman. Kegagalan sabaiyah itu tidak begitu mengherankan karena Muawiyah merupakan gubernur wilayah Syam sejak kehilfahan Umar dan diteruskan hingga pada kekhilafahan Utsman. Lain dari pada itu di Syam tersebar banyak sahabat yang berdomisili di sana sehingga rakyat Syam dengan mudah mendapat pemahaman yang jauh lebih dalam mengenai Islam. Ketika Utsman masih hidup juga Muawiyah sudah mendapatkan wasiat dari beliau tentang adanya kaum ini sehingga terus berjaga-jaga.
Pengepungan dan pembunuhan atas khalifah Utsman yang didalangi Sabaiyah pada tahap selanjutnya menimbulkan kekacauan dan perpecahan. Sabaiyah menelusup ke dalam barisan pasukan Ali yang berprinsip tidak ingin menyegerakan qishash atas pembunuh Utsman. Selain menjadikannya tameng dari perkara pembunuhan bisa dikatakan bahwa mereka juga masih menyimpan dendam kepada Muawiyah yang kebetulan berseberangan pendapat dengan Ali untuk memeranginya.

Perbedaan Ijtihad Ali dan Muawiyah atas Qishash Pembunuh Utsman
                Terbunuhnya Utsman pada tahun 35 Hijriyah menimbulkan berbagai perselisihan. Dan terbukti sudah sebuah hadis yang diucapkan oleh seorang yang laa yanthiqu ‘anil hawa bahwa tidak terbuka pintu fitnah selama kekhilafahan Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra. Karena sepeninggal keduanya dan digantikan dengan seorang shahabat yang Rasul berkata bahwa malaikatpun malu kepadanya, banyak perbedaan muncul di tubuh umat Islam.

                Selama kekhilafahan Utsman berlangsung banyak hujatan, tuduhan, serta perkataan-perkataan tidak bersandar pada kebenaran ditujukan padanya. Berpuncak pada pengepungan rumah beliau hingga tragedi tragis pembunuhannya. Hal itu berdampak pada perpecahan yang kisahnya memenuhi puluhan hingga ratusan buku sejarah dengan berbagai pandangan yang diungkapkan dari masing-masing penulis. Tetapi sejarah-sejarah tersebut jika dirujuk kembali dengan metode penelitian riwayat khabar yang menjadi pondasi penulisan sejarah suatu buku maka akan didapatkan banyak kesalahan di dalamnya yang termasuk adalah sikap sahabat terhadap pembunuhan Utsman tersebut.

                Ali ra beberapa saat setelah tragedi pembunuhan Utsman segera dibaiat oleh beberapa sahabat. Dan riwayat yang paling terkenal adalah yang menyatakan tentang pembai’atan Thalhah dan Zubair atas Ali ra. Sesaat Ali menolak pembaiatan dan selanjutnya mengajukan persyaratan agar pembaiatan tidak dilakukan kecuali di masjid. Setelah pembaiatan tersebut Thalhah dan Zubair mendesak sang Amirul Mukminin untuk melakukan qishash atas pembunuhan Utsman. Amirul Mukminin faham akan keinginan dan maksud kedua sahabat tersebut, tetapi enggan untuk segera melakukannya.

                Ijtihad Amirul Mukminin ini berbeda dengan beberapa sahabat lainnya khususnya Muawiyah gubernur dari Syam pada masa kekhilafahan Umar dan Utsman. Ali enggan untuk menyegerakan qishash dari pembunuhan Ali sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir ”Wahai saudaraku, bukannya saya tidak mengerti masalah itu, akan tetapi apa yang mampu saya perbuat atas sebuah kaum yang menguasai kita akan tetapi kita tidak menguasa mereka? Mereka berada di sekitar kalian, sesuka hati mereka, apakah kalian melihat ada peluang untuk melakukan hal yang kalian inginkan?” Mereka menjawab,”Tidak”. Ali mengatakan,”Tidak, demi Allah saya tidak melihat, kacuali apa yang telah kalian lihat insyaallah.” Pernyataan yang dengan tegas menyatakan bahwa sesungguhnya Ali juga hendak menegakkan had kepada sang pembunuh. Hanya saja pada saat itu Ali tidak melihat suasana dan kondisi ummat bisa memenuhi hal tersebut.

