Kemajemukan
kehidupan manusia membuat satu sama lain
terikat atas kebutuhan tertentu. Para filsuf membahasakannya dengan kalimat manusia
adalah makhluk sosial. Atas interaksi satu sama lain ini, terbentuklah
entitas-entitas tertentu yang disatukan oleh bermacam-macam sudut persamaan.
Entitas tersebut dalam
wacana kontemporer memiliki berbagai macam bentuk. Ada yang berbentuk kelompok
kecil di pedesaan, ada yang berbentuk serikat kerja, kelompok hobi, kepentingan
politik, budaya, hingga ideologi. Masing-masing berangkat dari titik persamaan
yang berbeda. Jika yang pertama berdasarkan kesamaan kebutuhan, yang kedua
berdasarkan kesamaan pekerjaan, selanjutnya hobi, dan seterusnya. Dalam skala
makro, berbagai kelompok tadi mempunyai entitas yang lebih universal, terangkum
dalam suatu peradaban.
Peradaban paling kuno
yang berhasil dicatat sejarah adalah Mesir Kuno. Peradaban yang berpusat
sepanjang sungai nil ribuan tahun yang lalu ini menyisakan beberapa hal penting
seperti piramida-piramida mereka serta beberapa artefak lainnya. Kemudian ada
juga peradaban Yunani Kuno. Berbagai capaiannya yang gemilang dalam hal
filsafat membuat peradaban ini masih sering didengungkan walau sudah tidak
mempunyai wujud lagi. Ada lagi peradaban Cina Kuno yang juga menyisakan sastra
dan filsafat-filsafatnya. Selain itu, Peradaban Islam yang mencapai puncaknya
pada kekhilafahan Abbasiyah juga telah menorehkan hal penting dalam sejarah. Sekian
banyak kontribusi pada berbagai macam ilmu pengetahuan telah Islam hasilkan sebelum
akhirnya peradaban ini redup. Ada juga peradaban Barat yang beberapa abad
terakhir ini dianggap menoreh prestasi gemilang.
Penting dicatat bahwa
pada masa kejayaan masing-masing peradaban yang telah disebutkan, berbagai
peradaban kecil di sekitarnya mengekor. Sebagai contohnya adalah ketika
peradaban Islam bersinar di dataran Baghdad, berbagai adat, corak hidup serta
ideologi peradaban ini diadaptasi oleh peradaban lainnya.
Sebut saja aspek
akidah untuk permisalan, muncul dalam tubuh Nasrani sebuah gerakan yang menolak
pengakuan dosa di hadapan pendeta. Gerakan ini menganggap bahwa para pendeta
tidak mempunyai hak untuk mengampuni dosa. Pengampunan dosa hanya bisa
dilakukan oleh Allah SWT. Data ini ditulis Ahmad Amin yang kemudian dinukil
oleh Raghib Sarjani dalam bukunya Mâdzâ Qaddama al-Muslimûn li al-‘Âlâm. Kemudian
juga dalam aspek ilmu pengetahuan, peradaban di sekitar Islam berusaha menyerap
berbagai keilmuan yang dicapai Islam. Bahkan, mereka sampai mengundang
guru-guru Muslim untuk mengajar. Berbagai buku juga dijadikan rujukan tetap
oleh para penuntut ilmu di luar peradaban Islam. Kemudian dalam aspek sastra
dan bahasa, Raghib Sarjani menukil pernyataan Musthafa Siba’i bahwa salah
seorang sastrawan Spanyol ternama pernah berkata bahwa Spanyol Eropa telah
banyak mengadopsi bentuk sastra Arab pada masa kejayaannya.
Aspek sastra dan
bahasa merupakan indikator paling mudah bagaimana peradaban lain mengekor ke
sebuah peradaban yang lebih besar. Masih dalam buku yang sama, Min Rawâ`i’ Hadhâratinâ,
Musthafa Siba’i menukil pengakuan seorang orientalis berkebangsaan Belanda,
tentang bertumbuhnya bahasa Arab menjadi
bahasa yang dipelajari di banyak belahan Eropa. Orientalis tersebut berkata
bahwa para cendekiawan Nasrani telah terpesona oleh indahnya sastra Arab. Para
cendekiawan itu rela meninggalkan bahasa asli mereka dan beralih ke bahasa yang
sebenarnya menindas mereka. Tujuan mereka mempelajari sastra Arab bukan untuk
mencari celah, tetapi agar bisa mendapatkan dan menerapkan struktural gaya
sastra Arab. Mereka bahkan sampai membuat perpustakaan-perpusatakaan besar yang
diisi dengan berbagai buku berbahasa Arab. Bahkan, mereka sangat bangga ketika
mempunyai segudang karya-karya Arab.
