Al Insânu madaniyyun bit-thob’i (manusia adalah
makhluk sosial) merupakan kata yang sudah tidak asing lagi untuk didengar oleh
telinga. Bahkan jauh ketika seseorang baru duduk di bangku SD, guru-guru mereka
terus menekankan hal ini yang tujuannya tidak lain untuk menanamkan sifat
simpati antar sesama dan membuang jauh-jauh rasa egois. Membenamkan di alam
bawah sadar mereka bahwa hidup ini bersifat heterogen, yaitu kumpulan dari
sekian banyak manusia dengan sifat yang berbeda.
Islam selaku agama yang rahmatan lil ‘âlamîn menaruh
pokok-pokok serta asas tentang kehidupan manusia yang heterogen. Bukan hanya
dari aspek sosiologi, tapi juga dari sudut pandang ekonomi. Islam masuk dalam
tatanan ekonomi agar nantinya memperbaiki kondisi sosial antar manusia,
sehingga tidak terjadi ketimpangan dan jurang pemisah yang terlalu lebar antara
si miskin dan si kaya. Islam juga mengupayakan keselarasan tatanan sosial dari
lingkup mikro hingga makro sekalipun.
Sebut saja sedikit contoh di Al-Qur’an tentang hukum mawârîts.
Ketika masyarakat jahiliah menetapkan hukum ini dengan seenak mereka, Islam
datang dengan membawa peraturan yang jelas. Pewarisan pada masa jahiliah
menetapkan bahwa yang akan mendapat warisan adalah anak laki-laki dewasa yang mampu
bekerja atau ikut berperang. Selain itu, pengadopsian anak serta sumpah setia
juga menjadikan seseorang bisa mendapat warisan. Ini artinya menafikan
anak-anak kecil dari keturunan darah sendiri dan para perempuan. Hukum waris
yang tidak adil seperti ini tentunya membuat kondisi sosial masyarakat dan
keluarga sendiri semakin timpang.
Masih menyikapi jurang antara si miskin dan si kaya serta
ketimpangan sosial yang ada, Islam menetapkan zakat yang diambil dari tangan
orang-orang berkecukupan untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Walau
yang diambil hanya 2,5% dari harta orang yang berzakat tetapi tetap saja membawa
dampak yang besar. Tentunya dengan syarat semua golongan yang terkena wajib
zakat menunaikan kewajibannya, ditambah pendistribusian yang optimal terhadap
harta zakat tersebut.
Zakat hanya salah satu bentuk dari keuangan publik Islam yang
manfaatnya bisa dirasakan masyarakat. Masih ada lagi kharrâj, jizyah,
‘usyur, ghonîmah serta beberapa lainnya. Bentuk-bentuk yang disebutkan tadi
membawa manfaat bagi masyarakat dan Negara karena kesemuanya merupakan pos
pendapatan baitul maal. Dari baitul maal inilah kekayaan negara
didistribusikan serta digunakan untuk maslahat bersama.
Efek dari zakat dan berbagai keuangan publik Islam yang
optimal bisa kita rujuk ketika masa Abbasiyah di bawah pemerintahan Harun
Arrasyid dan beberapa khalifah sesudahnya. Pemasukan Negara melimpah ruah,
bahkan setelah Khalifah al-Makmun menurunkan persentase pajak yang wajb
dikeluarkan. Ibnu Jarir at-Thabari mencatat bahwa pada tahun 210 H saja, dana kharrâj yang terkumpul mencapai 7.000.000 dirham. Pada masa kekhilafahan
al-Mu’tashim, peningkatan dana kharrâj lebih signifikan lagi. Dana kharrâj yang
terkumpul mencapai jumlah 30 miliar dirham. Itu bukanlah jumlah yang sedikit,
padahal jumlah tersebut dihitung dari pos pemasukan kharrâj saja, belum
lagi ditambah dengan pos pemasukan lainnya.
Pendapatan dari pos kharrâj memang tergolong besar,
hal itu sehubungan dengan tanah sawwad Irak, hasil futuhat umat
Islam yang sangat luas. Tanah sawwad yang berhasil diambil alih oleh
umat Islam semasa Umar bin Khatab merupakan lahan pertanian yang sangat
produktif. Tidak heran jika para sahabat kemudian berselisih pendapat mengenai
siapakah yang berhak untuk mengelola tanah tersebut, apakah para pejuang
perang, atau dibiarkan saja untuk dikembalikan kepada pribumi?