Ijtihad Muawiyah yang bertentangan dan menegaskan untuk menyegerakan qishash pembunuh Utsman tidak bisa juga dikatakan salah. Hanya saja ijtihad tersebut bertentangan dengan ijtihad sang khalifah pada saat itu. Bermula pada hari pembunuhan Utsman yang selanjutya beberapa sahabat mengirimkan ke Syam baju Utsman yang dikenakan ketika terbunuh beserta jari Nailah istri Utsman yang terpotong ketika berusaha membela Utsman. Seketika itu Muawiyah menggantungkan baju Utsman serta jari istrinya di tiang masjid. Selanjutnya Muawiyah berdiri di atas mimbar dan berkhutbah yang isinya tidak lain membakar semangat para penduduk Syam agar menyegerakan qishash pembunuhan Utsman.

Muawiyah menolak pembaiatan Ali hingga Ali membunuh pembunuh Utsman hal itu bukan berarti bahwa Muawiyah tidak mengakui kekhilafahan Ali. Dalam hal ini Ibnu Hazm berkata “Dan Muawiyah sama sekali tidak mengingkari atas keutamaan Ali dan hak dia atas kekhilafahan. Tetapi ijtihadnya membuat dia memutuskan untuk mendahulukan qishash atas pembunuh Utsman dari pada pembaiatan. Dan dia (Muawiyah) memandang dirinya lebih berhak untuk menuntut darah pembunuh Utsman.”

Dalam masalah ini Ibnu Taimiyah menyatakan di buku Majmu’ul Fatawa “Dan Muawiyah tidak mengaku sebagai khalifah sebagaimana belum membaiat Ali sampai saat dia memerang Ali sebagaimana juga dia tidak memerangi Ali dikarenakan dia seorang Khalifah dan bukan pula karena dia berhak atas kekhilafahan. Dan muawiyah sendiri mengakui hal itu kepada siapa saja yang menanyakannya. Muawiyah beserta pengikutnya juga tidak berniat untuk memulai peperangan antara dia dan Ali, dan mereka tidak melakukannya pula”

Dengan berlandaskan ayat  وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا muawiyah bersikeras untuk menyegerakan pembunuhan pembunuh Utsman dan memproklamirkan dirinya sebagai waliyyud dam.

PERANG SHIFFEIN
A.      Keluarnya Ali dan Muawiyah menuju Shiffein
Sebagaimana telah disebutkan bahwa dasar perbedaan yang ada antara Muawiyah dan Ali berada pada masalah qishash pembunuhan Utsman. Dan daripada itu Muawiyah tidak mau untuk membaiat Ali hingga Ali membunuh pembunuh Utsman atau menyerahkan kepada Muawiyah. Dari konteks tersebut bisa dipahamin bahwa Muawiyah tidak mau tunduk dan taat kepada sang imam. Maka atas keengganan Muawiyah terhadap pembaiatan Ali dan tidak dilaksanakannya perintah-perintah sang Amirul Mukminin di wilayah Syam maka di mata Ali Muawiyah adalah seorang yang keluar dari ketaatan atas suatu khilafah.
Amirul Mukminin Ali ra adalah seorang yang telah dibaiat oleh para Muhajirin dan Anshar. Dengan begitu lazim bagi seantero muslim di berbagai belahan bumi untuk turut membaiatnya. Sudah mafhum jika orang yang tidak mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan oleh seorang khalifah untuk diluruskan, begitu pula hubungan antara Muawiyah dan Ali. Ali memutuskan untuk menundukkan mereka dan mengembalikan mereka pada jama’ah walau harus dengan kekuatan. Dalam perkara ini Ibnu Hazm berkata dalam bukunya al-fashl fil milal wan nihal bahwa Ali memerangi Muawiyah dikarenakan keenggananya untuk melaksanakan perintahnya di wilayah Syam sedangkan Ali adalah imam yang wajib ditaati.