Inilah yang dimaksud
oleh Ibnu Khaldun bahwa golongan yang kalah akan selalu mengekor serta
mengadopsi corak hidup golongan yang menang. Artinya, corak hidup golongan yang
menang akan menghegemoni berbagai golongan lainnya. Contoh yang penulis
sebutkan di atas adalah gambaran ketika peradaban Islam mampu mempengaruhi
atmosfer peradaban lain, menghegemoni corak hidup mereka.
Sebenarnya tidak
selamanya peradaban yang besar menghegemoni peradaban lainnya. Ada faktor utama
yang meyebabkan peradaban kecil tadi ‘mau’ mengekor ke peradaban lain yang
lebih besar. Sifat mengekor tersebut
pada hakekatnya tumbuh dari kepercayaan jiwa atas kesempurnaan golongan
yang menang. Persis seperti seorang anak yang banyak meniru ayahnya. Begitu pula
dengan seorang murid yang meniru sang guru. Sama juga ketika kita mempunyai
figur yang kita idolakan, sebisa mungkin kita hidup dengan gaya hidupnya. Hal
ini sudah dirincikan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya. Sayangnya,
kebanyakan orang hanya mengambil mentah-mentah teori Ibnu Khaldun tadi.
Sangat penting untuk
digarisbawahi, ‘kepercayaan akan kesempurnaan golongan lain’. Dalam bahasa
sederhana, perasaan tersebut bisa kita ungkapkan dengan kata minder. Jadi, yang
sebenarnya menciptakan hegemoni adalah perasaan minder tersebut. Lihat saja
para cendekiawan Nasrani yang giat mempelajari Bahasa Arab, mereka minder
dengan berbagai keindahan tata bahasa yang ditawarkan bahasa ini. Sama halnya
dengan hegemoni peradaban Barat yang terjadi saat ini. Berbagai peradaban yang
mengekor, bahkan termasuk Islam sekalipun bermula dari perasaan minder.
Peradaban yang
ditawarkan Barat saat ini memang begitu memukau. Capaian yang mereka hasilkan
dalam berbagai bidang tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata. Tapi, cara
kita memandang peradaban itu yang salah. Jika kita memasuki peradaban mereka
dari pintu ‘minder’, maka hasilnya adalah fanatik buta. Ragam ideologi, budaya
dan ilmu pengetahuan yang mereka bawa kita serap tanpa filter yang sudah
disediakan oleh Islam.
Miss World adalah
contoh yang paling nyata. Mereka yang menggaungkan perlunya peradaban Islam
bersintesis dengan peradaban Barat dalam konteks ini jelas tidak menggunakan
filter yang seharusnya. Dalam bidang keilmuan, hermeneutika adalah problematika
yang baru-baru ini juga hangat disinggung. Bukankah Islam sudah mempunyai
metodologi usul fikih untuk pembacaan teks? Jikalau bukan berangkat dari
perasaan minder, hal ini sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi.
Allah sebenarnya telah
menyindir kita untuk berhati-hati dengan sikap minder ini. Dalam surat Ali
Imran ayat 196 Allah berfiman: “Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh
kebabasan orang-orang kafir bergerak (dalam hal kelancaran dan kemajuan
perdagangan serta perusahaan mereka) di dalam negeri.
Berbagai entitas
sebagai wujud kemajemukan manusia tadi memang akan selalu bersaing,
menghasilkan sebuah dinamika yang membuat sebuah entitas terus berusaha menjadi
lebih baik ketimbang kelompok lainnya. Salah satu indikator kesuksesan sebuah
kelompok adalah ketika kelompok lain mengakui capaian pihak pertama yang
kemudian diikuti. Sebuah hegemoni suatu kelompok atas kelompok lain memang
terkadang menjadi tujuan. Tapi jika masing-masing kelompok bisa mengambil capaian
pihak lain dengan tetap menjaga karakteristik asli dalam kelompoknya, maka
hegemoni itu bisa direduksi.
No comments:
Post a Comment