Di sini, lagi-lagi Islam menunjukkan semangat sosial
yang tinggi, diwakili oleh keputusan ijtihad Umar yang diamini para sahabat.
Seharusnya, sebagian dari harta rampasan perang diberikan kepada para mujahid
yang ikut berperang, tapi Umar Ra. justru membiarkannya untuk diolah oleh penduduk pribumi dan
Negara. Menurut Dr. Musthafa Dasuqi, keputusan Umar sangatlah tepat. Alasannya,
jumlah pasukan yang ikut berperang untuk menaklukkan daerah Irak hanyalah
sedikit, sedangkan penduduk pribumi jauh lebih banyak jumlahnya. Jika tanah sawwad
Irak yang begitu luas serta produktif hanya dimiliki oleh para mujahid yang notabene hanya segelintir orang, maka jurang antara si miskin dan si kaya semakin lebar.
Wilayah yang sudah dimiliki oleh beberapa orang ini pastinya akan diwariskan
kepada keturunan sesudahnya, kemudian kepada keturunan selanjutnya, dan
selanjutnya. Harta itu tidak akan berpindah tangan atau keluar dari nasabnya
kecuali hanya sedikit dari yang mereka miliki. Ini artinya konsep kai lâ
yakûna dûlatan baina al-aghniyâ`i minkum tidak terwujudkan.
Selain kharrâj, Islam juga mengenal istilah jizyah.
Meskipun praktek jizyah pada era kontemporer sudah tidak dikenal lagi, bukan
berarti bahwa kita meninggalkan esensi utama yang terkandung di dalam jizyah.
Jizyah yang merupakan wajib pajak bagi kaum non-Muslim yang berdomisili di
Negara Islam pada hakekatnya mempunyai nilai sosial yang tinggi. Fungsi jizyah
bukan hanya sebagai uang jaminan atas keselamatan mereka selama tinggal di
Negara Islam, tetapi juga menyimpan tujuan lain. Tujuan tersebut adalah
perataan distribusi pendapatan yang ada bagi seluruh warga, baik Muslim maupun
non-Muslim.
Sebagaimana kita ketahui, Islam telah mengenal zakat sebagai
sarana perataan distrbusi pendapatan. Wajib zakat –atau hal lain yang berbentuk perpajakan–
dalam suatu Negara sangat penting untuk menambah cadangan devisa, terlebih jika
seluruh warga menunaikan kewajiban tersebut. Namun, ketika wajib zakat
digugurkan bagi sebagian orang, artinya pendapatan Negara kurang maksimal. Hal
inilah yang kemudian menjadi pertimbangan jizyah bagi kaum non-Muslim, yaitu
sebagai pengganti pajak. Dengan adanya jizyah, harta –yang bisa jadi melimpah
ruah– di tangan orang-orang non-Muslim masih bisa dirasakan oleh warga Negara
secara umum. Dengan begitu, konsep kai lâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ`i
minkum telah terlaksana. Hal itu tentunya sangat jauh dengan tuduhan yang
dilontarkan oleh para orientalis bahwa wajib jizyah adalah bentuk lain sebagai biaya
sewa yang harus dikeluarkan bagi kaum non-Muslim untuk tinggal di wilayah Islam.
Semangat sosial Islam yang begitu tinggi pada zaman klasik
seharusnya terus dibawa hingga era sekarang. Bukan hanya dibawa, tapi disimpan
secara rapi pada jiwa dan karakter setiap individu untuk kemudian diamalkan.
Hal itu karena nilai tersebut merupakan salah satu syiar Islam yang ada
semenjak munculnya agama ini.
Ini bukan berarti Islam mengekang umatnya yang telah bekerja
siang dan malam untuk kemudian memberikan sebagian yang telah mereka usahakan
tersebut kepada fakir miskin. Islam tidak pernah mematikan semangat bekerja
dari diri seorang muslim, namun juga tidak menelantarkan para fakir miskin. Di
situlah fungsi zakat dan berbagai sistem keuangan publik lainnya, mempersempit
jurang antara kedua golongan. Dengan begitu, tidak salah bahwa model wirausaha
Islam itu tetap profit oriented, hanya saja harus dilengkapi dengan
distribusi yang proporsional serta optimal. []
No comments:
Post a Comment