6 bulan setelah Ali berdiam di Kuffah (pada riwayat lain disebutkan 3 bulan dan ada yang menyebutkan 2 bulan) Ali menyiapkan bala tentaranya yang jumlahnya –para ulama bertentangan dalam hal ini- sekitar 50.000 pasukan (dari buku tarikh khalifah dengan sanad hasan). Ali memasang beberapa panglima di pasukannya itu. Diantaranya adalah Ibnu Abbas, ‘Umar bin Abi Salmah, Abu Laila bin Amru bin Jarah, Qasm bin Abbas. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa sesungguhnya Ali sama sekali tidak bermaksud keluar menuju Syam kecuali setelah adanya desakan dari kaum Sabaiyah.
Mendengar berita tentang keluarnya Ali dan pergerakan pasukannya di sekitar Shiffein (wilayah antara Kuffah dan Syam) seketika Muawiyah langsung mengumpulkan Ahli Syura dari para pemimpin penduduk Syam. Selanjutnya Abdul Hamid dalam bukunya Al-Ishabah meriwayatkan bahwa Muawiyah berkata kepada orang yang bermusyawarah atasnya “Sesungguhnya Ali telah datang kepadamu dengan jumlah yang besar dari penduduk Iraq.” Berkatalah Dzul Kila’ Al Hamiri “engkaulah yang menggagas dan kami yang akan melaksnakan.”
Para penduduk Syam pada waktu itu sudah membaiat Muawiyah untuk menuntut darah pembunuh Utsman sebagaiman telah membaiatnya untuk berperang. Maka ‘Amru bin Ash menyiapkan pasukan seraya mengobarkan semangat para penduduk Syam itu dengan perkataan yang menyinggung permasalah mauqi’atul Jamal. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah jumlah pasukan Syam yang mengikuti rombongan menuju Shiffein. Dan diantara riwayat yang paling mendekati benar adalah yang menyatakan bahwa jumlah mereka pada saat itu 60.000 pasukan.
B.      Usaha Perdamaian Antara Kedua Belah Pihak
Peperangan telah memasuki Asyhurul Hurum. Kedua belah pihak menghentikan peperangan dan berusaha untuk mengadakan perdamaian. Sebelum itu peperangan yang terjadi antara mereka berdua hanyalah peperangan antara beberapa batalion-batalion kecil yang dikirim oleh kedua belah pihak. Maka pada bulan-bulan ini kedua belah pihak hanya saling berkirim surat dan utusan mengharapkan atas suatu kesepakatan yang dapat menjaga darah para muslimin dari pertumpahan.
Diriwiyatkan bahwa yang memulai hal ini adalah Ali. Ali mengutus beberapa utusannya yang bernama Basyir bin ‘Amru, Said bin Qaish, Syabt bin Rab’I Attamimi kepada Muawiyah. Ketiga orang ini mengajak Muawiyah agar mau masuk dalam Jama’ah serta mau membaiat Ali. Tetapi tetap saja Mu’awiyah menolak dengan alasan yang sama -tidak membaiat Ali hingga mau menyegerakan qishash pembunuh Utsman atau menyerahkannya pada Muawiyah.
Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah berusaha mendamaikan antara kedua belah pihak tetapi tidak berhasil. Keduanya kemudian meninggalkan perkara ini dan tidak mau andil sedikitpun akan hal ini. Sebagaimana yang dilakukan Masruq bin Ajda’ setelah memberikan ceramah dan pergi meningglkan perkara ini. Dinukil dari Bidayah wan Nihayah bahwa Abu Muslim Al Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dengan mengatakan,”Apakah engkau melawan Ali ataukah engkau juga sepertinya?” Muawiyah menjawab, ”Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengatahui kalau ia (Ali) lebih baik dariku, lebih utama dan lebih berhak dalam masalah ini (kekhalifahan) daripada aku. Akan tetapi bukanlah kalian mengetahui bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terdhalimi, sedangkan saya adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepadanya, agar ia menyerahkan pembunuhnya, maka saya menyerahkan persoalan ini kepadanya.”
Kesimpulan yang didapatkan bahwasanya kedua belah pihak tidak terjadi peperangan sama sekali. Tetapi para Sabaiyah selalu menginginkan adanya konflik di kedua belah pihak.
C.      Pecahnya Peperangan
Setelah berbagai usaha damai yang dilakukan kedua belah pihak dan berbagai perang kecil yang mereka lewati tibalah hari pecahnya peperangan. Dimulai hari Selasa dimana kedua belah pihak mengumunkan bahwa akan terjadi perang besar pada hari esok Rabu. Kedua bala tentara menyiapkan persiapan masing-masing
Rabu dan Kamis telah terlewati. Masuklah kedua belah pasukan pada suatu malam yang dikenal dengan lailatul harir (malam yang mencekam) dimana peperangan memasuki puncaknya. Peperangan malam ini berbeda dengan sebelumnya yang diteruskan hingga keesokan Jum’atnya. Kedua belah pasukan telah kehabisan panah dan senjata lain yang bisa diandalkan. Yang terjadi selanjutnya hanyalah baku hantam dengan tangan kosong.
PENGANGKATAN MUSHAF
Di saat gentingnya peperangan salah seorang dari pihak Ali menyeru “Jika kita besok baru berhenti (bertempur) maka Arab akan sirna, dan hilangnya kehormatan.” Ketika mendengar tentang seruan itu Muawiyah pun berkata ”Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar para wanita dan ketururnan Iraq.” Kemudian berkata kepada para sahabanya “Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak kalian.” Sebuah perkataan yang jauh dari pengaruh Amru bin ‘Ash. Tetapi murni keinginan kedua belah pihak untuk menghentikan peperangan.
Sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan datang kepada pasukan Iraq seorang dari pasukan Syam menyeru “Diantara kami dan kalian adalah Kitabullah!” Kemudian Ali menjawab ”Iya, diantara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah mendahulukan hal itu.”
Akan tetapi, sebagaimana yang terjadi sebelumnya, para pengikut Abdullah bin Saba’ enggan menerima usulan untuk berdamai, mereka ingin agar Khalifah Ali meneruskan pertempuran. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka,”Wahai Amir Al Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama Rasulullah (SAW) saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau sendainya kami berpendapat akan berperang, maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)”
Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada Rasulullah (SAW). Ali bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath (hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun berakhir.
PERISTIWA TAHKIM
A.      Riwayat Yang Salah Dalam Peristiwa Tahkim
Buku-buku sejarah yang kita baca dan pelajari saat ini sudah dipenuhi oleh kebohongan yang dibuat-buat tentang kebenaran dari peristiwa tahkim ini. Mulai dari awal mula tahkim yang diriwayatkan bahwa itu adalah siasat para ahli Syam, penunjukan kedua utusan, hingga hasil akhir keputusan tahkim. Sebagian besar riwayat yang kita dengar itu merujuk pada karangan Imam Thabari dari beberapa riwayatnya yang didapat melalui jalur Abu Mukhnif.
Beberapa point penting dalam perkara tahkim yang diriwayatkan oleh Abu Mukhnif adalah sebagai berikut:
I.        Riwayat yang menyatakan bahwa Ali tidak mau menerima tahkim ketika pasukan Syam mengangkat Mushaf dan pernyataanya bahwa hal itu hanyalah tipuan belaka.
II.      Para Sabaiyah memaksa Ali menerima tahkim tersebut sedangkan di sisi lain Ali berusaha meyakinkan mereka bahwasanya pengangkatan mushaf tidak lain adalah tipuan Muawiyah dan para penduduk Syam.
III.    Pemilihan Abu Musa Al Asy’ari oleh para sabaiyah sebagai wakil Ali ketika tahkim nanti. Pengajuan itu dilakukan oleh Asy’asy –Ibnu Qais Al Kindi- dengan perkataan bahwa mereka lebih menyetujui Abu Musa dibandingkan dengan yang lain. Padahal Ali mengangkat Abu Musa sebagai wakil diplomatiknya dengan perkataan “Hukumlah walau dengan memotong leherku” sebagai mana yang dinukil dari riwayat Ibnu Abi Syaibah.
B.      Beberapa Kritikan Atas Riwayat Tahkim
Peristiwa Tahkim dan kejadian Shiffein merupaka salah point yang paling dilirik dalam sejarah Islam. Tapi selalu sejarah tidak kesemuanya menunjukkan peristiwa asli kepada para pembaca. Beberapa telah disisipi kepentingan golongan atau sejenisnya. Diantara beberapa kritikan atas peristiwa antara Ali dan Muawiyah ini adalah:
I.        Dari awal pembahasan telah disebutkan sebab terjadinya peperangan di Shiffein bukan dipicu oleh faktor-faktor kekuasaan melainkan bersumber pada permasalahan qishash pembunuh Utsman. Maka tidak seharusnya tahkim itu membuat pernyataan final tentang pencabutan Ali dari kedudukannya dan penetapan Muawiyah sebagai khalifah.
Seharusnya pembahasan yang dibicarakan oleh kedua utusan adalah perkara waktu pelaksnaan qishash tersebut. Apakah dipercepat atau diakhirkan.
II.      Memang benar jika saat peperangan Muawiyah mewakili suara mayoritas dari para penduduk Syam. Tetapi sejak zaman kekhilfahan Ali Muawiyah sudah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur. Lain dari pada itu Muawiyah juga tidak menyatakan dirinya sebagai khalifah sebagaimana telah dibahas di atas. Dia juga mengakui akan hak Ali atas kekhilafahan dan berjanji akan membaiatnya setelah qishash.
Jika memang Muawiyah tidak memiliki kedudukan apapun maka bagaimana bisa muncul sebuah riwayat yang menuliskan hal seperti ini: … maka berkatalah Abu Musa kepada Amru “beritahukan kepadaku apakah pendapatmu!” Amru berkata “Aku berpendapat agar kita melepaskan kedua orang ini (dari jabatan mereka) dan selanjutnya kita permusyawarahan akan kita serahkan pada diantara muslimin…..
Sebuah riwayat yang juga diambil dari jalur Abu Mukhnif yang tidak lain merupakan suatu kebohongan. Bagaimana bisa seorang yang tidak mempunyai kedudukan sama sekali dinisbatkan sebagai khalifah di saat tahkim itu berlangsung.
III.    Yang sering kita dengar tentang riwayat tahkim ini adalah kisah yang mengatakan bahwa Abu Musa adalah seorang yang bodoh serta lalai dan telah diperdaya oleh Amru bin Ash. Padahal jika ditelisik lebih jauh ke belakang hingga saat Rasul masih hidup maka akan kita temukan bahwa Abu Musa menjabat sebagai gubernur di berbagai daerah. Dan hal itu semenjak masa nubuwah hingga khalifah ke-4. Maka bagaimana mungkin Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan bahkan Rasul sendiri memilih orang yang bodoh dan lalai?
Amru bin Ash sendiri adalah seorang pemimpin pasukan besar pada era kekhilafahan Umar yang dikirimkan untuk membuka Mesir. Menundukkan pasukan Romawi di daerah tersebut dan mengusir mereka hingga berhasil mendudukinya. Saat Rasul masih hidup pun Amru mendapat kedudukan yang sangat tinggi di hadapannya. Amru menjadi hakim atas suatu perkara yang diperselisihkan antara kedua pihak, padahal pada saat itu Rasul ada di sampingnya. Dari Bukhari Amru berkata “Wahai Rasulullah apakah aku memutuskan suatu perkara sedangkan engkau ada?” dan itu adalah awal mula keluarnya hadis “"إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران, و إذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر
Dua orang –Abu Musa dan Amru bin Ash- yang merupakan orang kepercayaan mulai dari masa nubuwah hingga khalifah ke empat ini tidak mungkin salah paham atas pokok permasalahan yang menjadi sebab bertemunya mereka. Tidak mungkin jika mereka berpikir bahwa permasalahan tahkim adalah tentang kekuasaan.
IV.    Jika memang benar saat itu Muawiyah adalah seorang khalifah dan hasil akhir tahkim adalah sebuah keputusan yang menyatakan bahwa Abu Musa melepaskan Ali dari kedudukannya sebagai khalifah dan Amru menetapkan Muawiyah sebagai khalifah, maka mengapa penduduk Syam membaiat Muawiyah setelah wafatnya Ali sebagaimana yang diriwayatkan dari Bidayah Wan Nihayah? Apakah Muawiyah dibaiat dua kali? Hal itu menunjukkan kedustaan yang ada pada riwayat tersebut.
Begitulah kurang lebih beberapa kritikan yang bisa diambil dari sejarah yang selama ini kita dengar. Ada juga sebuah riwayat yang menyatakan bahwa selama peperangan shiffein berlangsung kedua belah pihak saling melaknat melalui qunut. Padahal suatu hari saat Ali mendengarkan di barisan pasukannya ada dua orang yang menjelekkan Muawiyah serta melaknat para penduduk Syam seketika itu Ali memanggil mereka berdua. Ali memperingatkan mereka agar tidak melaknat melainkan mengatakan “Ya, Allah! Jagalah darah kami dan darah mereka, perbaikilah diantara kita dan mereka….”
C.      Kebenaran dari Tahkim
Terbentuklah sudah sebuah kesepakatan untuk mengadakan tahkim setelah peperangan Shiffein tersebut, yaitu agar masing-masing dari kedua belah pihak mengajukan seorang utusan diplomatik dan agar kedua utusan tersebut bersepakat pada suatu hal yang padanya maslahat muslimin. Selanjutnya kedua belah pihak menulis perjanjian akan hal itu –diadakannya tahkim yang mana diputuskan bahwa tempat diadakannya adalah di Dumatul Jandal pada bulan Ramdhan tahun 37 H.
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa riwayat-riwayat yang menyatakan hasil akhir tahkim adalah penetapan Muawiyah sebagai khalifah dan pengunduran diri Ali dari kursi kekhilafahan merupakan sebuah kebohongan. Lalu yang dipertanyakan adalah bagaimana riwayat asli dan hasil akhir tahkim tersebut?
Disebutkan dari kitab Tsiqat Ibnu Hibban:
بسم الله الرحمن الرحيم هذا ما تقاضى عليه على بن أبى طالب ومعاوية بن أبى سفيان قاضى على على أهل العراق ومن كان معه من شيعته من المؤمنين وقاضى معاوية على أهل الشام ومن كان معه من شيعته من المسلمين أنا ننزل على حكم الله وكتابه فما وجد الحكمان في كتاب الله فهما يتبعانه وما لم يجدا في كتاب الله فالسنة العادلة تجمعهما وهما آمنان على أموالهما وأنفسهما وأهاليهما والأمة أننصار لهما على الذي يقضيان عليه وعلى المؤمنين والمسلمين والطائفتان كلتاهما عليهما عهد الله وميثاقه أن يفيا بما في هذه الصحيفة على أن بين المسلمين الأمن ووضع السلاح وعلى عبد الله بن قيس وعمرو بن العاص عهد الله وميثاقه ليحكما بين الناس بما في هذه الصحيفة على أن الفريقين جميعا يرجعان سنة فإذا انقضت السنة ان أحبا أن يردا ذلك ردا وإن أحبا زادا فيهما ما شاء الله اللهم إنا نستنصرك على من ترك ما في هذه الصحيفة وشهد على الصحيفة فريق عشرة أنفس فشهد من أصحاب على.
Dapat diambil sebuah kesimpulan dari kabar yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban bahwa hasil akhir tahkim menyatakan Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Iraq dan penduduknya, sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya, tidak ada penggunaan senjata, dan hal ini berlaku dalam satu tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa menolaknya, atau bisa memperpanjang. Selesailah pertentangan antara pihak Iraq dan Syam. Dan yang tersisa selanjutnya adalah para Khawarij.
KEMUNCULAN KELOMPOK KHAWARIJ
Mereka adalah segolongan orang yang menyerukan la hukma illa lillah ketika pengangkatan mushaf pada saat perang Shiffein. Ali menjawab atas apa yang mereka teriakkan dan mereka junjung tinggi sebagai semboyan tersebut bahwa hal itu tidak lebih dari pada kalimatun haqq uriida bihil bathil. Jika dirujuk kembali ke peristiwa Shiffein hingga Tragedi Jamal atau pembunuhan Utsman maka akan kita temukan bahwa para Khawarij ini tidak lain adalah para Sabaiyah.
Dalam suatu riwayat lain menyebutkan bahwa Khawarij adalah segolongan orang yang dahulunya disebut Qurra’. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan bahwa mereka membaca qur’an tetapi bacaan mereka tidak melebihi dari tulang selangka mereka. Dapat diartikan bahwa yang dimaksudkan bahwa kelompok ini sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan apapun tentang agama. Maka mereka tidak jauh beda dari pengikut Abdullah bin Saba’ yang mayoritasnya adalah orang awam.
Jika dirunut ulang maka tersimpulkan bahwa Khawarij yang dahulunya dikenal dengan sebutan Sabaiyah atau Qurra’ adalah mereka yang menyebarkan fitnah untuk dapat membunuh Umar. Setelah peristiwa itu mereka menelusup ke dalam pasukan Ali yang berpedoman pengakhiran qishash pembunuh Utsman dan berseberangan dengan Muawiyah untuk menimbulkan perselisihan diantara keduanya. Sebgaimana mereka juga telah menimbulkan kekacauan sebelum itu dengan menulusup ke pasukan Ali dan Aisyah pada Tragedi Jamal di malam kedua belah pihak hendak mengadakan kesepakatan dalam qishash sehingga terjadi pertumpahan darah. Mereka adalah segolongan orang yang menolak tahkim dan menginginkan perseteruan berlanjut sehingga kedua belah pihak tidak lagi membahas tentang pembunuh Utsman.
KHAWARIJ DAN PEMBUNUHAN ALI
                Selesai sudah perpecahan antara penduduk Iraq dan Syam. Selanjutnya Ali memusatkan pikirannya ke kaum Khawarij dan memerangi mereka. Pada hari tahkim disepakati keluarlah dari barisan Ali sebanyak kurang lebih 12.000 pasukan yang menolak keputusan Ali tersebut. Kemudian sepulang Ali dari Shiffein, Ali dan pasukannya melewati suatu daerah yang bernama ‘Harura’ –ini adalah salah satu sebab penamaan Khawarij dengan Haruriyah. Orang-orang ini membunuh golongan yang menyetujui dengan perkara tahkim dengan anggapan bahwa mereka adalah kafir.
                Selanjutnya pada tahun 38 Hijriah Ali memerangi mereka di suatu daerah yang bernama Nahrawan dan berhasil membunuh sebagian besar dari mereka. tetapi beberapa kelompok diantara mereka berhasil lolos seperti Abdurrahman bin Muljam. Dengan terbunuhnya para Khawarij ini maka mereka merencanakan sebuah makar yang akan pengeksekusiannya akan dilakukan oleh tiga orang yang bernama Aburrahman bin Muljam, Al Bark bin Abdullah Attamimi dan Amru bin Bakr Attamimi. Dari riwayat yang dikeluarkan oleh Thabrani menyebutkan ketiga orang ini berkumpul bersama yang lain dan mengadakan percakapan “apa yang kita perbuat dengan tetap hidup setelah terbunuhnya saudara-saudara kita –di Nahrawan? Hidup ini sudah tidak bernilai lagi sepeninggal mereka. Maka tidakkah kita mengorbankan diri kita dengan mendatangi para pemimpin yang sesat lalu kita bunuh mereka hingga kita cukupkan negara dan masyarakat (dari keburukan mereka)?”
Maka majulah ketiga orang tersebut untuk mendatangi para “pemimpin yang sesat” (Ali, Muawiyah, Amru) pada malam 17 Ramadhan tahun 40 H. Alasan mereka melakukan pembunuhan kepada Ali yang mana akan dilaksanakan oleh Abdurrahman bin Muljam dikarenakan kedok mereka sudah terseingkap secara sempurna dihadapan khalifah. Adapun alasan rencana pembunuhan atas Muawiyah yang akan dieksekusi oleh Al Bark bin Abdullah Attamimi tidak jauh beda dengan khalifah Ali. Muawiyah sudah mengetahui tentang mereka sejak zaman kekhilafahan Utsman. Dan Amru bin Ash yang akan dieksekusi oleh Amru bin Bakr Attamimi adalah karena beliau adalah musuh pertama kelompok ini, di saat beliau berkuasa di Mesir, sehingga jika beliau tidak dibunuh, maka keberadaan beliau juga berpotensi untuk mengancam gerakan kelompok ini.
Dari ketiga sasaran tersebut yang berhasil dibunuh hanyalah Ali. Sedangkan yang bertugas membunuh Muawiyah malah terbunuh lebih dahulu oleh beliau dengan pedangnya sendiri. Adapun yang ditugaskan membunuh Amru bin Ash malah membunuh salah satu petugas yang disangkanya sasarannya.
PENUTUP
Sejarah tidak lain seperti hal-hal yang mengandung fakta, tidak heran jika terkadang sejarah ditulis secara subyektif. Hal itu akan sangat karena berdampak pada generasi-generasi selanjutnya yang pasti akan menelaah sejarah mereka sendiri. Islam dalam meriwayatkan suatu berita memiliki metode yang sulit untuk membuatnya terbantahkan. Metode tersebut adalah sanad riwayat, sebuah mata rantai yang terus berkaitan dari ujung satu ke yang lain. Riwayat yang kita dapatkan selama ini dalam masalah pertentangan antara Ali dan Muawiyah tidak lain adalah riwayat buruk sanadnya. Beberapa riwayatnya didapat dari jalur yang orangnya tidak dapat dipercaya. Dan para ulama Islam telah berhasil meluruskan hal itu hingga didapatkan riwayat asli dari perkara ini.
Lain dari pada itu para sahabat adalah orang yang termasuk dalam golongan al qurun al mufaddhalah. Tidak masuk akal jika mereka saling berperang tanpa alasan yang nyata dan sesuai syariat. Sebagaimana tidak benar mencitrakan seseorang khususnya para sahabat tanpa ada penelitian dahulu pada riwayat dan sanad yang ada. Wallahu a’lam bis shawab

Referensi:
1.       Amhazun, Muhammad, Tahqiq Mawâqif as-Shahabah fi al-Fitnah (Kairo,  Darussalam, 2007)
2.       Hassan, Muhammad, Al-Fitnah baina al-Shahabah (Kairo, Maktabah Fayyadh, 2007)

3.   Buku riwayat hadis lainnya

Download tulisan ini dalam bentuk word di sini


No comments:

Post a Comment